Kota Patrakomala

Annisa Insyirah
Chapter #3

Intuisi dan Ego

Ryan POV (Intusi dan Ego)

Namaku Ryan Handika, malam ini aku tetap terjaga memandangi malam yang sepi dari jendela kamar di rumahku yang sederhana dan hanya memiliki satu lantai ini . Aku tidak bisa tenang untuk beberapa alasan rasanya ada sesuatu yang membelenggu hatiku hingga amat gelisah. Sesekali suara anjing menggonggong terdengar, entah apa yang membuat mereka seperti itu tetapi yang pasti sekarang mataku tertuju pada ayahku yang baru pulang dari tugasnya sebagai polisi.

“Ayah? Kenapa pulangnya larut sekali?” tanyaku sambil melompat keluar kamar menghampiri ayah.

“kamu belum tidur? Tidurlah ayah cuma mau mengambil beberapa berkas yang dibutuhkan dan akan kembali lagi ke kantor” jawab ayah terburu-buru.

“memangnya ada apa? Kenapa ayah terlihat sibuk?” tanyaku lagi.

“Ayah tidak tahu, anggaplah seperti intuisi manusia ayah pikir harus memeriksa beberapa hal dan sepertinya atasan ayah berpikiran yang sama” jawabnya sambil berlalu.

“kegelisahan” kataku dalam hati.

Pagi harinya aku pergi ke sekolah seperti biasa tapi pikiranku tetap tidak tenang, kegelisahan yang tidak biasa dan bukan aku saja yang merasakan itu terasa sangat aneh. Aku mencoba bertanya pada teman-temanku bagaimana perasaan mereka sekarang dan jawaban yang mengejutkan kudapatkan. Memang tak semua merasakan keganjilan namun tak sedikit dari mereka merasa gelisah yang tak bisa dijelaskan. Mungkinkah ini Intuisi manusia?.

“Hahahaha” suara tawa terdengar dari teman-temanku yang sedang bersenda gurau di belakang sekolah tapi aku memutuskan memisahkan diri karena perasaanku yang makin tak menentu sembari memainkan pematik api yang kubawa karena tadinya ingin merokok.

“oi ryan, kamu kenapa disana sendiri? Cepat kesini, kamu sedang puber ya? Hahaha” kata mereka sambil tertawa.

Tak kepedulikan lelucon mereka, aku hanya mencoba mengumpulkan semua kegelisahan yang ada dan mencoba untuk menghilangkannya dengan memandang ke awan. lalu aku melihatnya, seorang anak laki-laki yang sekelas denganku sedang memandangi langit di ruang uks, siapa namanya? Rio? Tio? Ah iya benar Tio. Namun tiba-tiba saja badanku gemetar cepat,adrenalinku meningkat sejalan dengan kemunculan seorang anak kecil berdress putih di kejauhan, wajahnya nampak seperti boneka terlihat manis namun sangat menyeramkan. Secepat mungkin aku mencoba berdiri dari tempatku duduk dan memandang lurus ke arah anak kecil berdress putih itu.

“eh? Kenapa ada di sini neng? Pulang ke mama mu sana” kata salah satu temanku yang sekarang sedang berjalan ke arahnya.

“Lari!” teriakku kepada mereka

Sesaat mereka menoleh kepadaku dalam sekejap mata temanku yang berjalan ke arah anak kecil tadi telah terbelah dua, cipratan darah yang keluar dari tubuhnya membuat mata kita terbuka lebar tentang apa yang ada di hadapan kita, tak ada senjata yang dia pakai. anak kecil itu hanya menggunakan tangannya untuk membelah tubuh teman kami.

“Monster” aku yakin itulah yang ada di pikiran kami sekarang.

 Lalu teriakan menyeruak beriring dengan langkah kaki yang tak tentu arah dari teman-teman. aku yang berdiri paling jauh dari mereka mencoba berlari ke arah samping menuju bagian belakang lain dari sekolah berharap bisa masuk ke sekolah dengan pintu darurat yang berada tak jauh dari sana namun aku sadar suara teriakan bukan hanya berasal dari kami yang ada di luar, suara-suara jeritan dan tangisan itu berasal dari dalam sekolah juga. Sekolah kami sebenarnya berada di bagian kota yang tak terlalu ramai dan karena sekolah kami cukup besar dan luas suara teriakan dan tangisan yang terdengar ini terasa sangat berbeda, terasa sangat menakutkan. Namun tak ada waktu untuk ketakutan aku berpikir untuk mengubah arah menuju parkiran sekolah yang memang tepatnya berada di jalur yang sedang kulalui sekarang namun sesaat aku memutuskan untuk melihat keadaan di belakang. Dan aku melihat beberapa teman yang melewatiku dan satu orang yang bersembunyi di dalam tong sampah yang berukuran cukup besar. Dan aku melihatnya, monster kecil itu tahu saat temanku itu masuk kesana tapi dia tidak mengejarnya. Dia hanya mengejar kami yang sedang berlari atau mungkin kami yang tak tertutupi?.

“Hei teman-teman cepat sembunyi” teriakku sambil bersembunyi di belakang kursi dan meja tak terpakai yang tersusun berada tak jauh dariku.

“kau gila? Dia melihatmu! Lari!” teriak temanku sambil berlari menjauh.

Benar saja, monster kecil itu menyerang dengan menghantam meja dan kursi itu dengan keras. Beruntung aku berhasil melarikan diri tepat waktu. Kenapa? Apa aku salah mengira? Aku pikir monster itu tidak akan menyerangku jika aku bersembunyi? Ah iya apa karena ada celah? Karena tempatku bersembunyi tidak benar-benar tertutup? Secepat mungkin aku mencoba meraih tong sampah lain yang kebetulan berada tak jauh dari sini. Mata kami bertatapan tapi langkahku lebih cepat selangkah, dan kini aku telah memasuki tong sampah. Monster itu berjalan mendekatiku aku dapat merasakannya dari suara langkah sepatu yang mendekat. Kalau dia membunuhku disini akan sulit bagiku untuk melarikan diri karena tempatnya sangat sempit.

“boleh aku masuk?” Tanya si monster

Aku tidak menjawabnya karena sekarang aku tidak bisa memikirkan jawaban yang tepat, namun aku rasa diam adalah keputusan terbaik karena sekarang aku tidak mendengar suara dari monster itu bahkan suara nafasnya sekalipun. Tapi aku tak berniat untuk keluar dari sini sekarang karena meskipun terasa hening namun aku juga tidak mendengar suara langkah kakinya yang menjauh. Aku berdiam sedikit lebih lama bahkan aku tidak bergerak agar tak tercipta suara sedikitpun.

“cih” terdengar suara monster itu kesal sambil berlalu dengan cepat.

Aku mendengar langkahnya menjauh dengan cepat, dia pergi dan benar-benar tidak masuk untuk menyerangku padahal jelas-jelas aku berada di dalam tong sampah ini, tapi anehnya tadi dia sempat meminta izin untuk masuk, apa yang sebenarnya makhluk itu lakukan? Karena penasaran dan merasa sudah aman aku sedikit mengintip dan melihat keadaan yang terasa cukup hening. Tidak ada tanda-tanda monster ataupun keberadaan manusia di dekat sini hanya ada suara jeritan-jeritan yang menggema dari kejauhan. Setelah yakin keadaan telah aman aku memutuskan keluar dan menuju temanku yang bersembunyi di tong sampah yang lain. Aku membuka tutupnya dengan hati-hati temanku itu terlihat cukup menyedihkan, di antara sampah badannya yang agak tambun itu bergetar hebat dia amat ketakutan bahkan memejamkan matanya dengan sangat rapat.

“Bino, oi!” bentakku menyadarkannya.

Matanya menatapku kaget, isak tangisnya yang sempat terhenti itu mengalir cukup kencang, kakinya yang berisi itu menguatkan diri untuk berdiri dan berusaha keras untuk keluar dari tong sampah. Aku menariknya keluar sekuat tenaga.

“Ryan, kemana monster itu?” Tanyanya gemetar

“aku tidak tahu tapi sepertinya di dalam sekolahpun tidak aman” jawabku.

“ka kalau begitu ayo kita keluar sekolah” katanya lagi.

Aku mengangguk karena memang aku juga berpikir itu adalah pilihan terbaik daripada kembali ke dalam sekolah yang dimana suara jeritan-jeritan terdengar jelas, kami pun berlari menuju arah parkiran namun kami segera memundurkan langkah kami ketika melihat monster kecil yang tadi mengejar kami berdiri membelakangi kami, di hadapannya terdapat banyak siswa dan guru yang sedang berusaha melawannya, mereka bersiap untuk menyerang dengan peralatan seadanya namun belum sempat senjata mereka menyentuh monster kecil itu, tiba-tiba saja monster kecil lain yang berlendir dan wajah yang menyerupai ikan datang dengan kecepatan tinggi dan menghantam beberapa dari mereka hingga terlempar ke dinding.tubuh mereka yang terlempar seketika hancur menandakan hantaman monster berlendir itu sangatlah kuat. Mereka yang tersisa hanya dapat membeku melihat pemandangan mengerikan itu sampai-sampai tak menyadari keberadaan monster berdress putih yang sedang menyeringai ke arah mereka. Aku dan bino memutuskan untuk mundur dan mencari tempat sembunyi namun mata kami bertemu dengan monster berlendir yang menyeramkan itu.dia merayap dengan cepat ke arah kami sekuat tenaga aku menarik bino yang hanya terdiam. Kami memasuki pintu darurat samping untuk masuk ke area gedung sekolah yang memang berada tak jauh dari tempat kami berdiri,setelah beberapa langkah aku melihat pintu gudang yang terbuka namun saat tinggal sedikit lagi kami akan masuk tiba-tiba monster berlendir itu menangkap kaki bino,dia terjatuh dengan cukup keras di lantai, monster itu membuka mulutnya yang besar dan berlendir.

“makan” kata monster itu pelan.

“Ryan, tolong aku” pinta bino sambil menangis.

Aku menendang monster itu sekuat tenaga dan dia terpental, sebenarnya aku memang cukup kuat namun aku tidak menyangka dia akan terpental sejauh itu. Tapi kesempatan ini tak boleh disia-siakan aku mencoba menarik bino sekuat tenaga namun lendir yang telah menempel di kaki bino sangatlah lengket sehingga sulit untuk bergerak.

“lepaskan celanamu!” perintahku cepat.

“ta,tapi” jawabnya ragu.

“cepat kamu pakai celana pendek di dalamnya kan?” perintahku lagi.

Bino akhirnya menurut dan membuka celana panjangnya secepat mungkin. Kami mencoba sekuat tenaga untuk masuk ke dalam gudang namun kaki Bino tergigit oleh monster berlendir yang cukup cepat itu.

“Aarggh!” teriak bino kesakitan.

Aku mencoba menutup pintu gudang namun monster itu masih menggigit kaki bino dengan sangat kuat aku mencoba mengambil pipa yang berserakan di dalam gudang. Aku memukul monster itu sekuat tenaga gigitannya terlepas aku segara menarik bino dan berusaha menutup pintu namun monster itu hampir ikut masuk ke dalam beruntung dia terjepit oleh pintu yang kututup sekuat tenaga, aku menekan dengan kuat kepala monster itu hingga terlepas dari badannya namun kepalanya itu sempat masuk ke dalam gudang. belum sempat aku menarik nafas, aku sadar kepala itu beregenerasi, mereka tumbuh kembali dengan cukup cepat aku menarik kepala itu,membuka pintu gudang,melemparkannya sejauh mungkin, menutup pintu lalu memindahkan barang-barang di sekitar untuk menghalangi pintu berjaga-jaga jikalau monster itu tetap masuk. Tak terdengar suara dari luar gudang aku mencoba menarik nafas dan terduduk lemas di lantai yang kotor ini.

“Ryan, kakiku..” rintih Bino.

“coba kulihat” aku mendekat ke arah bino dan memperhatikan kakinya yang tercabik cukup dalam aku tahu rasanya pasti sangat sakit.

Aku melihat sekitar, berharap ada kain atau sejenisnya yang bisa kupakai untuk menutup pendarahan di kaki bino namun tidak ada yang bisa dipakai,gudang ini hanya berisi beberapa bangku yang sudah patah dan sisa pipa-pipa tak terpakai. Akhirnya aku membuka baju seragamku kemudian membalutnya kuat di kaki bino yang terluka. Aku teringat ruang uks disana pasti ada obat untuk luka seperti ini tempatnya di lantai dua jaraknya tak jauh dari gudang ini, aku hanya harus naik satu lantai lalu belok ke arah kanan dan uks nya berada di ujung koridor. Ada tangga darurat di dekat sini tapi aku tidak yakin monster itu sudah pergi. Mengintip keluar pun sangat beresiko mengingat kecepatan si monster berlendir itu. tak ada jendela yang menghadap tangga, satu-satunya jendela hanya yang menghadap ke parkiran yang aku tahu ada monster kecil berdress putih disana.

“Bino, tahanlah sebentar aku akan mencari obat di uks tapi aku mau memeriksa keadaan dulu” kataku mencoba menenangkannya.

“Ryan, tidak usah di luar berbahaya” katanya mencegahku.

Aku menyuruh bino diam karena aku mendengar sama-samar suara yang mendekat, aku sangat yakin itu pasti monster berlendir yang tadi karena suaranya yang seperti cipratan air yang ringan dia pasti memelankan suara merayapnya agar kami tidak mendengar, beruntungnya pintu gudang ini cukup tipis hanya berupa kayu yang sudah tua jadi asal memfokuskan pendengaran aku masih bisa mendengar suara merayap itu. Suara itu berhenti namun aku tahu monster itu sekarang berada tepat di balik pintu yang tipis ini. Aku memundurkan langkah mencoba untuk duduk tepat di samping bino aku menyuruhnya untuk memelankan nafasnya yang tak beraturan dengan isyarat, aku tahu bahwa kita harus menimalisir suara yang ada. Tapi aku menyadari metode yang dipakai monster ini berbeda dengan monster kecil berdress putih yang melihatku bersumbunyi lalu dia langsung meminta izin untuk masuk tapi monster berlendir ini hanya diam menunggu kami keluar. Tak ada jalan lain disini aku tidak bisa memikirkan cara yang tepat untuk keluar dengan selamat selain menunggu, tapi sampai kapan? Tak ada jaminan monster itu untuk bosan menunggu kan? Kami pun tidak bisa mengecek dengan jelas situasi di luar tapi aku tidak bisa membiarkan bino mengalami pendarahan terus-menerus.

“Ryan,maaf tapi aku bisa tahan jangan keluar!” bisiknya.

Aku mengangguk pelan namun sebenarnya pikiranku teralihkan oleh kakinya yang terus menerus mengeluarkan darah meski sudah terbalut baju seragamku namun pendarahannya tak kunjung berhenti, tiba-tiba terdengar langkah lari yang terdengar dari tangga sepertinya beberapa orang sedang menuruni anak tangga dengan cepat. Tak berapa lama terdengar suara jeritan senada dengan langkah-langkah kaki mereka yang tak beraturan kini aku sangat yakin monster kecil berlendir itu mengejar mereka karena suara cipratan air khas dari monster itu terdengar menjauh dari pintu gudang, aku yakin tak akan ada kesempatan lain seperti ini, aku mengambil pipa yang berada tepat di sampingku, menyingkirkan benda-benda yang menghalangi pintu dan bersiap untuk berlari.

“Bino tunggulah, aku akan ambilkan obat luka dan perban untuk merawat lukamu jangan pernah membuka pintu gudang” perintahku sambil mulai merapat ke pintu gudang.

Di depan pintu aku mengintip sejenak tapi ternyata monster kecil berlendir itu berada di antara tangga yang harusnya kunaiki. Disana ada sekitar lima orang siswa dan dua di antaranya sudah tergeletak bermandikan darah di lantai.

“makan” kata monster berlendir yang menjijikan itu.

Tiba-tiba salah satu dari mereka mencoba mendorong monster itu jatuh dari tangga, dengan cepat aku mendekat dan menekan wajah monster berlendir yang masih terlentang itu. Sebenarnya agak sulit karena dia memberontak namun dengan memberikan tekanan lebih aku berhasil menghancurkan wajahnya dengan pipa meskipun hanya membuat lubang di tengah wajahnya namun monster itu berhenti memberontak untuk sesaat.

“pergi cepat!” perintahku pada mereka, dan mereka pun segera pergi menunju pintu darurat samping sekolah.

Aku yakin monster itu akan kembali bangkit, namun aku harus menjauhkannya dari bino yang sedang terluka di gudang, sekarang aku menunggunya untuk beregenerasi di atas tangga aku melihat ke sekitar yang kulihat hanyalah potongan tubuh manusia dan darah dimana-mana.

“kau bilang makan, tapi kamu bahkan tak memakan mereka kau hanya membunuhnya” ucapku sinis.

Tiba-tiba monster berlendir itu sudah melompat menuju arahku, matanya terlihat membesar hingga aku dapat melihat sosokku di bola matanya yang mengkilap namun aku sempat menghindar, monster berlendir itu tak dapat menggapaiku dia terlempar ke luar jendela yang terbuka tepat di belakangku, rencanaku berhasil. Sebenarnya aku merasa kalau monster berlendir itu lebih sering menggunakan aksi dibanding kepintaran saat menyerang kami, meskipun dia menggunakan taktik diam di depan pintu gudang tapi aku tahu dari nafasnya yang ditahan itu, dia sedang menahan amarah bahkan saat tadi dia berpikir akan berhasil menangkapku matanya langsung membesar, ekspresinya terlihat sangat bergairah hingga tidak menyadari perangkap yang telah kurencanakan Dia benar-benar otak udang. Aku melihat keadaanya di luar sepertinya hanya badannya yang hancur karena terjatuh dari lantai dua,kepalanya terlihat utuh sepertinya sebelum jatuh dia memaksakan kepalanya untuk mendongak ke atas agar tidak ikut hancur bersama tubuhnya tapi berkat itu aku tahu monster berlendir itu takut jika kepalanya ikut hancur yang berarti itu adalah titik kelemahannya namun sudah dua kali aku menyerang kepalanya, pertama saat aku membuat badan dan kepalanya terpisah, kedua saat aku menekan wajahnya tapi dia tetap beregenerasi dan pulih kembali memang agak lambat tapi tidak terlalu berpengaruh jadi kenapa dia sampai mempertahankan kepalanya agar tidak hancur? Aku berpikir Mungkin saja dia tidak akan sanggup beregenerasi lagi jika kepalanya hancur berkeping keping seketika. Tapi aku tidak tahu apakah hal itu berlaku pada monster kecil lainnya. Tapi hal itu bisa nanti kuperhatikan yang lebih penting sekarang adalah aku harus mencari obat untuk kaki bino. Aku berlari menuju ujung koridor disana aku melihat pintu uks yang terbuka mungkin ada monster atau orang yang masuk bisa juga ada orang yang keluar aku mengangkat pipa yang ku bawa bersiap-siap jika memang ada monster di dalam sana. Namun belum sempat aku menghentikan langkahku tiba-tiba seseorang berpakaian kemeja lengan panjang ke luar dari sana sambil membelit lengannya yang sepertinya terluka, dia adalah pak Bram wali kelasku yang sikapnya cukup arogan dan sering memandang rendah orang lain aku mempunyai banyak pengalaman tak menyenangkan bersamanya aku tidak menyukainya bahkan cenderung membencinya.

“cih, beneran monster ternyata” kataku sebal.

“ryan ?” tanyanya sambil menuju ke arahku sesaat setelah mata kami bertemu.

“iya pak” jawabku singkat sambil berlalu untuk masuk ke ruang uks.

“bahkan keadaan begini kamu masih tidak punya sopan santun ya” katanya sinis.

Tak kepedulikan kata-katanya itu dan mengalihkan pikiran untuk mencari obat yang bisa dipakai untuk kaki bino yang terluka. Tapi pria tua itu justru menghampiriku dan duduk di kursi yang di senderkan menghalangi laci yang akan kubuka.

“kamu mencari obat luka? Sepertinya kamu tidak terluka, jangan egois lebih baik dahulukan yang sedang terluka” katanya sinis.

Lihat selengkapnya