Service Sepeda
Kanaya sedang bermain dengan Ruby di teras, saat om Gusti datang ke rumah. Dia memintanya untuk menunggu sembari Kanaya menanyakan tentang sepeda ayah ke ibu.
“Bu, sepeda yang dulu suka dipake Ayah ada di mana?” Tanya Kanaya setelah menyerahkan Ruby ke si mbak.
“Di garasi. Mau diapain? Jangan dipake, udah lama itu.”
“Di depan ada Om Gusti, dia mau benerin sepeda Ayah.”
“Ngapain? Aduh, kamu tuh jangan suka ngerepotin orang, Nay.”
“Dia yang mau, Bu. Katanya sayang kalo sepeda Ayah cuma disimpen tapi nggak pernah dipake.”
“Kamu pasti cerita yang macem-macem deh. Ya udah, kamu ambil di garasi. Biar Ibu yang ngomong sama Gusti. Udah lama nggak ke sini, sekalinya mampir kok malah disuruh benerin sepeda.”
Ibu berjalan keluar rumah sambil mengikat rambutnya. Kanaya tersenyum lebar dan mengikuti di belakangnya.
“Duh, maaf nih jadi ngerepotin.”
“Nggak apa-apa. Aku inget sepedanya Aji itu bagus. Ada di mana?”
“Di garasi, Om. Biar aku aja yang ambil.”
Kanaya berlari kecil ke garasi. Sepeda berwarna merah maroon dengan stripe hitam itu ditempatkan jauh di ujung belakang garasi. Tertutup dengan peralatan bertanam Ibu. Kanaya membersihkan debu yang menutupinya sebelum mengeluarkan sepeda tersebut dengan perlahan, sambil mencuri pandang ke arah ibu dan om Gusti yang sedang mengobrol.
Menurut cerita Luna, keluarga mereka dan om Gusti pindah ke kompleks ini di waktu yang hampir berdekatan. Karena ayah orangnya sangat senang bertemu orang baru, beberapa hari setelah pindah dia berkeliling kompleks dengan sepedanya untuk menyapa orang lain yang tinggal di sini. Salah satunya om Gusti.
Mereka bertambah akrab saat ayah mengetahui jika om Gusti juga memiliki hobi bersepeda, dan anak mereka berdua seumuran. Karena suaminya bersahabat, ibu juga jadi sering mengobrol dengan istrinya om Gusti, sampai beliau meninggal enam tahun lalu karena kecelakaan.
“Yang ini kan, Bu?”
“Wih, masih cakep nih sepedanya. Ini nih yang sering dipake Ayah kamu. Pernah sampe Bogor ya, Rum?”
“Waktu kamu masih TK kayaknya, Nay. Kita tuh pernah ke Bogor bareng-bareng sama keluarganya Om Gusti. Inget nggak?” Kanaya menggeleng.
Ibu mengelus sepeda tersebut. “Sejak divonis jantung, udah nggak pernah ada lagi yang make. Cuma Cakra yang sempet main sepeda, tapi nggak lama terus bosen. Aku juga nggak tega mau buang.”
“Waktu itu Aji pernah bilang, dia pengen cepet-cepet sembuh biar bisa sepedaan lagi."
“Tapi ini masih bisa dibenerin kan, Om?”
“Masih kok.”
Perhatian Kanaya tiba-tiba teralihkan oleh bunyi HP-nya.
Incoming video call.
Kanaya menghadapkan ke wajahnya.
“Wah, iya gue lupa! Tugas yang itu ya! Sorry ... sorry...
Tunggu bentar, gue ke kamar dulu.”
“Bu, temenin Om Gusti dulu ya. Aku ada mau video call sama temenku. Mau ngerjain tugas studio.”
“Tapi Ibu kan nggak ngerti.” Ibu menarik tangan Kanaya supaya tidak meninggalkannya.
“Masa Om Gusti udah kesini terus ditinggal sendiri. Bentar doang, Bu. Penting banget ini. Kalo cepet selesai, dia juga bisa cepet ngerjain bagiannya.”
“Cepetan ya. Nggak enak Ibu kalo diliat tetangga.” Ibu berbisik di telinga Kanaya.
“Ya elah, Bu. Ini kan di luar rumah. Rumah Ibu sendiri lagi.”
Kanaya berlari kecil masuk ke dalam rumah, “Iya, bentar. Sabar kenapa sih?”
Sampai di kamar, Kanaya disambut oleh dua orang yang tadi menelefonnya.
Luna dan Damar.
Iya, video call itu hanya pura-pura supaya mereka bisa meninggalkan ibu dan om Gusti berdua di bawah. Sementara mereka bertiga mengintip dari kamar Kanaya yang jendelanya persis menghadap bagian depan rumah. Dari sini mereka bisa melihat ibu dan om Gusti yang sedang berdiri di pinggir jalan.
“Gimana, Nay?”
“Lagi ngomongin Ayah tadi. Tapi lumayan lah buat opening."