Awalnya ayah bekerja sebagai arsitek di beberapa konsultan terkenal, sampai akhirnya dia membuka usaha konsultan arsitek sendiri saat pindah ke rumah ini, rumah yang dia desain sendiri.
Setelah melewati pagar, kita akan menemukan rumah berdinding putih yang didesain dengan banyak jendela. Sehingga tidak memerlukan lampu saat siang hari. Ayah menyisakan lahan yang cukup agar istrinya dapat menanam beberapa pohon atau bunga di taman bagian depan.
Living room dibuat luas dan terbuka. Semua kursi dan sofa didominasi tone warna cokelat, kecuali kursi di ruang tamu yang menggunakan warna nude. Kata Ayah untuk memisahkan zona tamu dan keluarga, karena rumahnya tidak menggunakan banyak sekat.
Warna sofa dikombinasikan dengan lemari dan beberapa rak pajang yang bernuansa kayu. Sedangkan pada kitchen set, ibu memilih warna putih dengan table top coklat, katanya untuk menyeimbangkan dapur dengan bagian rumah yang lain. Mungkin ini efek samping menikah dengan arsitek.
Kedua orang tua mereka cukup detail mengerjakan rumah ini, sehingga mereka membutuhkan waktu cukup lama untuk mendapatkan semua furniture yang diinginkan. Akhirnya mereka baru dapat tinggal di rumah ini, satu setengah tahun setelah dibangun.
Tujuh tahun kemudian, renovasi dilakukan untuk menambah lantai dua. Selain itu, ayah juga mengubah salah satu sudut ruangan di lantai satu -samping ruang keluarga- menjadi taman kecil. Dia memberikan ceiling dan dinding kaca agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah.
Beberapa tahun setelahnya, ayah kembali menambahkan kolam kecil pada taman kecil tersebut. Sehingga mereka bisa mendengar suara air mengalir dari ruang keluarga. Yang selanjutnya digunakan Cakra untuk memelihara ikan hias.
Sekarang penghuni rumah ini berjumlah sembilan orang. Tepatnya enam orang dewasa ditambah tiga anak kecil. Ada yang bilang, tidak baik jika dalam satu rumah ada lebih dari satu kepala keluarga.
Tapi, di rumah ini terdapat tiga kartu keluarga dengan tiga kepala keluarga dan mereka hidup damai. Semua hanya masalah komunikasi saja. Terlebih tentang biaya sehari-hari dan tidak ikut campur dalam urusan rumah tangga masing-masing.
.
Tidak Pernah Tenang
Walaupun begitu, tinggal dengan banyak orang seperti ini pasti ada saja masalahnya. Salah satunya adalah habit.
Katanya, pernikahan itu menyatukan dua kepala menjadi satu. Mau pacaran selama apapun, tapi saat kalian menikah akan ada saja kebiasaan kecil yang membuat kesal. Padahal ketika pacaran tidak pernah menjadi masalah.
Contohnya, odol yang tidak didorong dari ujung, tidak mencuci kaki sebelum tidur, menarik baju dari tumpukan bawah, malas mencuci piring sendiri, menaruh handuk basah di atas tempat tidur, dan banyak lagi.
Sekarang, bayangkan kebiasaan itu dikalikan jumlah orang di rumah ini. Beradaptasi dengan satu orang baru saja sudah membuat stress, apalagi harus belajar menerima kebiasaan banyak orang.
Terutama untuk dua menantu ibu, yang mau tidak mau perlu menyesuaikan dengan kebiasaan mertua dan ipar-iparnya. Misalnya, Damar yang makan harus ditemani dengan kaldu jamur karena rasa masakan ibu selalu kurang asin di lidahnya.
Belum lagi, tiga anak kecil yang sepertinya tidak rela jika rumah ini dalam keadaan tenang. Menangis, berebut mainan, menyanyi baby shark, tidak mau makan, teriak minta dibelikan es krim, pokoknya ada saja perbuatan mereka yang membuat Kanaya emosi.
Seperti sore ini, saat semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tara dan Luna belajar membuat fluffy pancake di dapur, Raka bermain bola bersama papanya, Damar asyik dengan gitarnya di teras dan ibu sibuk bergosip di grup Whatsapp ibu-ibu kompleks.
Sedangkan Kanaya mendapat tugas untuk menjaga dua anak perempuan yang sedang menonton review “Barbie Dreamhouse Dollhouse”. Saat membalas Whatsapp dari pacarnya, Kanaya tidak menyadari jika Iva sudah mengambil sesuatu dari tas mamanya di atas meja. Ruby yang penasaran dengan barang yang dimainkan sepupunya, langsung merebut benda pink tersebut dari tangan Iva.