Belanja Bulanan
Dengan cepat, Luna berjalan melewati deretan keripik kentang menuju lorong di depannya yang berisi bermacam-macam mie instan. Terlihat ibu dan Kanaya yang sedang memilih antara mie instan rasa dendeng batokok atau rasa soto paru. Dengan perkembangan rasa mie instan yang makin mutakhir, sepertinya sebentar lagi kita akan bisa menemukan gultik Blok M atau sate padang Ajo Ramon dalam bentuk mie instan.
“Tumben banget, Bu, nyuruh aku ikut belanja.” Luna mencium tangan ibunya.
“Kan kamu pulangnya lewat sini, jadi sekalian aja kita belanja bareng.”
“Ruby sama siapa?”
“Ibu suruh si Mbak buat jangan pulang dulu, nanti Ibu kasih uang tambahan. Ibu lagi pengen belanja sama kalian berdua.”
“Biasanya Ibu lebih suka nitip aku kalo mau belanja.”
“Ya ... kan dulu kan kita pasti belanja bulanan bareng.”
Nah kan!
Lagi-lagi ibu mengungkit soal masa lalu. Luna menghela nafas panjang. Sepertinya belanja bulanan kali ini masih satu paket “Ide Ibu Arum Dalam Mengembalikan Kenangan Masa Lalu”, supaya Luna melupakan niatnya untuk pindah.
“Inget nggak, dulu Ayah yang dorong trolley, Kanaya duduk di atas sini, Ibu milih-milih makanan, kamu sama Cakra lari-larian. Eh, dateng-dateng udah bawa makanan sendiri-sendiri."
Iya sih, dulu mereka memang selalu belanja bulanan bersama. Tapi kegiatan itu mulai berhenti saat Luna SMP dan Cakra masuk SMA. Mereka sudah mulai malas ikut berbelanja, karena lebih lama ibu membandingkan harga barang dibandingkan acara belanja itu sendiri. Jadi mereka lebih suka menitip barang-barang yang mereka butuhkan ke ibu dan ayah.
“Nih, ini nih yang pasti Ayah beli kalo belanja.” Ibu menunjuk box cereal madu favourite ayah.
“ ... ” Tidak ada tanggapan dari kedua anaknya. Kanaya sibuk memilih cereal coklat kesukaannya yang sekarang memiliki tiga varian baru. Coklat kacang, coklat karamel dan coklat aja. Sementara Luna membalas Whatsapp dari temannya.
“Kamu inget nggak, Lun?”
“Bukan cuma Ayah aja yang suka. Aku juga suka. Ibu nggak inget?”
“Iya, Bu.” Kanaya memasukkan cereal rasa coklat karamel ke trolley belanja. “Kan dulu Mbak Luna yang sering rebutan sama Ayah.”
“Eh, gimana kalo kita masak bareng?” Ibu mengalihkan topik pembicaraan.
“Apaan?”
“Mau ngapain kita?”
“Masak. Kan dulu kalo abis belanja, Ayah sering ngajakin masak bareng.”
Percapakan berlanjut selagi mereka menuju kasir.
“Inget nggak, tiap weekend Ayah suka ngajakin kalian bikin macem-macem. Puding roti, pancake, waffle, nasi goreng hongkong.
Nah sekarang, Ibu yang masak, kalian ngeliat sambil bantuin. Kaya dulu lah.”
“Bu, abis Ayah nggak ada kan kita pernah nyoba. Tapi kata Ibu, kita nggak bisa diajarin, terus malah bikin kerjaan jadi makin banyak. Jadi Ibu males masak bareng kita lagi.”
“Ya itu kan dulu. Sekarang kita coba lagi.”
“Kalo weekend Ruby nggak mau lepas dari aku, Bu. Nempel terus.”
Luna mengeluarkan satu persatu barang di trolley ke atas meja kasir dengan cepat. Hari ini Carrefour terasa lebih penuh dibandingkan hari biasanya. Sepertinya karena efek tanggal yang masih sangat muda, ibarat mangga lagi hijau-hijaunya.
“Aku juga sibuk ngurusin tugas sama survey lapangan. Weekend tuh rasanya pengen rebahan aja seharian.”
“Ngerjain sesuatu bareng-bareng kan seru.”
“Pesen online udah paling bener, Bu. Kaya biasanya.”
“Nah, bener tuh kata Mbak Luna!”
Ibu menyikut lengan Kanaya, memberikan kode untuk berpihak padanya. Tapi karena Kanaya adalah supporter kakaknya, jadi dia akan mendukung semua dibicarakan Luna. Namun dalam situasi kali ini, supaya aman Kanaya cepat-cepat menutup mulutnya.
“Kok kalian gitu sih? Ayah nanti sedih lho kalo tahu kebiasaannya nggak dilakuin lagi.”