Kota Angera

myht
Chapter #13

Pertemuan Tak Terduga

Alex membangunkanku. Wajahnya persis di hadapan, walau agak jauh dan berlatar langit-langit kamar.

“Syukurlah …” ucapnya sambil menyingkir menghela nafas.

Aku justru menahan nafas. Dengan kemeja putih polos dan rambut sedikit berantakan, ia terlihat jauh lebih menarik dibanding ingatan apa pun yang tersimpan tentang Erland. Pengakuan itu seketika ku tepis dan segera bangkit. Sungguh di luar nalar.

Ruangan ini… bukan milikku. Tidak satu pun barang terlihat familiar. Kamar mewah dengan banyak ornamen melengkung. Motif bunga, daun dan warna pastel yang lembut ada di setiap dinding, juga di sebagian besar benda. Langit-langit kamar dekoratif dengan cermin berbingkai emas menempel di dinding depanku.

Ruangan yang terlihat kuno namun bersih elegan. Tempat tidur pun terasa sangat empuk dan … mahal. Berjuta-juta kali lebih nyaman dari tempat tidur di flatku.

“Jangan panik.” Ia menenangkanku yang mulai gelisah memperhatikan sekeliling. “Sudah hampir 24 jam kau tak sadarkan diri. Untungnya ada adikku yang menyarankan membawamu ke sini. Ini rumahnya. Lebih aman daripada tempat lain saat ini.”

“Rumah adikmu?” aku mengaruk kepala. “Sebenarnya apa tujuanmu menyuruh datang ke malam festival itu? Kalau dipikir-pikir lagi, jangan-jangan kaulah orang yang menyusup masuk ke dalam kamarku waktu itu. Tingkah lakumu aneh sekali,” ku cecar ia dengan suara serak memaksa, begitu ingat tentang malam festival.

“Kalau baru bangun, minum teh hangat dulu. Jangan buru-buru. Nanti kau pusing. Urusan kita masih banyak.”

“Alex! Jangan bertele-tele.” ucapku tegas. “Kau bahkan membawaku ke rumah adikmu, katamu? Dan ini … ini … ini pasti kamarnya iya, kan?” Aku sedikit ragu karena kamarnya sangat besar.

“Sebentar. Jangan marah-marah dulu.” Ia mundur sambil tangannya mengacung ke depan mencoba menangkan, lalu duduk di window seat.

“Pertama … ini kamar tamu. Kau tamu, dan berhak berada di sini. Ke dua, kita perlu mengulang perkenalan. Aku juga tidak pernah menyangka akan bertemu denganmu di busway waktu itu. Dan, malah jadi jalan keluar untuk kasus yang sedang ku tangani.”

Suaranya mendadak samar oleh dengung telinga. Aku takut buta sementara mulai menggerogoti. “Alex, aku tidak bisa lama-lama mendengarmu bicara. Kepalaku pusing. Kasus apa maksudmu?” Nada suaraku memaksa.

“Oh, maaf aku lupa. Mungkin kau lapar. Tadinya aku ke sini mau mengecek keadaanmu dan mengajak makan malam ke bawah kalau sudah bangun. Mau ke bawah sekarang?”

“Aku butuh penjelasanmu. Secepatnya.”

“Ok, sambil makan?”

Aku terdiam. Perutku … memang lapar.

“Sebentar.” Ia mengacungkan jari telunjuk sambil berjalan ke meja bundar di sudut kiri. Di atasnya ada telepon meja berwarna putih. Tak lama kemudian berbicara di sana dan memesan beberapa makanan yang namanya terdengar sangat asing berlogat prancis kental.

Segera setelah duduk, ia berbicara lagi yang membuat mata membelalak. “Namaku bukan Alex,” ucapnya santai. “Nama asliku Armand Alexander Pelletier.”

“Tapi itu masih ada Alexnya,” protesku.

“Orang-orang biasa memanggil Armand. Belum pernah ada yang memanggil nama tengahku.”

“Seingatku kau sendiri yang memperkenalkan diri dengan nama tengahmu. Selama ini aku juga sudah mengenalmu sebagai Alex, bukan Armand.”

“Aku hanya ingin menghindari kebingungan antara Alex dan Armand, itu saja.”

“Alex,” tegasku lagi tak mau kalah.

“Mungkin … bisa coba mulai memanggil Armand … pelan-pelan.”

Lihat selengkapnya