KPR (Kapan Pindah Rumah?)

Annisa Diandari Putri
Chapter #17

Deal!

Penawaran

Mencoba melupakan drama ibu beberapa minggu lalu, hari ini Luna dan Damar kembali melanjutkan pencarian calon rumah baru. Kali ini tanpa Ruby karena Cakra sedang menginap di rumah, jadi dia menitipkannya kepada mereka. Dengan alasan, Luna ingin jalan-jalan berdua dengan Damar.

Rumah pertama yang mereka lihat ini cukup ... stylist. Bagian facade-nya menandakan rumah ini didesain oleh seorang arsitek, dengan perpaduan kayu dan bata expose. Garasinya cukup besar. Dan interiornya ... langsung membuat mereka jatuh cinta pada pandangan pertama.

Ruang keluarganya terlihat besar dengan ceiling yang cukup tinggi. Mereka juga mendapatkan pemandangan langsung ke taman belakang yang hanya dibatasi pintu kaca. Tangga dibuat dengan melayang, sehingga tidak memenuhi sudut ruangan.

Tapi yang pertama kali dirasakan saat berada di dalam rumah adalah udara dingin yang mengelus kulit. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan udara luar yang sedang panas-panasnya. Mungkin desainnya memang memungkinkan sirkulasi udara menjadi cukup baik. Sehingga tidak terasa panas walaupun tanpa penggunaan AC sekalipun.

Meskipun begitu, mereka berdua agak curiga saat menimbang desain rumah tersebut dengan harga yang ditawarkan. Harganya terlalu rendah untuk rumah cantik ini. Apalagi si agen properti terlihat terlalu bersemangat untuk menjual. Tapi Damar tampak sangat tertarik dengan rumah ini. Sepertinya dia tidak akan merubah apapun jika mereka jadi menempatinya.

Setelah berpamitan, tiba-tiba saja mereka dihampiri oleh beberapa bapak-bapak, yang memberitahu jika rumah tersebut merupakan TKP pembunuhan. Si istri pemilik rumah dan selingkuhannya tewas dibunuh suaminya. Beritanya sempat ada di mana-mana. Itu sebabnya rumah tersebut dijual murah.

Pada akhirnya mereka harus menyaksikan si bapak informan dan si agen properti bertengkar di depan mereka.

“Gimana?” Tanya Luna setelah bapak-bapak tadi diamankan oleh ketua RT dan mereka dapat masuk mobil dengan tenang.

“Emang bener?”

“Nih, aku udah googled, ada berita sama foto rumahnya juga. Katanya pembunuhnya belum ketemu sampe sekarang, padahal udah dua tahun.” Luna menunjukkan layar HP-nya kepada Damar.

“Kalo ternyata ngumpet di basement kaya film 'Parasite', gimana?”

Mereka bertatapan. Teringat tadi tidak memeriksa semua sudut rumah. Termasuk sebuah pintu yang disebut oleh si agen properti sebagai pintu gudang. Atau jangan-jangan udara dingin yang mereka rasakan tadi bukan karena sirkulasi udaranya ... tapi ... "sesuatu"?

“Ada-ada aja ya?” Ucap Damar sambil menyalakan mesin mobilnya. Dia menepis jauh-jauh semua pikiran buruknya.

“Jangan-jangan ini gara-gara kita belom dapet restu dari Ibu.”

“Apa sih, Suami?”

“Kalo kata orang kan, restu Ibu itu restu Tuhan.”

“Emang kita lagi dapet yang sial aja kali."

HP Luna berbunyi.

Incoming video call.

“Mbak, mau jodohin Ibu nggak?” Todong Kanaya sedetik setelah Luna menjawab telefonnya. Satu minggu memikirkan ide Harsa, membuatnya terlalu bersemangat.

“Apaan sih, Nay?!”

“Aku serius! Ide bagus kan? Ini idenya Har ... sa...” Ntah kenapa lidah Kanaya mendadak sulit mengucapkan namanya.

“Iya ... gitu ... Harsa ... jadi ... kalo Ibu punya orang yang bisa nemenin kemana-mana, dia kan happy tuh.

Terus sibuk pergi berdua, makan berdua, nonton film berdua, masak berdua, terus nggak ada waktu lagi deh buat ngurusin hidup lo. Dia juga jadi nggak sendirian, Mbak.”

“Emang lo ada calonnya, Nay?” Tanya Damar.

“Mas Damar kenal Om Gusti nggak? Yang rumahnya di ujung jalan. Yang punya banyak restaurant itu lho.”

“Oh ... Yang anaknya satu?"

“Yang mana sih?” Tanya Luna. Dia seperti dilupakan karena tidak mengenal orang yang sedang dibicarakan oleh mereka berdua.

“Itu lho, Istri, bapak-bapak yang suka main sepeda. Yang sering lewat depan rumah kalo sore.”

“Oh! Bokapnya Mirza ya, Nay?”

Lihat selengkapnya