Sekiranya bisa, kurangkai saja semua kata di atas hitam putih, bukan di dalam kepala dan bukan juga lewat mulut. Mereka berdengung memaksa tuk didengarkan dalam sekali waktu. Mungkin ice cream tadi sore telah membuat dengungan itu jadi semakin tajam hingga merobek kantong cairan di dalam hidung, maka cairan menjijikkan yang semakin lama semakin cair, tidak berhenti keluar. Malam telah datang lagi, dan aku masih tidak bisa mengkhawatirkan tentang diriku yang seenaknya saja menceritakan kisah kelam pada orang asing bernama Alexander itu.
Badan rebah meriang, kepala kutekan kuat ke sandaran tempat tidur agar tidak semakin meronta keluar isinya. Kakiku menekan kasur agar tekanan tetap intens. Aku tidak tahu sudah berapa lama dan mulai kapan, tapi salju sudah mewarnai pemandangan langit gelap di luar jendela. Salju itu turun dari langit tak sama bentuknya di bawah mikroskop kata para ahli, sama seperti setiap denyut kepala yang muncul semakin tak beraturan rasa dan akhir rasanya. Obat flu dari kotak P3K lusuh yang kutemukan di dalam lemari dapur belum menunjukkan tanda-tanda penyelamatan.
“Janet saja tidak malu menceritakan pekerjaannya, yang pasti sangat tabu bagi semua orang termasuk dia sendiri. Kenapa kau seolah-olah merasa ceritamu itu lebih tabu dari ceritanya? Ada banyak manusia yang punya cerita lebih kelam, tapi tidak bertingkah berlebihan. Kamu ini sok paling penting saja.” Ditengah riuh sakit sekujur tubuh, logika datang menyerang.
Aku menengadah mencari alasan, tapi denyut nyeri dan hidung yang semakin tersumbat tak biarkanku cari celah di langit-langit kamar tidur.
“Biarin. Memangnya semua orang harus cerita?” sahut suara lain.
“Diam,” bisik mulutku.
Perdebatan mereka berputar-putar dengan masa lalu itu sendiri. Bagai layar bioskop bergantian mereka muncul di sana, habiskan daya dan nafas.
Tok tok tok tok….
Dentam suara dinding yang dipukul kencang lalu melambat pecahkan isi debat. Seksama kuperhatikan pintu kamar tidur bermaksud meyakinkan diri apakah itu suara ketokan di pintu flat, sebab suaranya berbeda. Kupijit-pijit kepala yang hanya bertahan terangkat sebentar saja, kalah oleh denyut yang masih terasa kuat.
“Mungkin seperti banyaknya salju yang turun dari langit, denyut kepala ini tidak mempan hanya dengan satu butir obat saja,” pikirku sambil bangkit berdiri dengan segala sisa kekuatan. Hampir terjungkal aku beberapa kali hingga harus berpegangan pada apa pun untuk tetap bisa berjalan ke luar kamar tidur.
Tok tok tok tok tok….
Terdengar lagi suara berdebam dinding di pukul lambat. Kali ini kuyakin juga bukan dari dalam kepala, sebab sudah mulai kebas seluruh tubuh.
Lalu, sebuah denging panjang memekakkan telinga gantikan suara apa pun itu yang ada di sana. Degup jantung terasa nyeri. Kotak P3K lusuh di atas meja tengah terlihat dari pintu kamar tidur yang berhasil kubuka dengan susah payah, sampai kaki bersimpuh di lantai.
Namun akhirnya kakiku pun tidak mampu lagi berdiri meski sudah mencoba berkali-kali. Demam di kepala, hidung yang semakin berair, dengung melengking di telinga, dan degup jantung yang semakin menggedor dada, telah serap semua daya.
Sakit sekejap oleh benturan kepala ke lantai, itulah yang terakhir kali terasa sebelum akhirnya tidak mampu lagi mataku terbuka.
…
Pohon natal kecil indah berdiri di atas meja kayu kokoh tinggi.
Kelap-kelipnya, kado natal besar-besar di bawahnya dan sebuah bintang besar emas di atasnya, adalah yang pertama kali tampak jelas terlihat saat membuka mata. Dua hari setelah malam natal lima tahun lalu, di dalam kamar yang lumayan luas, kulihat juga ibuku berjalan gelisah ke sana – ke mari dengan ponsel menempel di telinga. Seorang wanita tua duduk di sofa di dekat pintu menautkan jari-jari tangan. Terlihat jelas raut wajahnya khawatir menatap ibu.
Tenggorokanku yang sangat kering menghambat suara tuk bisa memanggil. Kuraih botol vodka di nakas kecil di samping kasur. Ternyata genggaman tak mampu menahan beratnya meski isinya tersisa tak sampai seperempat saja. Alhasil, botol itu jatuh. Tak pecah, namun isinya membasahi lantai sekaligus memancing perhatian mereka.
“Kau sudah bangun, Nak? Bagaimana kepalamu? Masih sakit?” Tidak hanya diserbu oleh langkah dan wajah khawatir, mereka juga menghujani dengan banyak pertanyaan sekaligus elusan berkali-kali di kepala dan tanganku.
Tak satu pun pertanyaan bisa kujawab. Malah kupandangi mereka bergantian. Aku sungguh bingung antara hendak menanyakan sedang berada di mana ini, siapa wanita tua itu atau ingin meminta air minum.
“Sudah, jangan buat semakin pusing dengan pertanyaanmu.”
“A… ir,” terbata kata itu keluar. Bibir kering sekali menempel kuat. Mengucapkan satu kata saja sungguh nyeri rasanya.
Wanita tua itu tergesa mengambil mug biru dari meja di samping tempatnya duduk tadi, lalu memberikan pada ibu. “Dokter sebentar lagi datang ya, Nak. Ceritakan pada dokter semua kronologi sebelum kau pingsan. Setelah itu….” Sambil membantu minum dari mug biru tua bercorak bintang-bintang kuning, ibu tetap saja tidak membiarkan telingaku damai dari segala ocehan. Beberapa kali wanita tua di sampingnya juga ikut menyahut.
“Dia siapa?” tunjukku lemah pada wanita tua itu setelah cukup banyak air masuk puaskan dahaga.
Bukannya menjawab, mereka berdua malah terdiam.
Wanita tua itu menghela nafas kesal kemudian sambil memandang ibu yang menunduk membelakanginya.