Di dalam bus biasanya ada kursi prioritas. Di kota Angera kursi prioritas busnya berwarna merah yang jumlahnya hanya beberapa saja. Ada juga ruang ruang khusus wanita yang biasanya ada di paling depan. Aku adalah seorang wanita yang kebetulan baru pertama kali merantau jauh dari kampung halaman. Melihat ada dua hal itu ada di bus besar yang kadang penumpangnya penuh sesak, buat rasa percaya ini terhadap kebaikan dunia bertambah-tambah. Hari ke dua aku di kota Angera waktu pertama kali naik bus lokal, jadi hal pertama juga yang buatku kagum pada kota ini.
***
Kagum itu masih melekat kuat sampai bulan ke enam tepat di hari ke tujuhnya. Sebab pada hari itu terdengarlah caci makian dari seorang wanita muda di dalam bus tepatnya dari ruang campuran. Hari itu penumpang bus tidak terlalu ramai namun semua tempat duduk sudah terisi semua.
“Heh…” teriak wanita itu, buat perhatian seluruh penumpang mengarah padanya yang sedang berkacak pinggang di ruang paling belakang. “Kamu itu harusnya malu sama diri kamu sendiri. Masa tega membiarkan perempuan berdiri dari tadi, sementara kamu laki-laki enak-enakan duduk begitu,” teriaknya lagi. Beberapa shopping bag tergeletak di lantai.
Mulutku menganga sedikit kala dua kalimat panjang tuntas keluar. Lebih menganga lagi kala dengar sebagian orang di sekitar tempatku berdiri ikut berbisik-bisik mendukung wanita itu. Mataku memandang orang-orang di depanku dan benar-benar tidak ada satu pun yang coba bela pria yang tetap kekuh pertahankan tempat duduknya.
Beradu suaralah mereka berdua di sana sampai akhirnya dilerai seorang ibu-ibu yang datang dari ruang perempuan. Ia menarik wanita itu untuk duduk di tempatnya saja sebab ia akan turun di halte berikutnya. Seiring berjalannya mereka ke ruang depan, suara teriakan mengejek terdengar kencang mengarah pada si pria. Hebatnya, ia tetap tenang dan melanjutkan tidur-tiduran bersender ke sandaran kursi. Ingin rasanya aku berlari dan menjabat tangan pria itu, lalu mengucapkan beberapa kata penghiburan.
“Kasihan dia.”
Aku terkejut oleh ucapan itu. Seorang pria berkaos hitam dengan beberapa tato hiasi ke dua tangannya menatapku ketika menoleh ke arah sumber suara. Aku saat itu berdiri bersandar di sisi kiri pintu dan dia juga sama namun agak ke tengah sedikit.
“Siapa?” tanyaku penasaran sebab tak jelas kasihan itu ditujukan untuk si pria atau wanita.
Dengan wajah ia menunjuk sang pria yang tidur sambil bersedekap. Berbinarlah ke dua mataku dan melengkunglah senyumku.
“Setuju.”
“Anda kasihan dengan pria itu juga?”
Aku mengangguk.
“Aneh.”
“Why?” tanyaku terkejut.
“Justru saya yang harusnya bertanya seperti itu. Di antara kebanyakan orang yang mendukung ibu-ibu itu, kenapa kamu yang seorang wanita ini malah berpikir sebaliknya? Why?”
Kutarik nafasku dalam-dalam sebelum mengeluarkannya bersama banyak pembelaaan dari isi kepala. “Well, pertama, pria itu duduk di gerbong campuran. Di mana pria dan wanita berhak untuk duduk atau berdiri di sana.”
“Agree….”
“Ke dua, pria itu mendapatkan tempat duduknya duluan jauh sebelum si ibu naik. Ketiga, lalu memangnya kenapa kalau pria itu tidak mau memberikan tempat duduknya? Apa adil kalau hanya karena dia seorang wanita jadi merasa lebih berhak mendapatkan tempat duduk dibandingkan dengan pria? Peraturan dari mana itu?”
Tidak ada balasan dari jawaban bertubi-tubi dan membara yang kuucapkan. Dia malah melihatku dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. Sedikit awkward, aku pun menggumamkan kata maaf karena terlalu berlebihan. Kurasakan pipiku panas oleh rasa malu.
“No…no…kamu tidak perlu minta maaf. Itu keren. Aku terdiam karena apa yang kau katakan itu persis seperti yang ada dalam pikiranku. Aku hanya terkejut karena bagaimana bisa itu sama persis.” Tiba-tiba saja bahasanya berubah jadi kasul.
“Saya kira anda menganggapnya aneh.”
“Itu keren. Tidak aneh sama sekali. Aku setuju. You know…aku Alexander Darren. Boleh tahu siapa namamu?” tanyanya sementara tangannya tersodor.
Agak takut-takut, kusebutkan juga namaku. Jabatan tangannya kubalas sekenanya saja. Masih ada rasa malu selimuti sebab tadi aku lepas kendali dan jadi berapi-api. Tidak pernah begitu sebelumnya. Selalu bisa kujaga nada suara dan bahasa selembut mungkin. Mungkin karena pemikirannya berbeda dengan kebanyakan penumpang lain, aku pun terpancing oleh rasa bahagia.
“Tujuanmu masih jauh atau sudah dekat?”
“Halte terakhir.”
“Sama. Jadi…masih banyak waktu untuk membahas permasalahan ini, kan?”