Hiruk pikuk jalanan menuju pusat kota Angera sangat nyata bisingnya. Tidak seperti saat memandang dari jendela kamar. Sepanjang jalan banyak mobil berlalu-lalang di antara pernak-pernik natal yang menggantung dan menempel di sana-sini. Bertabur semarak salju. Bersama tumpukan rasa penasaran di kepala, kaki gesit melangkah. Gelisah terburu-buru ingin cepat sampai.
Lampu warna-warni menyambut begitu sampai di gerbang plaza Artapure. Lapangan luas dikelilingi beberapa bangunan pemerintah dan museum, tempat Festival Raise Artapure sedang berlangsung. Banyak hiburan rakyat di sana sini. Orang-orang pun ramai.
Setelah 20 menit berjalan dari gerbang melewati banyak wahana dan tenan makanan, aku memilih duduk di kursi dekat pagar wahana dizzy horse. Tidak jauh di depan ada wahana sky wheel. Efek cahaya lampunya sungguh menghipnotis mata. Memanggil-manggil sejak dari gerbang plaza tadi.
Sebenarnya aku kurang suka suasana meriah begini, tapi di sini, melalui pak Smith, Alexander meminta bertemu.
Dua hari lalu, setelah selesai menghias pohon natal, aku dan Nala untuk ketiga kalinya mendatangi kantor pak Smith. Niat kami mencari bukti kemungkinan ada penyusup masuk ke dalam unit flatku. Malah pak Nial, security lainnya yang lagi-lagi menyambut. Katanya, pak Smith tadinya cuma izin keluar sebentar, lalu akhirnya izin pulang cepat. Sekalian mengambil cuti tiga hari ke depan.
Tentu saja itu aneh. Kenapa pas sekali saat kami ingin bertanya? Apakah dia dan Alexander bersekongkol? Atau mereka komplotan? Banyak sekali kemungkinan yang aku pikirkan saat itu.
Tengah sibuk menjelaskan, telepon di atas meja security berbunyi. Pak Nial mengangkat dengan wajah masam. Berbincang sebentar, lalu memanggilku dengan jari telunjuk. "Sungguh tidak sopan," pikirku sambil melihat Nala.
Gagang telepon disodorkan, dan ternyata dari pak Smith.
Anehnya, tanpa basa-basi ia langsung meminta agar jangan ada siapa pun di ruangan itu tahu isi pembicaraan kami. Kaget, tentu saja, tapi segera ku atur sedemikian rupa supaya tidak ketara.
Beberapa informasi yang ia sampaikan begitu mengganggu. Untuk lebih jelasnya, harus menemui Alexander di plaza Artapure tanpa ditemani siapa pun. Bahkan tidak boleh ada yang tahu aku ke sana, termasuk Nala, Janet dan pak Nial. Sungguh aneh karena pak Smith menekankan dua nama familiar. Satu lagi, pak Nial, yang jelas-jelas hanya sekali dua kali bertemu.
Ku sembunyikan semua dengan akting sebaik mungkin agar Nala tidak curiga.
“Pak Smith bilang kemarin tidak ada orang atau hal yang aneh. Hanya pohon natal itu saja. Itu juga ternyata kado Natal dari Alexander. Katanya mau kenalan,” ucapku pada Nala begitu kami di dalam lift.
“What? Sebesar itu?"
"Aku juga kurang percaya."
"Trus Erland mau dikemanakan?”
“Makanya, pohon natalnya buatmu saja. Aku mau mengajak Erland kencan. Jadi kangen tiba-tiba.”
“Sudah hampir tiga bulan tidak bertemu. Wajarlah kangen. Aku malah heran kalian masih baik-baik aja. Apa enaknya punya pasangan tapi jarang ketemu?”
“Yah, begitulah keadaannya. Katanya dia sibuk. Apalagi akhir tahun begini.”
“Yakin? Kau tidak curiga?”
“Curiga?”
“Well, tiga bulan bukan waktu yang sebentar.”
“Aku tidak mau menambah bebannya, Nal.”
“Komunikasi? Lancar?”
Aku membisu. Sebenarnya kami bahkan belum berkomunikasi sama sekali dua bulan ini. Spark yang dulu muncul saat bertemu kembali dengannya hilang setelah kencan ke tiga kami. Erland terlalu banyak menceritakan tentang dirinya, kesuksesannya bahkan hal-hal kecil pun diulang-ulang.
Di kencan terakhir, sama sekali tidak ada ruang untuk cerita kehidupanku. Sentuhan-sentuhannya pun sudah tidak terasa spesial. Aku merasa dia mencumbuku hanya untuk menunjukkan betapa perkasanya dia.
“There you go again. Melamun lagi.”
“What?”
Nala berdecak sambil menggelengkan kepala. Keningku berkerut mengikuti dari belakang begitu pintu lift terbuka. Sebenarnya aku mendengar ucapannya, tapi sedang tidak fokus ke situ.
Selain karena Erland, tiap kali melihat Nala, dalam hati aku meminta maaf berkali-kali karena telah berbohong. Padahal baru beberapa jam sebelumnya kami saling mengaitkan janji kelingking.
…
Artapure, plaza luas menampung ribuan orang di malam Raise Artapure. Festival tahunan tepat di hari kelima, minggu pertama bulan Desember. Festival Raise Artapure adalah simbol perayaan takluknya para pedagang luar yang coba mengambil alih Kota Angera jauh sebelum kehidupan modern ada.