KPR (Kapan Pindah Rumah?)

Annisa Diandari Putri
Chapter #11

Bakso Tanpa Sawi

Apapun minumannya, makanannya bakso urat pake mie kuning.

Jika diibaratkan sebuah tagline brand minuman ringan, mungkin seperti itulah Kanaya. Bakso adalah makanan yang tidak bisa dia tolak. Dan menurut Kanaya, warung bakso jawa di depan kompleksnya merupakan salah satu yang paling enak se-Jakarta Selatan.

Komposisi baksonya lebih banyak daging daripada bohongnya. Kuahnya bening, gurih, tidak bergajih dan yang penting gratis tetelan tanpa biaya tambahan. Kalau menurut bahasanya Gordon Ramsey, mie kuningnya itu springy dan tidak berasa tepung saat dimakan.

Biasanya, Kanaya makan sendiri sembari mengobrol dengan si mbak anaknya tukang bakso, yang bertugas mengantarkan minuman. Oh iya, teh manisnya juga tidak kalah enak. Sepetnya itu sangat khas. Kalau kata orang Jawa istilahnya nasgitel, singkatan dari panas, wangi, legi, kentel. Tapi Kanaya selalu pesen dengan es.

Hari ini ada seorang laki-laki menemani Kanaya makan sore. Dia tersenyum saat melihat Kanaya sudah sampai terlebih dahulu. Senyumnya menarik perhatian beberapa perempuan yang duduk di kursi pojok. Menurut Kanaya, tidak ada yang terlalu istimewa dari Harsa kecuali tubuh tingginya yang terbentuk karena bermain basket sejak SMP. Dia tidak pernah tahu apa cerita Harsa dan jaket jeans-nya, tapi mereka seperti tak terpisahkan.

Kalo kata temen-teman perempuannya, senyum Harsa itu memabukkan. Senyum lebar ditambah rahang kotaknya, membuat banyak perempuan jaman SMA tergila-gila. Untung saja setelah bertahun-tahun berteman, Kanaya sudah kebal dengan semua senyum yang dimiliki Harsa. Dari senyum tipis basa-basi, senyum setengah terpaksa, sampai senyum lebar saat cintanya diterima kakak kelas yang juga model majalah itu.

Sekarang mereka juga kuliah di kampus yang sama. Hanya jurusannya saja yang berbeda. Kanaya memilih mendesain bangunan, sementara Harsa lebih suka menghitung pembukuan.

Dengan senyum paling manis, si mbak meletakkan satu mangkok bakso urat dan dua gelas es teh manis ke atas meja.

“Pacarnya, Mbak Nay?”

“Oh bukan, ini cuma riset kalo nanti punya pacar beneran.”

“Si Mas-nya mau pesen bakso apa?”

“Campur aja, Mbak. Pake tahu sama toge. Tapi baksonya jangan digalakin ya.”

“Maksudnya gimana, Mas?”

“Jangan pake urat.” Jawab Harsa sambil tersenyum.

Sementara Kanaya menahan keinginannya untuk melempar jaket jeans Harsa ke kuah bakso, si mbak terdiam lalu ikut tersenyum. Untuk laki-laki semenarik Harsa, segaring apapun kalimatnya tetap terdengar lucu di telinganya.

Saat pesanannya datang, Kanaya melihat isi mangkok Harsa, lalu menariknya mendekat. Dengan teliti, dia membersihkan setiap helai sawi yang berenang di atasnya, dan memindahkan ke mangkoknya sendiri. Harsa tidak pernah suka sayur, termasuk sawi di bakso dan mie ayam. Sedangkan Kanaya itu pemakan segalanya.

“Lo aneh banget. Udah tau nggak suka sawi, tapi selalu lupa bilang kalo pesen.”

“Terima kasih, Ibu Naya. Kan ada lo. Kalo mau cepet tinggi, emang harus banyak makan sayur.” Harsa mulai menyeruput kuah yang sudah bebas dari hijau-hijau.

“Oh, sombong ya, Bapak. Mentang-mentang tinggi.”

“Ini lo bayarin kan?”

“Tenang aja. Hari ini gue lagi banyak duit. Mbak Luna abis dapet bonus.”

“Tumben.”

“Dia lagi jadiin gue mata-mata di rumah.”

Kanaya menceritakan keadaan rumahnya beberapa bulan ini, sejak Cakra pindah ke Bandung. Semua perdebatan ibu dan Luna yang tidak ada habisnya. Harsa mendengarkan semuanya dengan serius.

“Mereka tuh nggak berantem, cuma saling sindir aja. Nggak diem-dieman, nggak teriak-teriakan juga, nggak lempar barang, ngomongnya sih santai tapi pedes. Jadi, rumah tuh rasanya panas banget gitu.

Makanya gue mending nemenin Ruby main masak-masakkan dari pada dengerin mereka berdua. Mbak Luna juga kekeh banget sih."

“Emang udah umurnya aja kali, Nay. Nikah terus punya anak kan kadang ngerubah semuanya.”

Lihat selengkapnya