Survei Rumah
Hari pertama Luna dan Damar mencari calon rumah mereka. Perumahan yang sekarang mereka lihat memiliki desain rumah yang katanya “minimalis”, tapi lebih banyak aksen garis dibandingkan jendelanya. Rumah type 65 ini berdinding putih dengan genting hitam. Dua lantai dengan tiga kamar tidur.
Ini bukan perumahan besar, hanya kurang dari lima belas rumah yang akan terbangun nantinya. Lingkungannya cukup bagus, setidaknya jalannya cukup untuk dua mobil lalu lalang dan berdekatan dengan supermarket besar.
Tidak hanya mereka, ada beberapa pasangan lainnya yang sedang melihat-lihat. Sepertinya mereka seumuran dengan Luna dan Damar. Masalahnya, harganya di luar budget yang mereka punya. Moral yang didapat hari ini adalah, jangan pernah percaya akhiran -an dibelakang harga pada spanduk iklan. Karena harganya bisa melambung tinggi.
Setelah puas melihat-lihat, sekarang mereka sudah dalam perjalanan pulang. Ruby tertidur lelah di kursi belakang. Dia terlalu banyak berlari saat Damar berbicara dengan orang marketing.
“Kamu suka nggak?” Tanya Damar saat melihat istrinya hanya terdiam sambil melihat keluar jendela, sejak mereka meninggalkan tempat tersebut.
“Suka apa? Kamu?”
Damar tersenyum tipis, “Rumahnya.”
“Suka. Tapi ATM kita yang nggak suka."
"Padahal waktu aku lihat di website-nya nggak segitu. Spesifikasi-nya juga biasa aja. Mungkin gara-gara berita mau ada pembangunan tol di deket situ, makanya harganya jadi naik banget."
“Iya, kayaknya. Sayang, padahal lumayan deket sama SD yang bagus buat Ruby.”
“Tapi kalo kamu emang suka, kita bisa kok nabung lagi. Atau dana daruratnya dipake dulu juga nggak apa-apa.”
“Nggak usah lah.”
“Bener nih? Siapa tahu bulan depan Duta 'Sheila on 7' mau pindah ke Jakarta, terus bikin rumah di aku.”
Akhirnya Luna tersenyum juga. Sedari tadi pikirannya penuh dengan hitung menghitung uang yang ada di tabungan mereka.
“Kita lihat-lihat yang lain dulu aja. Nggak usah dipaksain juga kok, Suami.”
“Abis aku bingung, tiap lihat kamu berantem sama Ibu.”
“Aku sama Ibu nggak berantem.”
“Iya, tapi sindir-sindiran. Apa bedanya?”
“Ibu memang kaya gitu kalo sama aku. Aku tuh lebih cocok ngobrol sama Ayah sebenernya.”
“Coba deh sekali-kali kamu ngobrol yang enak sama Ibu. Tanya alasannya, kenapa kamu harus ada di rumah.”
“Males aku. Ibu tuh selalu punya alasan kenapa aku harus begini, harus begitu, nggak boleh ini, nggak boleh itu. Tapi cuma buat aku. Mas Cakra sama Kanaya nggak pernah digituin.”
“Jangan gitu, Istri. Dia kan ibu kamu.”
“Iya, aku tahu. Kadang aku juga mikir, aku tuh kayaknya keterlaluan sama Ibu. Tapi balik lagi, orang lain kan nggak ngerti apa yang aku rasain.”
Damar mengelus rambut Luna dengan tangannya yang bebas. Sementara satu tangannya masih memegang stir.