Kota Angera

myht
Chapter #11

Pohon Natal Besar


Pohon natal besar. Kelap-kelipnya, daun dan ranting membentang lebar-lebar, hiasan berwarna warni, tanpa kado di bawah juga tanpa bintang di puncaknya, adalah yang pertama kali kulihat begitu membuka mata. Seperti biasa, buta sementara menyisakan berat dan pegal di sekitar mata, jika sudah kembali normal. Tapi keindahan pohon natal itu sangat sepadan untuk memaksa mata tetap terbuka.

Pohon natal besar ada di sudut ruang depan, tepatnya di samping kiri kitchen set. Sudut aneh yang sudah ada sebelum pindah ke flat ini. Marketingnya bilang kalau itu tadinya adalah lemari pantry, tapi pemilik sebelumnya membongkar lalu mengecat ulang dinding. Menyisakan kitchen set janggal seperti hanya setengah saja.

Tidak pernah kusentuh dinding itu, sebab tidak tahu harus diapakan. Setiap hari hanya berjalan melewati sampai benar-benar terbiasa seperti tidak ada yang janggal lagi di sana.

Baguslah sekarang ditutupi pohon ntal. Aku tersenyum akan ide brilliant orang yang meletakkannya di sana.

Good morniiing. Kau suka pohon natalnya?”

Aku menoleh cepat, “Nala?” ucapku kaget melihatnya datang dari arah kamar mandi.

“Kau kira aku akan meninggalkanmu sendirian di sini? Walau pun piyamamu sedikit sempit tapi aku tidak akan pernah meninggalkan sahabatku. Kau tahu itu ‘kan?”

Senyumku kembali merekah. Sejak histeris kemarin malam, Nala selalu mendampingi. Karena susah tidur, akhirnya dia menemani tidur di ruang tengah. Lalu megalirlah cerita tentang buta sementara dari awal sampai saat histeris. Nala tidak banyak berkomentar, hanya terkejut dan protes karena aku tidak pernah cerita.

Tadinya kukira dia akan kembali ke kamarnya setelah aku tidur. Ternyata tetap menemani sepanjang malam.

Suara timer oven terdengar berkali-kali. “Ok. Waktunya sarapan,” ucapnya riang melangkah ke dapur.

Aku bangkit duduk bersandar ke bemper sofa.

“Sarapanmu hari ini adalah sunny side egg bertabur garam plus roti bakar isi tuna mayo yang kubeli dari kafe kesukaannmu. Daaan tara … aku makan spaghetti dari kafe langgananku.”

 “Kau bangun jam berapa sampai bisa menyiapkan ini semua?”

For real? Ini sudah jam 11.30an, hellooo.”

What?” Aku melihat ke luar jendela, langit sudah sangat terang.

“Tidurmu sangat nyenyak tadi. Makanya, cepat habiskan sarapan atau lebih tepatnya brunchmu sebelum burung-burung mematok rejekimu. Kalau aku sih sudah sarapan. Ini makan siangku.”

“Kau percaya cerita itu?”

“Nenekku yang percaya.”

“Dasar.”

Nala tertawa sambil bolak-balik membawa minum dan alat makan. Sementara aku menyiapkan meja lipat dan menyusun makanan di atasnya. Tak lupa memilih tontonan di TV.

...

Thank you, Nala. Sorry jadi ngerepotin.” Ucapku setelah semua rapi.

“Dari pada terus minta maaf dan terima kasih, lebih baik mulai sekarang kau cerita semua tentang apa pun itu. Jadi aku bisa berjaga-jaga kalau ada sesuatu terjadi. Aku rasa kita sudah lumayan lama berteman, sudah cukuplah untuk saling berbagi cerita yang tidak hanya sekedar cerita. Itu pun kalau kau mau. Kalau tidak juga tidak apa-apa. Tidak akan kupaksa.”

Kalimat yang sangat panjang itu melegakan hatiku. Sebab kukira akan canggung sekali setelah apa yang terjadi kemarin.

“Aku janji.” Kuberikan kelingkingku menunggu tautan kelingkingnya.

Deal.”

Kelingking kami saling bertaut, senyum merekah lega.

“Ingat tidak dulu kita pernah bertengkar karena kau menolak saling memegang kunci cadangan?”

Lihat selengkapnya