Teman Ayah Banyak
Tanggal merah di hari Jum’at memang paling menyenangkan. Libur panjang yang tadinya akan digunakan untuk berlibur di Bandung sekaligus menginap di rumah Cakra harus dibatalkan, karena mobil Damar bermasalah dan harus masuk bengkel. Sementara mobil ayah sudah tidak layak untuk dibawa keluar kota, dan Cakra tidak bisa ke Jakarta karena ada masalah pekerjaan yang harus diselesaikan di Bandung.
Jadi sekarang mereka hanya berdiam di rumah, memesan makanan via ojek online. Seperti hari libur pada umumnya. Yang paling senang adalah Ruby, karena kedua orang tuanya tidak bekerja dan bisa bermain seharian.
“Bu, minggu depan temen-temenku ke rumah ya, ada tugas kelompok. Kalo belom selesai, mau nginep sekalian.”
“Pada mau dateng jam berapa? Perlu Ibu siapin makanan nggak?”
“Siang atau sore lah.
Nggak usah nyiapin apa-apa, Bu. Nanti kita pesen sendiri aja.”
“Oh iya, anak lo juga jangan masuk kamar gue ya, Mbak.”
“Padahal Ruby udah sering bantuin kerjaan Damar, lho. Kalo cuma bikin denah rumah doang dia bisa.”
“Bukan itu masalahnya. Temen-temen gue tuh pada bucin banget sama anak kecil, Mbak. Yang ada mereka malah mainan sama Ruby. Terus nanti tugasnya gimana? Masa gue sendirian yang ngerjain.”
Kanaya mengambil potongan martabak keju ketiganya.
“Tapi temen kamu jarang nginep di sini ya, Nay. Nggak kaya temen-temennya Cakra sama Luna.”
“Temen aku kan emang nggak banyak, Bu. Pada males juga nginep-nginepan kalo nggak perlu banget.”
“Kalo Kanaya kan yang banyak pacarnya, bukan temennya.” Sambar Luna dengan cepat.
“Soalnya temennya dijadiin pacar semua.” Kalimat Damar tersebut membuat Luna menarik tangan suaminya untuk high five.
“Yeee ... Mbak Luna tuh dulu mantan pacarnya juga banyak tau, Mas.”
Berbeda dengan kedua saudaranya yang memiliki warna kulit kuning langsat, Luna mewarisi kulit sawo matang dari ayah. Tapi dia tidak pernah merasa minder dengan warna kulitnya. Menurut Luna, hal itu membuat dia terlihat berbeda diantara teman-temannya. Lagipula semua orang di sekitarnya merasa jika warna kulitnya sangat cocok dengan hidung mancung dan rambut hitam legamnya yang bergelombang.
Tatapannya yang tajam sering membuat Luna dianggap jutek, walaupun memang begitu adanya. Tapi itulah yang membuat laki-laki penasaran dengannya. Karena menurut mereka, Luna terlihat misterius dan sulit untuk didekati. Satu senyuman dari Luna bisa membuat mereka langsung terdiam.
Tapi tidak dengan Damar. Laki-laki yang bertemu Luna di depan gerbang kampus dan meminjamkan hoodie tebalnya kepada Luna, agar perempuan itu dapat berjalan ke halte Trans Jakarta. Sementara dia sendiri berlari menembus hujan untuk mengejar Kopaja. Mereka baru berpapasan kembali enam bulan kemudian di taman kampus, itu pun Damar lebih sibuk dengan donat kentang di tangannya. Luna yang penasaran dengan sikap Damar, mengejarnya sampai gedung arsitektur dan mengajaknya berkenalan. Yang membuat Damar disidang oleh seniornya yang ternyata sedang “mengejar” Luna.
Menurut Damar sih, dia memang lupa sudah meminjamkan hoodie-nya ke Luna. Dia pikir, hoodie-nya terselip di kamar kos-annya yang penuh dengan bahan maket dan kertas gambar kerja. Ingatan memang bukan kemampuan terbaiknya.
“Bawa-bawa nama gue lagi.
Sorry ya, tapi gue nggak pernah tuh mutusin cowok gitu aja kaya lo. Kalo gue dulu putusnya selalu baik-baik.”
“Mana ada putus baik-baik? Kalo baik-baik, ya nggak bakalan putus lah.”
“Gue sama mantan gue masih berhubungan baik, emang kaya lo. Gue lihat tuh si Juno ke rumah Harsa terus lo ngumpet di sini.”
“Berhubungan baik? Itu mantan pacar apa mantan dosen?”
Entah gen dari mana, tapi ketiga saudara ini memiliki pesona tersendiri yang tidak bisa ditolak oleh lawan jenis. Banyak orang yang datang dan pergi di kehidupan cinta mereka bertiga. Ayah dan ibu sampai malas menghafal nama-nama pacar anaknya yang pernah datang ke rumah untuk dikenalkan.
Cakra punya banyak HTS-an, tapi hanya beberapa wanita yang dijadikan pacar. Sementara kedua adiknya, mereka pernah pacaran dengan cukup banyak laki-laki. Sampai-sampai Cakra pernah berkata, jika mantan mereka semua digabungkan, jumlahnya bisa seperti satu angkatan jurusan arsitektur tahun 2006.
“Kenapa jadi bahas mantan?
Maksud Ibu, kalo dulu kan Kakak-kakakmu sering ngajak temennya nginep di sini. Jadi rumah rame terus kaya kos-kosan.”
“Jamannya udah beda kali, Bu. Sekarang kan kalo mau ngobrol sambil ngeliat muka lebih gampang, tinggal video call. Dulu juga bisa sih pake Yahoo Messanger, tapi kayaknya lebih enak kalo nginep gitu.”
“Apalagi Ayah baru bolehin kamu nginep pas kuliah ya, Lun. Jadi sekalinya nginep, langsung nggak pulang-pulang.”
Luna mengerutkan bibirnya saat mendengar kata-kata ibu. Walaupun saat SMA dia harus protes untuk mendapatkan izin menginap, tapi saat Luna masuk kuliah, ayah langsung membebaskannya untuk pulang malam bahkan menginap di rumah temannya. Asal jangan lupa untuk memberi kabar ke ibu atau ayah.