Ghiska POV (Kekuatan)
Namaku Ghiska panduwaryawan Pagi ini amat terasa menyejukan, kakek dan nenek yang mengasuhku sejak orang tuaku berpisah dan meninggalkanku sendiri masih terlihat sehat dan bugar mereka bahkan masih kuat menarik gerobak surabi yang mereka gunakan untuk mencari nafkah dan menghidupiku. Meskipun mereka adalah nenek dan kakekku tapi mereka lebih seperti orang tuaku aku sangat menyayangi mereka.
“nenek dan kakek tunggulah aku akan jadi atlet lari professional dan membahagiakan kalian!” kataku serius.
“aduh ghiska kami sepertinya sangat menyayangi kami terima kasih ya” kata nenek dan kakek sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk malu melihat senyum mereka yang amat tulus itu. Sebenarnya aku tahu bahwa impianku itu sangat sulit untuk terwujud tapi nenek dan kakek terus menyemangatiku meski kehidupan kami sebenarnya cukup kekurangan. Mereka bahkan menyekolahkanku di sekolah bagus yang ekstrakulikuler larinya aktif dan karena itu pula aku berhasil mendapatkan beasiswa di sekolah ini dan dapat aktif dalam lomba-lomba lari yang diadakan di kotaku ini. Kota Patrakomala.
“nek,kek aku berangkat sekolah dulu” kataku berpamitan.
“kami juga akan berjualan di tempat biasa” kata nenek.
Tempat nenek dan kakek berdagang adalah sebuah sekolah yang sangat besar bernama Sekolah bangsa abadi yang terdiri dari Sekolah dasar sampai sekolah menengah atas biasanya nenek dan kakek akan berjualan sampai sore disana. Aku yang bersekolah jauh dari rumah ini harus berangkat lebih pagi untuk menghindari kemacetan dari pinggir kota Patrakomala ini. Di sepanjang jalan yang ramai ini aku merenung entah mengapa rasanya hari ini lebih hening dari hari-hari biasanya. Bahkan setelah sampai di sekolah ketenangan yang tak biasa ini terus berlanjut, tak banyak hal yang terjadi setengah hari ini hingga aku merasa mengantuk dan tanpa sadar tertidur di kelas. Ketenangan ini membawaku hingga terlelap dalam namun teriakan yang nyaring mendengung di telingaku kini seketika membangunkanku dan menyadarkanku dengan apa yang terjadi di kelasku saat ini. Teman-teman dan guruku sedang dibantai oleh monster berwujud anak kecil yang tak memiliki kaki dan hanya dapat melompat.di saat kekacauan itu tanganku ditarik oleh teman dekatku bernama Dessy dia membawaku keluar kelas dengan merangkak diantara pembantaian itu, kesadaranku baru setengah kembali saat aku melihat cipratan darah di antara kaki-kaki yang bergerak tak beraturan di antara kolong-kolong meja dan kursi itu namun saat kami telah berada di koridor aku memahami apa yang terjadi, ini seperti badai di laut yang tenang, seperti petir di siang bolong yang cerah, sekolahku sedang dibantai, dibantai oleh monster-monster berwujud anak kecil dan menyerupai boneka.
“ghiska! Ayo kita pergi dari sini” ucap dessy sambil menarik tanganku.
“dessy? Kita akan kemana?” tanyaku cepat.
“aku tidak tahu, yang penting kita keluar dari sini! Sekolah tidak aman!” katanya lagi.
Kami berlari dan menghindari beberapa monster yang menyerang, monster-monster ini memiliki banyak rupa dan kekuatan. Saat kami sedang terdesak Ibu Ami menyelamatkan kami dan membawa kami bersama mobilnya. Kami sempat memakai telepon genggam untuk meminta bantuan polisi namun panggilan sibuk dan tak lama kemudian mati total sehingga telepon genggam sudah tak bisa digunakan kembali sehingga kami memutuskan untuk pergi ke kantor polisi terdekat namun betapa terkejutnya kami saat melangkahkan kaki keluar sekolah dan melihat kota kami yang indah tengah digempur oleh serangan monster-monster kecil yang semakin brutal. Bahkan aku dan dessy harus kehilangan bu Ami yang mengorbankan dirinya kepada monster yang mengejar kami agar kami bisa selamat kabur dengan mobilnya. Senyum yang tergambarkan di wajah bu ami saat kami pergi menggambarkan ketakutan yang terpendam setetes air mata perlahan jatuh ke pipinya meskipun melindungi kami muridnya adalah pilihannya namun pasti saat semua monster itu menyerbu ke arahnya bayangan kematian yang menghampirinya membuat semua indera yang berada di tubuhnya bereaksi tapi beliau berusaha melawannya agar terlihat tegar di depan kami, tapi sebagai manusia secara alami kami bisa merasakannya. setelah pergi cukup jauh dari tempat Ibu Ami kami tinggal dessy yang tadinya menggantikan bu ami untuk mengendarai mobilnya sudah tak sanggup untuk melanjutkan perjalanan. Tangannya bergetar hebat, keringat dingin mengalir deras di hampir seluruh tubuhnya, matanya nampak amat berat dia berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangis namun hatinya tidak bisa dia melepaskan emosinya yang meluap. Dia menangis sejadi-jadinya di dalam mobil ini, aku yang sedari tadi hanya dapat menangis tersedu-sedu tak menyangka temanku yang sedari awal selalu nampak kuat dan tegar akhirnya melepaskan emosinya yang tersimpan rapat. Tanganku menggapai bahunya yang terasa tegang kutenggelamkan kepalanya ke dalam pelukanku kami menangis meratapi hari ini, saat kami tidak yakin untuk bisa tetap hidup sampai hari esok, atau apakah matahari pagi itu akan datang lagi di kota yang telah menjadi lautan darah ini?, apakah yang telah kami perbuat hingga kami harus melihat manusia yang terbunuh secara sadis?, tidak bisakah mereka lewat begitu saja tanpa harus mengambil sesuatu apapun dari kami? ya tentu saja tidak bisa karena yang mereka sesungguhnya inginkan adalah tangisan dan jeritan kami.
“ghiska apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa kita harus tetap ke kantor polisi?” Tanya dessy yang sudah kembali tenang.
“aku tidak tahu, tapi mungkin kalau kita ke kantor polisi kita bisa menemukan petunjuk” jawabku.
“baiklah, ayo kita pergi setelah aku agak tenang” kata dessy sambil tersenyum.
Namun tiba-tiba senyuman itu berubah menjadi pedih,aku melihat perutnya tertusuk pisau lalu tubuhnya ditarik keluar dari mobil oleh seorang pria aku terkejut dan mencoba meraih tangan dessy namun tiba-tiba saja tubuhku ditarik keluar oleh seseorang dari belakang. Kami tergeletak di jalan dan empat orang yang sepertinya sekelompok itu masuk ke dalam mobil dan membawanya pergi tanpa menoleh ke arah kami sedikitpun. Aku melihat keadaan dessy dia terluka parah pendarahannya terus mengalir kami menahannya dengan tangan dan mencoba untuk berjalan ke tempat yang tersembunyi. Aku memapah dessy yang nampak sangat kesakitan menuju sudut perkarangan rumah seseorang aku mencoba untuk melihat ke dalam karena pintunya terbuka tak ada tanda-tanda monster ataupun manusia disana.
“ghiska” rintih dessy memanggilku.
“ya, dessy tenang saja sepertinya kita bisa masuk ke dalam tidak ada orang ataupun monster disana” kataku sambil mendatangi dessy.
Aku memapah dessy ke dalam membalikkan sofa yang terguling dan menidurkan dia di sofa itu, tak lupa kututup pintu dan jendela yang terbuka, aku meminta dessy untuk menunggu karena aku akan mencari obat untuk lukanya mungkin keluarga ini mempunyai kotak obat atau semacamnya. Aku menyusuri lantai satu rumah itu keadaan rumahnya berantakan sepertinya monster telah masuk dan mengacaukan seisi rumah. sebenarnya aku takut jika monster itu masih ada di dalam jadi aku melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati. Keadaan rumah cukup gelap meski sebenarnya di luar masih terang, sepanjang koridor yang ku ikuti ini ada banyak darah yang menetes, aku menuju dapur yang terasa pengap ini tak kulihat tanda kehidupan disana dengan hati-hati aku membuka semua laci yang ada namun tak juga menemukan obat ataupun hal-hal yang dapat kugunakan. Penglihatanku teralihkan oleh tetes darah menuju ujung dapur yang tertutup pembatas ruangan namun pemandangan yang kulihat di balik sana sangat menyakitkan, aku melihat seorang Kakek yang terduduk bersimbah darah sambil memeluk istirnya yang dadanya berlumuran darah. Mereka memakai cincin pernikahan di jari mereka dan mengaitkan genggaman mereka dengan erat. Bahkan kompor yang berada tak jauh dari mereka belum dimatikan. Melihat kedua kakek dan nenek itu mengingatku dengan kakek dan nenekku, apakah mereka baik-baik saja? Apa mereka bisa menyelamatkan diri? Aku melangkahkan kaki menuju kompor dan mematikannya lalu menarik alas meja makan dan menutupi mayat kakek dan nenek itu. Setelah itu aku pergi dengan cepat menemui dessy aku khawatir dengan lukanya namun sesampainya di ruang tamu aku melihat dessy yang semakin parah badannya berkeringat dan menggigil.
“dessy! Bertahanlah aku akan mendapatkan obat untukmu”kataku sambil menekan luka dessy dengan handuk yang kubawa saat mencari obat tadi.
“ghiska, aku takut aku tidak kuat lagi” kata dessy sambil menangis.
“tahan, tahan sebentar aku akan keluar untuk mencari obat!” kataku sambil bersiap pergi
“tunggu, jangan pergi” cegah dessy sembari memegang ujung rokku.
“bawa aku,kita cari kendaraan saja” katanya lagi.
Aku mengangguk dan perlahan mulai menggendong dessy dia menahan lukanya sambil meringis kesakitan aku menenangkannya sembari berjalan mencari kendaraan, tak banyak monster di daerah itu sampai kini kami bisa bersembunyi dari mereka dengan mudah. Setelah berputar-putar kami menemukan sebuah mobil dengan seseorang yang telah meninggal dunia di samping mobil yang terbuka itu sepertinya karena diserang monster terlihat luka cakar yang dalam memenuhi seluruh tubuhnya.
“ghiska, lihat ada kunci menggantung di lubang kuncinya cepat masuk” perintah dessy.
Segera mungkin kami masuk ke dalam mobil aku dessy meminta untuk duduk di sebelahku sambil mengajariku bagaimana menggunakan mobil. Kami tidak bisa menemukan apotek ataupun rumah sakit di sekitar sini jadi kami memutuskan untuk pergi ke jalan utama kota. Di sepanjang jalan aku terus mengajak dessy berbicara karena aku takut terjadi hal yang lebih buruk pada dessy. Aku yang terburu-buru dan masih belum lancar mengendarai mobil menabrak semua monster yang menghadang dan membuat mereka terlempar.
“ghiska”panggil dessy perlahan.
“sebentar dess, aku” kataku gelagapan.
“bisakah kamu membawaku ke rumahku?” Tanya dessy.
“tapi lukamu? Kita harus mengobatinya dulu” kataku bingung.
“aku mau ke rumah, aku mau tahu keadaan orang tuaku” kata dessy semakin pelan.
Aku menghentikan mobil saat keadaan sudah aman untuk melihat keadaan dessy, handuk yang dipakai dessy untuk menekan lukanya telah berubah warna menjadi merah darah, wajah pucat dan lemas dari dessy membuat air mataku menetes tanpa kusadari.
“kamu harus selalu kuat ghiska,kamu harus bertemu kakek dan nenekmu mereka pasti khawatir, maaf aku tidak bisa menemanimu lebih lama” katanya nyaris tak terdengar.
“tidak, jangan bicara dulu kamu harus istirahat” kataku.
“maaf ghiska, maafkan aku” katanya sambil menutup matanya pelan.
“tidak,tidak dessy” ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
Aku memeluknya dia sudah bertahan sangat lama, aku menenggelamkan wajahku di bahunya, dessy adalah teman dekatku yang baik hati dan kuat dia menjagaku sampai akhir namun aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Meskipun begitu dia justru meminta maaf padaku di kata-kata terakhirnya akulah yang seharusnya meminta maaf karena tidak bisa menjaganya dengan baik,permintaan terakhirnya yang sempat dia ucapkan adalah untuk ke rumahnya melihat keadaan orang tuanya bagaimanapun caranya aku akan mewujudkan itu demi teman baikku dessy. Setelah cukup tenang aku melanjutkan perjalanan namun belum terlalu jauh aku berkendara tiba-tiba saja aku melihat sesuatu yang menakutkan aku melihat monster yang tinggi sedang melahap monster lainnya, dia memakan kepala monster lain lalu menelannya bulat-bulat di sekitarnya berserakan mayat manusia dan monster lain yang kepalanya juga telah menghilang, Apakah monster itu yang memakan semuanya? Dengan cepat aku memutar setir sebelum monster itu menyadari keberadaanku, rumah dessy masih cukup jauh dari sini, biasanya aku melewati jalan utama itu namun karena monster yang mengerikan itu aku mencoba untuk memutar melewati jalan yang lebih kecil namun belum sempat aku masuk aku melihat segerombolan monster yang sangat kecil keluar dari beberapa rumah melihat hal itu aku kembali memutar namun kali ini aku tak sempat menghindar mereka menyerbu ke mobil untunglah mereka tidak bisa masuk karena kaca tertutup namun mereka menutupi semua pandanganku sehingga aku semakin kehilangan arah. Aku menghentikan mobil dengan cepat dan beberapa monster itu berjatuhan sehingga pandanganku sedikit tak terhalangi seketika aku melihat dua orang laki-laki yang memakai seragam di kejauhan saling memapah keluar dari sebuah taman aku berpikir mungkin bisa meminta bantuan dari mereka untuk mengusir monster-monster kecil ini namun bayangan pria yang menusuk dessy membuatku sedikit mengurungkan niat tetapi tiba-tiba saja datang monster melompat ke arah mereka tanpa basa-basi aku langsung tancap gas dan menabrak monster yang melompat ke arah mereka hingga monster itu dan beberapa monster kecil yang menempel di mobil terpental jauh, aku menghentikan mobil dan menyuruh mereka masuk. Mereka memukul dan menendang monster yang masih tersia di mobil, melihat hal itu aku sedikit kagum. Mereka kuat pikirku. Setelah monster itu berkurang mereka masuk ke mobil dan duduk di belakang terlihat sekali bahwa mereka sangat kelelahan. Setelah kuperhatikan baik-baik salah satu dari mereka terluka cukup parah di bagian lengan kiri dan satunya lg terluka di bagian kakinya.
“terima kasih telah menolong kami” kata laki-laki yang tangannya patah itu.
“se,sepertinya kamu luka parah tadi ada apotek tapi aku tidak bisa kembali karena monster-monster tadi pasti masih disana” kataku terbata-bata.
“tidak masalah kami bisa menahannya, namaku tio dan ini ryan, namamu dan temanmu siapa?” tanyanya lembut.
“Aku ghiska temanku ini dessy tapi dia sudah meninggal” kataku menjelaskan.
“apa? Kenapa kamu membawa-bawa mayat temanmu?” kata orang bernama ryan itu.
“diam kamu! Aku menolong kalian bukan untuk mengomentariku!” teriakku marah.
“apa-apaan kamu aku kan Cuma bertanya kenapa malah emosi!” kata ryan kesal.
“hei kalian lihat ini” kata tio tiba-tiba.
“Pistol?!” teriakku dan ryan kaget.
Tio menjelaskan selagi kita bertengkar dia menemukan pistol berisi peluru di belakang sana juga ada beberapa peralatan yang dapat dipakai sebagai alat penyerang. Kemudian mereka membagi senjata yang dapat mereka pakai Tio dengan stick golf karena merasa jika tangan kanannya cukup kuat dan ryan memakai pistol karena ayahnya yang polisi pernah memperlihatkan caranya terlebih akan lebih akurat dengan kedua tangan. Sesuai ancang-ancang pada hitungan ketiga aku menghentikan mobil dengan cepat dan berhasil membuat dua dari tiga monster itu jatuh saat itulah ryan mengeluarkan badannya keluar dari jendela dan menembak kedua monster tepat di kepalanya lalu satu monster yang berada di atap mobil bersiap menyerang ryan namun dengan sigap dan tepat tio yang berada di belakang ryan memukul kencang belakang kepala monster itu hingga tersungkur ke jalanan dia sempat bangun sebelum ditembak oleh ryan tepat di kepalanya. Secepat mungkin aku menjalankan mobil dan melindas dua monter yang sedang beregenarasi tadi, gila, aku tidak menyangka kalau mereka kuat sekali selama ini aku hanya melarikan diri dan mengandalkan keberuntungan untuk selamat namun mereka berdua melawanya dan membuat mereka bisa bertahan hingga sekarang. Aku sangat terkejut sekaligus kagum pada mereka.
“hei ghiska, kamu masih tidak mau memberitahu kenapa kamu bawa mayat temanmu?”Tanya ryan.
“di, dia mau pulang ke rumah a,aku” jawabku terbata-bata.
“kami akan membantumu”kata tio tiba-tiba.
“Apa?!” kataku dan ryan kaget.
“hei tio aku menyelamatkanmu bukan untuk memerintahku ya! Aku tidak mau,aku punya keluarga sendiri yang ku khawatirkan kamu tahu” kata ryan marah.
“a.aku juga bisa sendiri kok aku tidak perlu dibantu oleh kalian, semua laki-laki itu jahat!” kataku kesal.
“kenapa kamu malah mempermasalahkan gender sekarang? Aku tahu seragam yang kau pakai itu dari sekolah elite yang isinya orang-orang sombong itu kan? pantas saja dari tadi kelakuanmu itu” kata ryan panjang.
“sudah,sudah kalian ini baru bertemu kenapa bertengkar” kata tio sambil menyentuh bahu ryan.
“ryan aku minta maaf karena langsung mengutarakan kita akan membantu ghiska tapi kita telah diselamatkan oleh ghiska,tadi kita benar-benar sedang terdesak kan setidaknya kita harus membawanya dengan selamat sampai rumah temannya itu.ini permintaanku dan aku berjanji setelah itu aku akan membantumu untuk mengetahui keadaan ayahmu. Dan ghiska, sebaiknya kamu jangan menolak bantuan kami lihatlah badanmu juga terluka,kamu perempuan sendirian dan tanganmu bergetar hebat” kata tio sambil memutar kunci mobil untuk menghentikan mobil yang kukendarai ini.
“tio, aku tidak minta bantuanmu kita sudah sepakat untuk berpisah setelah mengobati luka kita kan tapi aku bukan orang yang tidak tahu terima kasih, hei ghiska keluar! Aku yang akan menyetir” kata ryan sambil keluar dari mobil.
Aku terkejut namun akhirnya menurut dan berganti tepat dengan ryan, dia nampak agak kesal namun tetap menuruti permintaaan tio. Sebenarnya aku sangat bersyukur karena aku tidak sendirian lagi tapi aku tidak bisa mempercayai mereka begitu saja namun setelah aku melihat ke arah dessy temanku, aku bersedia menerima bantuan mereka bagaimanapun melihat realitas yang ada tidak mungkin aku bisa selamat sampai rumah dessy sendirian.
“ghiska” panggil tio menyadarkanku.
“dari tadi ryan bertanya dimana rumah dessy” kata tio lembut.
“maaf aku melamun, di perumahan mega permai dekat jalan melati” jawabku.
“jalan melati? Itu dekat kantor ayah” kata ryan terdengar senang.
“baguslah ryan ternyata satu arah, setelah mengantar ghiska kita bisa langsung menuju kantor ayahmu” kata tio.
“ya! Tapi kita harus mengobati luka kita dulu apalagi lukamu itu cukup parah tio” kata ryan lagi.
“aku tidak menyangka ternyata ryan orang yang baik sekali ya” kata tio dengan nada bercanda.
“apa maksudmu sialan?” jawab ryan kesal.
“maaf aku bercanda” kata tio sambil tersenyum.
“te,terima..” kataku pelan.
“hm? Ada apa ghiska? Kamu ngomong sesuatu?’ kata tio lagi.
“terima kasih!” kataku lebih keras.
“sama-sama” kata tio lembut.
Tak banyak kata yang kuucapkan di awal namun aku dengan seksama memperhatikan mereka yang nampak sangat akrab, sepertinya mereka cocok satu sama lain melihat hal itu tanpa sadar membuatku tersenyum. Aku sedikit merasa tenang tanganku pun nyaris tidak gemetar lagi meskipun mereka mengatakan akan membantuku tapi mengingat perkataan dessy bahwa aku harus selalu kuat itu membuatku berpikir untuk mulai menyerang monster dengan senjata yang bisa kugunakan, aku mencari di tempat tio menemukan pistol dan stick golf tapi tak banyak barang disana hanya ada sekotak alat bengkel beberapa stick golf dan bolanya. Tio yang melihatku bingung menghampiriku.
“kamu mau memakai senjata?” Tanya tio ramah.
“iya, aku harus ikut melawan tapi aku bingung” jawabku malu.
“kamu bisa bertahan sendirian sampai sekarang berarti kamu kuat sekali ya ghiska” katanya lagi.
“tentu saja kuat kamu tidak lihat otot-ototnya itu hahaha” sindir ryan padaku.
“temanmu itu kenapa sih? Menyebalkan sekali” kataku kesal.
“maafkan dia, ryan itu baik kok Cuma agak iseng saja dia menyelamatkanku bahkan menghiburku saat aku nyaris menyerah aku sangat berterima kasih padanya” kata tio lembut.
“heh tio jangan ngomong yang tidak-tidak!” teriak ryan kesal.
“iya maafkan aku, jadi ghiska kamu masih bingung untuk memakai senjata apa?” Tanya tio.
“iya selama ini aku bertahan hanya dengan berlari dan menghindar sisanya adalah keberuntungan”kataku menjelaskan.
“hanya berlari? Berarti larimu sangat cepat ya” kata tio lagi.