Cerita ini berawal dari kisah seorang gadis yang memilih tinggal sendirian di sebuah rusun yang terletak di pinggiran ibu kota. Rusun yang baru saja berdiri di sekitaran pemakaman BKT ini menjadi salah satu bangunan yang digadang-gadangkan pemerintah untuk menjadi sebuah alternatif bagi masyarakat Jakarta dalam mengangkat kesenjangan sosial.
Kenyataannya gendung-gedung ini merupakan target pasar bergerak untuk menengah ke atas. Siapa pun tidak yakin kalau ini akan dapat tersentuh rakyat dengan perekonomian menengah ke bawah yang lebih memilih tinggal di kontrakan kapsul dengan harga 300k tiap bulannya.
Rusun tersebut terletak di area pinggiran Jakarta timur, dekat dengan sebuah kuburan yang nota benenya sudah tidak bisa diisi lagi karena saking penuhnya. Mungkin suatu saat nanti manusia akan di buang ke laut untuk mengurangi jumlah penggunaan tanah.
Sreeet.
Tangan kecil, lemah membuka tirai jendela kamarnya menapaki hijaunya pepohonan yang mulai hilang di ibu kota. Meski pun dikatakan cukup mahal dan juga merupakan kawasan yang berhadap-hadapan dengan kuburan namun, angin yang menerpa di sini lebih baik daripada di tempat lain di area Jakarta.
Cahaya matahari menyambut, masuk hingga ke dalam kamar menghangatkan ranjang besar miliknya. Angin semilir mengikuti, menerpa wajahnya yang lembut. Membelai rambutnya yang hitam panjang. Menari dalam cahaya lembut.
Seorang pria muncul dari belakang memeluk tubuh kecil di hadapannya sambil tersenyum indah. Bibirnya mencium ubun-ubun kepala gadis yang lebih pendek darinya. Kegiatan yang sudah menjadi bagian dari kegiatan paginya ini, tersenyum kecil.
Mereka seperti sepasang kekasih yang tengah dimabuk cinta. Bukan. Seperti orang yang sedang berdiri saling memahami tapi, saling tak bersentuh. Saling bersentuh tapi, tak beradu. Dalam balutan pakaian serba putih itulah arti kebahagiaan bagi mereka.
“Haaaah” desahan panjang mengganggu telinga Nira bersama aroma bunga lili yang memikat.
Bersama melihat mentari pagi, gadis dalam pelukannya mengadahkan kepalanya, bersadar pada dada bidang nan sexy, kepala Nira terus mengusel pada bahunya. Tangan besar dan kuat itu melingkar di pinggang kecil dan ramping. Bahunya yang kecil lebih terlihat menonjol saking kurusnya.
“Ada apa?” suara lembut mempertanyakan kegelisahan hati sang pria.
“Aku benci kalau mengingat kamu harus berkerja dan berhenti memikirkan aku” keluh sang pria dagunya ia letakan di atas bahu sang gadis.
“Maaf” jawabnya tertunduk. Sedih menguasai dirinya. Tangan besar itu mengadah, memhon kehadiran Nira dan Nira mengisi tangan kuat itu dengan jari-jari kecilnya. Genggaman tangan itu mengokohkan hati yang sudah hampir pecah terlidas keraguan.
“Yah, aku tau tapi… aku gak suka orang-orang yang ada di kantor kamu”
“Aku suka kamu”
“Nira”
“Aku suka kamu”
“Stop”
“Aku, sangat mencintai kamu, Dira!”
“Heeeeh, kamu selalu aja ngelakuin itu biar dapetin semua yang kamu mau. Jahat!”
Kata-kata manis yang terucap dari bibir merah Nira meluluhkan menyentuh hatinya lebih banyak dari pada langit pagi ini. Kata-kata yang tidak mungkin ia bantah meski banyak penolakan yang di hadapkan.