Menurut laporan cuaca satu hari sebelumnya, salju pertama akan turun di sore hari ini. Hari ketiga di bulan Desember. Tidak sampai satu bulan lagi, genaplah sudah satu tahun aku tinggal di kota Angera.
Aku sedang duduk di kursi trotoar di seberang toko pohon natal. Toko megah dengan warna-warni khas natal, merah, hijau, putih dan emas di sana sini. Dari semua pernak-pernik, pohon-pohon natal yang dipajang di balik dinding kaca transparan berhasil menarik perhatianku.
Sudah hampir satu jam debat antara Logika dan SYTIKN belum berakhir juga dalam kepala. Sudah tiga ice cream sandwich habis, masih saja mata tertuju pada pohon-pohon natal berbagai ukuran itu. Suara-suara berdebat tentang apakah pohon natal itu begitu penting hingga harus mengeluarkan uang dari rekening tabunganku yang ke-dua.
Sudah hampir 20 tahun uang ku tumpuk di dalamnya dan tanpa tersentuh sama sekali. Uang hasil jerih payah bekerja sejak masih di junior high school.
Sesekali ku seka hidung yang berair oleh dingin yang semakin tidak menentu. Salju memang menyenangkan, tapi dinginnya begitu menyiksa hidung dan telinga.
Belum habis ice cream yang tinggal setengah, ada tepukan di bahuku. Seorang pria dengan senyumnya yang familiar berdiri di samping.
Alexander, si teman lokal di busway.
“Sudah lama tidak melihatmu lagi.”
“Alexander?” ucapku sedikit terkejut.
“Sedang apa di sini?” Ia duduk di sampingku.
Otakku mencari alasan nomal untuk pertanyaan normal itu. Tidak mungkin menjelaskan perdebatan sengit di dalam kepala tentang pohon Natal. Bisa-bisa dia akan menganggap aku gila.
“Makan ice cream.”
Ia mengangguk pelan. “Sebenarnya aku sudah melihatmu dari tadi. Mulai dari ujung toko itu.” Tunjuknya pada bangunan bernuansa coklat tepat sebelum persimpangan menuju flat.
“Oh. Aku lagi jalan-jalan. Menurut ramalan cuaca sore ini salju pertama akan turun.”
“Ya, tahu. Aku juga ingin menikmati salju pertama.”
“Good.”
“Tapi … aku tidak menyangka akan melihat seseorang berjalan-jalan sambil mengunyah ice cream di sore yang dingin seperti ini.”
Aku menatapnya belum mengerti. Mulutku sambil tetap mengunyah pelan-pelan.
Ia balik melihat sambil tersenyum aneh. “Apalagi hidungmu sudah merah. Dari tadi sudah berulang kali begini terus,” lanjutnya lagi dengan akting menyeka hidung.
Begitulah akhirnya kebodohan terungkap. Pantas saja hidungku berair. Betapa lemah nalar ini. Ku katakan musim dingin indah namun menyiksa, ternyata karena kebodohan sendiri.
Belum sempat menyangkal, ice cream yang tinggal se-ukuran dadu terjatuh dari kemasan menempel di coatku. Kami saling pandang. Tertawalah ia sampai-sampai menutup mulut dengan lengannya sebab banyak orang menoleh. Suara tawanya kencang menggelegar.
Malu-malu ku seka ice cream, wajah pun terasa panas, .
…
“Jadi, intinya kau sedang berdebat dengan pikiranmu sendiri, begitu ‘kan?”
Kepalaku mengangguk lega, sebab akhirnya berhasil mengalihkan pembicaraan tentang ice cream yang memalukan itu. Walau pun harus melompat ke cerita yang mungkin saja sama anehnya.
“Sebelum aku berkomentar, ada satu pertanyaan yang sangat menganggu.”
“Apa itu?” tanyaku sedikit bingung. Kalau aku jadi dia, harusnya bukan cuma satu tapi banyak.
“Sedikit sensitif karena menyangkut keuangan.”
“Hmm … aku … cukup mampu membelinya. Tidak akan mempengaruhi kebutuhan yang lain.”
“Itu salah satunya. Tapi pertanyaanku bukan itu. Bagaimana, ya, cara bertanyanya?” Ia menggaruk-garuk kepala.
“Semua uangnya dari gaji yang ku tabung dulu. Bukan dari sugar daddy,” ucapku spontan kala teringat pertanyaan Janet di malam mabuk. Ia penasaran aku belum bekerja tapi tetap bisa membayar uang sewa. Jangan sampai Alexander salah paham dengan asal muasal uang tabunganku.
Bukannya memvalidasi, ia malah tertawa lagi. “Bukan itu yang kumaksud. Tidak perduli kau dapat uang dari mana, pertanyaannya bukan itu. Aku penasaran kenapa rekeningmu harus ada yang pertama dan ke-dua? Apa mungkin ada yang ketiga dan keempat juga? Memangnya tidak sulit mengurus rekening sebanyak itu?”
“Pertama …” ku sambar langsung pertanyaannya. “Setiap orang berhak mengurus uangnya dengan caranya masing-masing."
"Setuju."
"Ke dua, dulu aku punya teman yang bekerja di bagian marketing bank. Saat tahu aku punya tabungan yang lumayan di rekening pertama dan dulu masih rekening satu-satunya, dia mengejar untuk membuka rekening lain. Katanya kurang baik kalau uang terkumpul di satu tempat saja. Kamu tahu tabungan berjangka?”
“Tahu. Aku tidak suka tabungan itu. Repot.”