Kotak Kesunyian

Revia
Chapter #2

Titah

“Niraaaa….! Cepat lakukan! Apa lu gak bisa ngelakuin lebih cepet daripada ini! Siapa suruh jalan. Lari!” teriakan yang tidak pernah berhenti itu seperti gongongan anjing yang terus memaksanya berlari tanpa ampun.

Menahan diri dari semua rasa lelah, kesal dan benci, ia tidak membiarkan otaknya berfikir sedikit pun. Ia terus berlari dan melakukan apa yang diperintahkan.

“Baik”

“Apa kamu udah nge-print file tadi yang diminta?”

“Ya”

“Kamu udah download fotonya belum”

“Baik”

“Cepat kasih ini ke bagian dubbing

“Baik”

“Niraaaa”

“Yaaaa”

“Mana naskahnya kenapa kata-katanya gak nyambung?”

“Aku perbaikin”

Gadis berambut panjang dengan jepitan warna pink yang sudah hampir terlepas terus berusaha keras mencoba mengerjakan semua perintah seniornya. Seberapa cepatnya ia mencoba, seberapa cepatnya ia berlari. Banyaknya pekerjaan yang menumpuk tidak mengijinkannya untuk beristirahat.

Catatan di tangannya terkoyak, lusuh, dibasahi peluh. Semua perintah yang tertulis sudah memenuhi list-nya meski hari belum mencapai titik tengah. Rasa lelah sudah menggerogotinya yang selama 3 jam ini berlari tanpa henti.

Sesekali ia mencoba menegakkan tubuhnya agar terlihat setegar mungkin namun, keringat yang mengucur dalam ruangan ber-AC menjelaskan lebih dari cukup untuk mengatakan betapa kerasnya ia berusaha menyelesaikan ini semua.

Sebuah tatapan sadis penuh dengan tarikan nafas yang panjang dan teriakan yang melengking hingga ke segala penjuru ruangan.

“NIIIRRRRAAAA!!!”

Byuur.

Air yang membasuh wajahnya membasahi sebagian tubuhnya. Di depan kaca ia menatap wajah yang diguyur letih. Nafas yang terengah-engah. Mata yang sudah kehilangan cahayanya tau kalau tubuhnya sudah mulai kehilangan tenaga tapi, ia tidak bisa menolak sedikit pun.

Air matanya yang terus-terusan memaksa keluar hanya memerahkan matanya. perasaan yang kian berkecambuk menyesakan dada. Mengambil alih akal sehatnya dari kenyataan.

Menghapus semua keringat yang ada. Lengannya basah karena air yang membasuh muka sebelumnya. Make up yang sebelumnya menempel telah lama hilang. Apa yang akan dia lakukan sekarang?

“Kamu selalu terbaik Nira” suara yang tidak asing berdesir telinganya.

Sebuah mata mengintip dari balik rambutnya. Mata dingin yang menatapnya di balik wajah yang penuh kesedihan. Berlahan tangannya berusaha menggenggam punggung tangan yang tengah mencengkram tepian wastafel. Bukannya meluluh, ia malah semakin mengkukuhkan hatinya.

Lihat selengkapnya