Ada sesuatu yang tidak inginku sebutkan namanya di sini. Sesuatu yang buatku penasaran. Aku tidak ingin memilikinya tapi dia harus selalu ada. Kepala pusing memikirkannya, maka lebih baik aku berkeliling-keliling toko untuk mencari sesuatu yang lebih kuinginkan untuk dimiliki. Dia tidak berusaha menggoda untuk disentuh, diamati atau pun dibeli karena dia sudah memiliki itu. Tidak ada yang tahu apakah dia sebenarnya bisa dibeli atau tidak. Wujudnya saja kadang abstrak. Sempat beberapa kali dia hilang dari pikiran, tapi kemudian beberapa kali lainnya muncul. Terutama kalau bosan, dia pasti muncul!
Dia memiliki bentuk dan fungsi bervariasi. Tidak bisa ditentukan lebih tepatnya. Warna? Tergantung pada orang yang melihat. Tempat benda itu di jual? Hm...tergantung di mana kau menemukan dan dimana kau ingin melihatnya. Komposisi, tekstur, cara membuatnya, harga dan sebagainya juga tidak ada pagar yang baku untuk menjelaskan. Itu semua tergantung pada dirimu sendiri.
Dia sangat egois. Kadang muncul di saat kita sedang tidak ingin memiliki atau saat kita tidak mampu memiliki. Apalah daya sebagai manusia biasa, dia akan segera menginvasi seluruh yang ada dalam dirimu bila tidak segera berkenalan dengannya secara mendalam. Aku saja sudah beberapa kali terjerat dalam pemaksaan yang dilakukannya. Bahkan aku pernah menjadi budaknya meskipun sudah berusaha untuk mengalihkan perhatianku. Ufth...jangan sampai kau bertemu dengannyalah. Dia itu pemaksa yang sangat tangguh. Bila kau sudah bertemu dengannya, seperti yang sudah aku katakan tadi, segeralah hampiri dan berkenalan secara mendalam, bukan hanya sekedar berjabat tangan, supaya semua akan berbalik sendiri. Tentram dalam dirilah yang akan menggantikan.
Tapi! Jangan sampai dia hilang. Ada efek buruk juga kalau hilang dari hidup. Mungkin awalnya kau akan merasa menjadi pemenang dan hebat, karena telah berhasil hilangkan dia dari hidup. Tetapi setelahnya, kau juga akan merasakan rasa lega yang amat sangat luas, seperti stadion sepak bola berumput hijau yang kosong dan kau berdiri di tengah-tengahnya. Kosong. Hampa. Flat. Dingin!
Kau tahu? Dia adalah pemaksa yang tangguh. Itulah alasan mengapa kusematkan nama itu padanya. Sesuatu Yang Tidak Ingin Kusebut Namanya.
***
Bulan ke-6 di kota Angera.
Sudah tiga hari aku selalu terbayang-bayang akan rupanya yang khas. Setiap inchi tubuhnya buat tidurku tidak nyaman. Aku telah terserang virus. Virus ini tidak ada obat penyembuh selain dirinya. Dia yang membuat virus ini, maka dia yang harus menghilangkannya juga. Bisakah aku menggapainya? Hanya angin yang masuk ke dalam nafsu genggaman tangan yang teracung ke atas dengan latar belakang langit-langit kamar. Suasana redup dari lampu meja menambah dramatis keinginan.
Kaca penghalang itu menghalangi dia dari siapa pun yang tidak punya kemampuan menggapainya. Membuat keberadaannya semakin megah. Segala yang ada di sekitarnya jadi redup karena pesona yang terpancar alami. Intuisi ini seketika mengarahkanku pada keindahan yang dia pancarkan. Padahal aku tidak sengaja melewati toko tempat dia dipajang. Ingin rasanya berlari secepat kilat menembus kaca penghalang itu, namun harga yang harus kubayar tuk penuhi rasa Yang Tidak Ingin Kusebutkan Namanya ini terlalu mahal dari kemampuanku. Aku bisa saja nekat. Biar saja alarm bahaya di pintu toko itu akan berbunyi. Lalu aku sah jadi orang yang tidak tahu malu, tertempel besar di kening lebarku. Seandainya saja nekatku lebih besar dari waras asal aku bisa bersamanya. Bisa kah?
“Sudahlah kau sangat drama sekali.” Tampaknya sang logika sudah mulai bosan atas narasi presentasi si imajinasi.
"Logika memang tidak akan pernah memahami isi dari imajinasi. Bagimu itu drama, tapi bagi imajinasi itu adalah kehidupan."
“Halah. Kau..." tuduhnya padaku. "Genggaman tanganmu saja tidak ada isinya. Lihatlah angin yang berusaha kau tangkap. Mereka lari dan menyebar kemana-mana asalkan tidak terperangkap di dalam tanganmu. Kau mau tahu apa isi kepala partikel-partikel udara itu? Sini kujelaskan. Kau manusia tidak tahu diri, penghayal, tidak tahu posisinya sendiri, si lemah yang terlalu malu untuk akui dirinya lemah, si kuat yang bertulang naluri tapi berisi permen kapas dan mahkluk yang diberi wajah tapi menempelinya dengan kepalsuan. Sungguh aku setuju sekali bahwa kau adalah manusia imajinasi. Jangan-jangan kau juga adalah imajinasi sama seperti imajinasimu sendiri.”
“Di mana kerupuk kentang yang kau beli kemarin?” Naluriku mengalihkan acara debat yang sudah mulai terbuka.
“Apakah kau berusaha untuk menjadi kuat melebihi dirimu sendiri? Lihatlah yang kau dapatkan hanyalah imajinasi. Kau seperti manusia yang bergerak hanya karena imajinasi. Tidak bisakah kau berjalan dan bernafas selayaknya manusia saja?” tanya logika.
“Maksudmu selayaknya manusia itu bernafas dengan logika, begitu?”
“Oh kau sungguh pintar. Apakah kini kau sudah mulai belajar untuk menjadi sepertiku?”
“Oh tidak, aku adalah aku dan kau adalah kau. Kita berbeda,” ucapku.
“Berbeda?” Imajinasi mulai membuka mulutnya yang terbungkam telak tadi.
“Ya, kalian semua berbeda denganku. Maksudku, dengan diriku sendiri. Aku adalah aku dan kalian adalah kalian masing-masing. Kita sangat berbeda. Satu-satunya yang membuat kita berjalan beriringan sampai sekarang adalah karena kita memang sudah seharusnya berjalan beriringan. Sadar tidak sadar walau kita berdebat dengan keinginan natural kita masing-masing, pada dasanya kita telah berjalan beriringan dengan semua itu. Logika dengan cinta pada keyakinannya bahwa segala sesuatu itu harus ada penjelasan yang bisa diterima oleh otak, sistematis dan terbatas. Imajinasi yang hidup dengan dunia penuh gerakan mengawang-awang, warna yang sangat banyak, urutan yang tidak sistematis dan batasan yang tidak terhingga. Lalu, ada naluri yang selalu bisa melihat sisi lain dari segala sesuatu, yang tentunya hanya dia yang bisa melihat itu.”
“Lalu kau? Apa peranmu?” celetuk si Naluri.
“Aku adalah tempat kalian beroperasi. Aku adalah indung tempat kalian menempel. Aku adalah sarang. Aku sangat membutuhkan kalian dan kalian juga sama butuhnya akan diriku. Pada dasarnya, kalian hanyalah awang-awang yang tidak tahu akan seperti apa jadinya bila tidak ada aku. Aku juga hanya akan menjadi gumpalan daging jika tanpa kalian.”
“Gumpalan daging?. Istilah mu sangat menggelikan.”