Jejak-jejak hujan masih sangat terasa.
Jalanan yang ramai oleh kendaraan yang hilir-mudik tidak berhasil memecah sejuk yang ditinggalkan oleh hujan. Badan jalan, lampu lalu lintas, zebra cross, teras dan atap-atap rumah tua, semuanya berselimutkan sisa-sia air hujan.
Aku berdiri sambil merapatkan leher jaket hujan di samping tiang lampu lalu lintas hendak menyeberangi zebra cross. Dari arah berlawanan berjalanlah seorang kakek tua berpakaian tradisional suku Angera. Rasa penasaranku pun muncul.
Sangat menarik melihat betapa mencoloknya warna pakaian itu.
Sudah beberapa kali sebenarnya kulihat baju itu dipajang di beberapa toko baju tradisional saat berjalan-jalan ke Angera’s Heaven Street -jalan yang seluruh toko menjual pernak-pernik tradisional mau pun modern khas kota Angera- tapi belum pernah kulihat orang memakainya. Melihat baju itu menempel dan menutupi tubuh mannequin yang terpampang di etalase kaca saja sudah membuatku mengerutkan kening.
Pakaian itu sangat aneh.
Atasannya kuning cerah dan garis hitam melintang miring dari kanan atas ke kiri bawah. Celana juga begitu. Oh iya, beserta bunga-bunga kain berwarna-warni yang di tempelkan di sembarang tempat di bagian baju. Tidak ayal lagi, itu adalah alasan utama untuk memberikan nilai 3,5 dari 10 point sempurna. Walau aku juga bukanlah seorang yang fashionable.
Oh, apakah kali ini debat antara logika dan akal tidak sehatku akan berlangsung lagi? Tidak...tidak. Kemarin aku baru saja berprasangka buruk terhadap sebuah kursi di taman kota. Kau tahu kan ada pepatah yang mengatakan bahwa sapi saja tidak mau jatuh di lubang yang sama? Eh, apa itu kedelai? Keledai? Akh...sudahlah. Jadi aku lebih baik langsung bertanya pada kakek itu saja. Aku tidak mau sapi-sapi itu menertawaiku.
***
Setelah memutar balik arah untuk mengikuti kakek yang sudah melewatiku tadi, terlintas pertanyaan yang sebenarnya sepele tapi efeknya tidak.
“Bagaimana caranya bertanya padanya? Maksudku, kami tidak saling mengenal.”
“Apa dia akan semudah itu membalas setiap pertanyaanku, sementara kami baru bertemu dan bahkan tidak tahu nama satu sama lain?”
“Apakah hanya dengan berjabat tangan sambil menyebutkan nama bisa membuatnya terbuka akan pembicaraan yang mungkin akan lebih seperti wawancara nantinya?”
Coba bayangkan apa yang digambarkan oleh imajinasiku berikut ini:
“Pak, bapak berpakaian kuning cerah, tunggu sebentar.”
Aku membayangkan dia akan berhenti dan menoleh padaku si sumber suara yang ada di belakangnya dengan wajah bingung. Lebih tepatnya heran. Heran pada cara memanggil dan nama panggilan yang kusematkan. Lalu dia mungkin akan tersinggung, lalu memberikan ekspresi tidak senang. Kemudian melanjutkan kembali langkahnya meninggalkan aku yang dalam keadaan menyesal atas tata krama yang tidak elegan.
Atau! Bagaimana bila aku melemparkan tas atau salah satu sepatu yang sedang kupakai ini kearahnya dan meneriaki gaya berbusananya yang aneh? Lalu pertama-tama dia akan sangat sangat sangat terkejut sambil memegangi kepala (aku menargetkan kepalanya sebagai titik serangan), berteriak balik, mendekat ke arahku lalu menanyakan alasanku melemparnya.
Nah!
Di saat itulah aku akan mengeluarkan semua peluru-peluru yang sudah terpendam sejak tadi. Bisa kubayangkan dia akan membela dirinya dengan menceritakan alasan memakai baju itu. Bila beruntung, sebagai tipikal orang yang sudah lanjut umur yang hidupnya lebih banyak memberikan wejangan, mungkin dia akan menyelipkan sejarah baju itu juga dalam ceritanya. Kau tahu kan, biasanya orang lanjut usia sangat menghargai sejarah. Apa lagi sejarah yang membuat mereka bangga. Cerita sejarah itu akan diulang-ulang sampai kuping panas. Aku sudah merasakan kuping panas selama bertahun-tahun dulu, saat remaja, ketika tinggal di rumah nenek.
Setelah itu, tanpa repot-repot merancang pendekatan dan pertanyaan yang humanis, aku sudah bisa mendapatkan jawaban dari khotbah dadakannya nanti. Dengan resiko nama baikku akan dipertaruhkan di depan orang-orang, yang tentunya pasti akan tertarik dengan keributan yang sudah terancang dengan sangat matang.
Jadi, percayalah pada logikamu saat si imajinasi memberikan saran berbentuk jurang terjal penuh dengan buaya yang menunggu dengan mulut menganga.