Jatuh
Luna, Damar dan Ruby berlari menuju UGD. Di depan ruang pemeriksaan, mereka bertemu dengan Kanaya dan om Gusti yang berdiri dengan wajah khawatir.
“Kenapa?”
“Nggak tau, Mbak. Tadi pas aku liat ke kamar mandi, Ibu udah jatuh.”
“Ini beneran, Nay?”
“Iya, Mbak Luna!”
“Terus lo kenapa nggak masuk?” Tanya Damar sambil mengatur nafasnya.
“Di dalem ada Bude sama dokter lagi meriksa Ibu.”
Tidak lama, bude dan seorang dokter keluar menemui mereka.
“Kamu urus administrasi dulu, Lun. Ini Ibumu perlu dirawat. Ibu ada asuransi kan?"
“Ada, Bude.”
“Kamu sama Kanaya di sini, aku aja yang ngurus. Biar Ibu cepet dapet kamar.” Damar mengambil tas ibu dari tangan Kanaya.
“Saya temenin, Mar.”
Damar mengelus pundak Luna, sebelum meninggalkannya.
Setelah Damar dan om Gusti berbelok di pojok ruangan, bude menyuruh mereka berdua duduk.
“Cakra udah dikabarin?”
“Udah, Bude. Tapi Mas Cakra masih di tol mau ke airport, lagi nganter orang tuanya Mbak Tara.”
“Ibu kenapa?” Tanya Kanaya dengan wajah khawatir. Mengingat ekspresi ibu beberapa jam yang lalu membuatnya tidak tenang. Dengan umur ibu, jatuh di kamar mandi bisa saja menjadi masalah yang cukup serius.
“Padahal lantai kamar mandi udah nggak licin lagi, abis direnovasi sama Damar.”
“Kata Ibumu, dia jatuhnya di depan kamar mandi. Kayaknya buru-buru keluar padahal kakinya masih basah. Terus kepleset. Kenapa to dia? Lagi banyak pikiran ya?"
“Sekarang keadaannya gimana?”
“Dokter masih harus meriksa lagi. Perlu dicek ada masalah di punggung atau tulang pinggangnya ndak. Soalnya Ibumu kan udah ndak muda lagi. Yang udah pasti kakinya itu. Kayaknya keseleo, semoga ndak bengkak.”
Bude melihat jam di tangannya. “Sebentar lagi Bude harus ketemu pasien. Nanti kalo udah selesai, Bude ke sini lagi. Kalian jagain Ibu. Mudah-mudahan suamimu cepet dapet kamar. Biar dia bisa istirahat."
"Tapi ini ... bener kan, Bude?" Tanya Luna. Dia masih belum percaya dengan semua penjelasan sebelumnyaa.
"Bude minta maaf, waktu itu boongin kalian. Ibu kamu maksa. Tapi sekarang bener. Kalo nggak, mana mau Ibumu sampe dibawa ke rumah sakit?”
“..."
“Udah lah, Lun. Kamu ikutin aja apa mau Ibumu. Ndak baik berantem terus.”
Sepeninggal bude, suasana terasa hening. Tidak ada yang berbicara. Kepala mereka sedang memproses apa yang sedang terjadi. Harusnya hari ini adalah hari bahagia ibu. Harusnya sekarang mereka sedang makan siang dengan rusuh karena Iva dan Ruby yang tidak mau diam. Harusnya Kanaya sedang marah karena Raka terus mengganggunya makan. Harusnya mereka sedang merencanakan akan pergi kemana setelah makan siang. Bukannya terduduk dengan tatapan kosong di depan UGD.
Luna menelefon orang marketing yang seharusnya dia temui hari ini dan memundurkan janjinya ke minggu depan. Sesuatu muncul di kepala Kanaya saat melihat kakaknya menelefon.
“Mbak!” Ujar Kanaya saat Luna selesai mengucapkan terima kasih.
“Jangan-jangan ... Ibu denger lagi waktu gue nelfon lo