KPR (Kapan Pindah Rumah?)

Annisa Diandari Putri
Chapter #7

Keras Banget Kepalanya

Mother - Daughter’s Time

“Bu, aku masuk ya.” Luna mengetuk pintu kayu di hadapannya.

Setelah mendengar jawaban dari dalam, dia membuka pintu kamar ibu.

“Kenapa, Nduk?”

“Mau boboan.”

“Kanaya udah nganter bolu kukus ke Tante Anna?”

“Udah.”

Luna naik ke atas tempat tidur. Setelah menegakkan bantal di kepala tempat tidur, dia mulai membuka e-book di HP, sementara ibu asyik dengan novelnya.

Jika Cakra menggantikan posisi ayah untuk menjaga ibu, Luna menjadi substitusi ayah untuk menemani ibu menghabiskan me time-nya di kamar. Membaca novel ditemani lilin aromatherapy.

Awalnya kegiatan ini dilakukannya sendiri setelah semua anaknya tertidur dan ayah sibuk di ruang kerjanya. Tapi suatu hari, ayah ikut duduk di samping ibu yang sedang membaca. Dan sejak saat itu, hal ini menjadi me-time mereka berdua. Biasanya Ayah hanya berbaring sembari membaca berita di HP, berdua dengan ibu, bersebelahan, tanpa berbicara.

Sekarang kebiasaan ini yang dilakukan Luna. Berbaring di samping ibu atau menyelesaikan e-book yang sedang dibacanya. Terkadang suasana kamar yang nyaman membuat Luna dapat bercerita banyak hal. Seperti patah hati terbesarnya atau saat pertama kali bertemu dengan Damar di pernikahan sepupunya.

“Kamu tuh udah punya suami. Tidur sama Damar aja sana.” Jika setiap Ibu mengatakan kalimat ini, Luna mendapatkan koin Rp. 1.000. Selama lima tahun dia menikah, Luna sudah bisa berenang di kolam renang berisi uang koin seperti Paman Gober.

“Damar sama Ruby kok. Aku lagi mau nemenin Ibu aja.”

Kamar ibu penuh dengan nuansa kayu. Ini satu-satunya ruangan di rumah, yang memiliki pintu kayu tanpa cat pelapis. Digantungkan juga tulisan “welcome” warna kuning yang merupakan pemberian dari mbah putri alias ibunya ayah.

Interior-nya penuh dengan furniture kayu. Dari ranjang, meja rias, sampai lemari baju. Untuk tempat tidur, ibu selalu menggunakan seprei dan selimut berwarna putih atau nude. Sedangkan pada bawah ranjang, diletakkan karpet dengan warna perpaduan hijau dan nude.

Lampu utama di kamar jarang dinyalakan. Ibu lebih suka suasana remang-remang dengan hanya menyalakan lampu kecil di ujung kamar. Saat sedang ingin membaca, dia akan menyalakan lampu meja di atas nakas.

Sepuluh menit.

Dua puluh menit.

Tiga puluh menit.

Mereka saling terdiam. Hanya suara jarum jam yang terdengar. Wangi lavender yang Ibu pilih malam ini membuat Luna lebih relax setelah seharian berjibaku di kantor. Dia sudah menyelesaikan lima bab terakhir novel “Rich People Problems - Kevin Kwan”, sementara ibu masih serius dengan bukunya.

“Bu...” Luna membuka percakapan di antara mereka. Dia menutup HP-nya dan berbaring di samping ibu.

“Apa, Nduk?”

“Hmmm ... aku ... kepikiran ... pengen punya ... rumah sendiri juga.”

Kalimat tersebut membuat ibu tersentak. Mendadak novelnya tidak menarik lagi. Dia memalingkan perhatiannya kepada anak perempuan pertamanya.

“Kenapa?”

“...”

“Gara-gara video call sama Mbak Tara?”

“Itu salah satunya.” Pandangan Luna masih menghadap langit-langit kamar. Dia tidak berani melihat ekspresi ibu.

“Aku cuma ngerasa ... kalo sekarang udah waktunya aku tinggal sendiri, belajar hidup mandiri, punya privacy buat keluarga kecil aku. Tahun depan kan aku sama Damar udah enam tahun menikah.”

“Emang kamu punya uang buat beli rumah?”

“Damar sebenernya udah nabung dari lama, dari sebelum kita pacaran malah. Waktu kita nikah, aku juga ikut ngisi tabungannya. Sekarang udah kekumpul sesuai target yang kita mau.”

“Jadi kamu sama Damar emang udah punya niat buat ninggalin Ibu?”

Lihat selengkapnya