Pov Nira
Srak. Srak. Srak.
Kertas berjatuhan seperti musim semi yang indah. Jika saja tidak ada gemuruh arogansi mungkin hari ini akan berjalan sama seperti biasanya. Mataku tidak dapat mengacuhkan diri dari semua hasil kerja kerasku.
Teriakan yang terus memaki tanpa tanda titik. Aku bisa merasakan, mendengar meski tidak dapat memahami apa yang ia katakan. Bukan, aku tidak ingin memahami mereka. Yang aku inginkan adalah menghilang dari kenyataan.
Mataku jelalatan melihat mereka yang sedang menikmati laptopnya tanpa menggerakkan pantatnya. Mereka yang bisa fokus pada perkerjaannya tanpa harus terganggu dengan kegiatan lainnya tidak sepertiku yang harus mengerjakan berbagai kerjaan.
“Nira! Kamu malah ngelamun cepet ambil dan kerjain balik!”
“Ah”
Kata yang seharusnya tidak keluar dari bibirku terselip keluar begitu saja. Seharusnya aku menjawabnya dengan tegas bukannya kata lemah tanpa mengandung arti.
“Nira. Siapa suruh jalan? Lari!”
“Baik!”
Berlariku keluar ruangan, kemudian menuruni tangga sesuai yang diperintahkannya. Seorang satpam yang melihatku berlari langsung menegurku.
“Niraaaa, jangan lari-larian nanti jatoh”
“Ya, pak terima kasih” ucapku mengabaikan tegurannya.
‘Jatoh?’
Sudah berapa kali aku terjatuh di tempat ini? Menabrak sesuatu atau pun tersangkut akan sesuatu tapi… ia tidak mengijinkanku untuk berhenti. Tidak sedikit pun. Jangan membuatku merasa geli akan sesuatu yang nampak bodoh seperti ini.
Gubrak.
Keangkuhanku menegurku, aku benar-benar terjatuh. Kakiku tergelincir oleh sepatuku sendiri. Lututku berdarah dan pergelangan kakiku keseleo. Seharusnya aku tidak menerima pekerjaan ini padahal dari awal aku bisa menebak sifatnya tapi, kenapa aku membiarkan ini terjadi
Dudukku menatap langit-langit kantor, mencoba menarik nafas agar emosiku tidak terpancing. Rasanya sakit, ingin menangis, kesal tapi, aku tidak bisa membiarkan emosiku berlanjut.
Kring. Kring. Kring.
[“Niraaa, udah belum?”]
“Ya, ini sedang aku lakukan”
[“Cepetan! Jangan lama-lama!”]
“Baik” ucapku sambil mematikan teleponnya.