Kota Kecil Di Ujung Barat

Alek Wahyu
Chapter #3

Penyair Sederhana

Sesaat ia tertidur diantara bisingnya kendaraan umum yang berlalu lalang seperti seekor nyamuk yang hadirnya begitu mengganggu, pejalan kaki dengan berbagai macam bahasa dan pedagang kaki lima yang bersorak untuk dagangannya.

Seperti biasa ia hanyalah seorang pemuda yang tak begitu memikirkan masa depan, menyebut dirinya sebagai seorang sastrawan, penulis puisi yang tak tentu kapan karyanya akan tercantum di dalam sebuah buku, yang ia tahu hanyalah menulis, menukil beberapa kisah, menyingkirkan berbagai cerita. Yah, dia selalu berbicara perihal imajinasi, sebuah tempat yang tertanam pada fikiran, begitu jelas bersama para pelaku fiksi di dalamnya, sedikit saja dari ia yang menjadi acuan dengan seorang wanita muda berambut panjang.

Hari itu pukul tiga lebih sedikit, ia yang masih mencari kesadaran perlahan melangkah melewati beberapa lorong yang dindingnya di penuhi beraneka warna serta tulisan, gambar seorang tokoh hingga gambar seorang kekasih, dentum drum serta alunan klasik dari petikan gitar. Ia tak ingin lebih, baginya hidup sedehana sudah lebih dari cukup, dimana ia masih bisa menghirup udara secara gratis, menikmati pemandangan dari berbagai sudut kota, tiang penyangga dan bau asap kendaraan, menikmati santapan penunda lapar, hidangan utama, hingga penitup. Yah, lebih dari cukup dan ia pun menikmatinya.

Sesampainya di ujung lorong, ia melihat beberapa orang dewasa dengan watak berbeda, yang satu berbicara perihal politik, yang satu berbicara perihal agama, yang satu berbicara perihal cinta dan yang satu kembali masuk mengucap salam. Seduhan kopi hangat, gorengan hingga semangkuk mie tak luput dari pembicaraan, tawa riang dalam canda penikmat kehidupan.

Ia berdiri, bersandar pada salah satu dinding dengan kaca mengkilap, memandang sejenak kesibukan para pencari berita, terlintas dalam fikirnya mengenai penguasa yang hanya bisa memenuhi hasrat dengan nafsu tak berujung, tak jelas dan tak tampak hingga pemeriksaan pun mampu untuk di hindari dengan begitu mudahnya, senjata utama. "Setumpuk kertas bergambar dengan nominal tak seberapa"

Yah, begitulah kehidupan, dunia dalam tipu daya teramat nyata, pelaku maksiat berbusung dada, nafsu memuncak, saling tikam hingga menghilangkan jejak.

Assalammu'alaikum uda, pria berbadan kekar dengan perut menonjol hadir, dengan style anak muda di zamannya, berkacamata, rambut urakan, baju kemeja dengan motif kotak-kotak, sepatu adidas berwarna putih, menyandang tas dengan satu lengan sedangan yang satunya lagi memainkan kunci kendaraan bermotor yang terparkir tepat di depan lorong-lorong.

Lihat selengkapnya