Gemerincing alam dari ayunan angin yang melewati dedaunan menggoda telinga. Sentuhan lembut sepoi-sepoi hanyutkan jiwa. Tubuhku seperti terbang terbawa angin, sebab temukan lagi tarian lama di dalam pikiran yang bawa kenangan berputar kembali. Ada keabadian dalam sentilan di sudut hati saat wajahnya tergambar di udara berlatar awan putih. Aku kembali disadarkan bahwa ternyata masih saja ada namanya kuasai alam sadar dan bawah sadar walau sudah 14 tahun tidak bertemu.
Alunan musik klasik menggema lembut dalam telinga. Seakan-akan ingin menambah rasa penyesalan ini. Adegan di mana ia pergi tinggalkanku sendirian di bawah pohon Tabebuya merah jambu di pinggir jalan sepi, berputar kembali. Ia yang saat itu katakan bahwa tidak akan lagi bisa jadi sandaran hidup, telah buat pohon Tabebuya yang ia lewati sembari pergi menjauh memunggungiku berubah jadi warna hitam putih. Tak hijau, tapi hitam putih. Ia mati di dalam jiwa bersama orang-orang yang juga telah menyerah atas diri dan batinku.
Sekuat tenaga aku mengubah haluan kenangan agar tak berputar lagi bawa batin ini semakin sakit, tapi kesia-siaan dan luka semakin dalamlah yang kudapat. Andai bisa melawan waktu, akan kukejar. Memohon agar ia coba lagi tuk temaniku jalani hari. Sebagian diri ini bahkan menyesal mengapa tak bersujud saja di depannya agar ia berubah pikiran. Haluan hidup berubah semenjak itu, hingga hancurkan percaya diri. Lebih-lebih rusak lagi hubungan dengan ibuku saat itu, sebab tak ada lagi tempatku bercerita tentang betapa egoisnya wanita itu.
“Ufth ... dingin,” kueratkan syal di leher. Sore musim gugur ini juga buatku teringat akan kota asalku. Sangat dingin. Hanya saja warna hijau lebih mendominasi sebab tidak ada musim gugur di sana. Berbeda dengan warna coklat keemasan yang sudah dua minggu menjadi warna utama di kota Angera.
Daun-daun berguguran sambutku saat sampai ke bangunan flat. Pagar hitam bangunan yang kulalui tidak membantu sama sekali untuk 'tak biarkan daun-daun coklat itu berserakan. Hampir satu jam sudah aku berjalan-jalan sambil meminum Black Tea Macchiato 'tuk usir angin dingin yang berhasil menyusup ke kulit.
Seorang pria memakai jaket jeans biru gelap sedang berdiri di tangga teras menatap pintu masuk. Tangannya ia masukkan ke dalam kantong jaket dan telapak kakinya gelisah mengetuk lantai. Topi hitamnya tidak mampu tutupi semua rambutnya yang berwarna cokelat gelap, buatku kembali teringat pria dari kenangan yang baru saja berhasil kuhalau.
Lama kupandangi dia dari tempatku berdiri. Sesuatu dalam diri kuat sekali dorong mulut tuk panggil nama seorang pria. “Erland?” panggilku akhirnya pelan.
Tak kusangka ia berbalik dan celingak-celinguk mencari siapa yang memanggil. Hingga bertemulah mata kami. Mataku yang terkejut karena ternyata nama itu adalah benar namanya, dan matanya yang juga terkejut karena mungkin tak menyangka akulah yang memanggil namanya.
“Hai …" sapanya kaku mengangkat tangan.
Tak kujawab sapaan itu. Aneh sekali. Padahal tadi di dalam kenangan, jelas-jelas sebagian diriku sangat ingin bersujud di depannya, tapi mengapa saat sudah ada di hadapanku hati ini mati rasanya?
Kulewati ia dengan wajah datar dan menempelkan kartu ke mesin pengunci pintu otomatis.
“Kata ibumu kau pergi dari rumah.”
Belum sempat kuputar gagang pintu, dan aku berbalik melihatnya penuh amarah. “Jangan bahas dia. Kau tidak punya hak lagi untuk membahasnya. Terutama denganku ….”
Belum selesai aku mengomel, suara pintu terbuka dan suara berdehem terdengar dari belakang. Segera aku menyingkir agar tak kena omelan setelah mengenali wajah masam pria tua itu. Erland dengan cepat berjalan membuka daun pintu kiri lalu masuk ke dalam membuat aku dan pria tua terkejut.
“Kau mengenalnya?” tanyanya dengan ekspresi penuh curiga.
Terpaksa aku pun mengangguk.
***
“Ropa Vieja buatanmu selalu enak. Tidak pernah berubah sedari dulu.”
“Itu sisa kemarin malam, hanya kupanaskan saja.”
Ia terdiam dan senyum sumringahnya membeku. “Tapi ini tetap enak,” ucapnya kemudian lalu lahap memakan kembali masakan andalanku.