Seminggu Sekali
Damar terpaksa memarkir mobilnya agak jauh dari rumah yang dituju. Sebuah rumah lain yang sedang mengadakan acara, membuat jalan dipenuhi mobil. Entah tujuan kali ini sudah rumah keberapa yang mereka lihat selama beberapa bulan ini. Mencari rumah ternyata lebih sulit daripada mencari bakso enak se-jabodetabek. Luna langsung memperhatikan lingkungan sekitarnya, sesaat begitu keluar dari mobil.
Mereka berjalan menuju rumah yang diinfokan oleh sepupu temannya Kanaya. Rumah berpagar hitam di depan Damar dan Luna ini memang bukan rumah baru. Tapi terlihat cukup terawat. Tamannya tidak ditanami banyak tanaman seperti rumah ibu. Hanya sebuah pohon rambutan yang cukup rimbun di bagian depan. Di samping rumah terdapat cartport yang cukup untuk satu mobil.
Ukurannya lebih dari 100 m2, dua lantai dengan taman belakang yang lumayan luas. Penggunaan kayu pada furniture dan kusen pintu juga jendela, membuat rumah ini terasa homey. Seperti rumah keluarga Damar di Solo. Dari taman belakang, mereka bisa mendengar suara burung yang dipelihara keluarga ini.
Tapi sama seperti rumah bekas TKP pembunuhan yang sebelumnya, agak mencurigakan mengapa rumah ini harganya cukup rendah. Karena selain luasan rumah yang cukup besar, letak rumah ini juga lumayan dekat dengan jalan utama. It’s just too good to be true.
Setelah puas melihat-lihat, mereka pamit untuk pulang. Saat Damar membuka pintu depan, tiba-tiba angin berhembus dan samar-samar tercium bau aneh. Mereka berdua terdiam lalu otomatis bertukar pandang. Sementara si ibu pemilik rumah membuat ekspresi yang tidak terbaca.
Di luar, terdengar banyak orang yang mengeluh karena bau tersebut. Sumber suara berasal dari rumah yang sedang mengadakan acara. Damar dan Luna berjalan keluar rumah untuk bertanya. Tapi mereka yang sebelumnya berkumpul di luar rumah langsung masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
Mungkin karena tidak enak melihat wajah kedua tamunya yang bingung, si ibu akhirnya menjelaskan. Bahwa ada sebuah tempat pembuangan akhir yang letaknya cukup jauh dari sini. Seminggu sekali setiap hari Rabu, mereka akan mengosongkan tempat tersebut. Masalahnya angin terkadang membawa baunya ke perumahan mereka. Ntah kenapa minggu ini mereka memutuskan untuk mengosongkannya pada hari ini, hari Minggu.
Ada bau sampah seminggu sekali jelas tidak ada dalam checklist rumah idaman mereka. Dengan terpaksa mereka harus mengucapkan selamat tinggal kepada rumah itu.
Setelah duduk di dalam mobil, mereka tidak langsung pergi ke rumah selanjutnya.
“Capek nggak?” Damar memijat bahu istrinya.
“Apa udahan aja ya hari ini?”
“Kita bisa lihat satu lagi searah pulang.”
“Rumahnya siapa?” Luna mengeluarkan bungkus permen dari tas-nya. Bau tadi rasanya membuat kadar gula darahnya merosot tajam.
“Perumahan baru. Proyeknya temen aku.”
“Tempatnya bagus?”
“Lumayan. Tapi nggak terlalu deket sama jalan gede, kira-kira lima belas menit-an.”
“Ya udah lah, searah juga kan? Tapi abis ini aku mau makan enak ya.”
“Oke, Nyonya.”
.
This Is It?
Sesampainya di sana, Damar menyapa temannya yang sedang mengawasi pembangunan sebuah rumah yang terletak di hook. Dia mengajak mereka berdua berkeliling di perumahan yang baru terbangun beberapa rumah itu. Dengan serius, Damar mendengarkan penjelasan dari temannya, tentang spesifikasi yang digunakan sampai berapa lama perkiraan rumah ini selesai dibangun. Luna yang tidak mengerti tentang hal-hal yang mereka bicarakan, lebih tertarik dengan lingkungan perumahan ini.