Luna menarik kursi dari samping tempat tidur, lalu duduk di samping Kanaya dan mengelus rambutnya.
“Maaf, Mbak. Soalnya tadi Mas Cakra..."
"Iya, Nggak apa-apa, Nay."
Luna tersenyum lembut.
"Lo beneran udah beli rumah, Lun?!" Tanya Cakra dengan wajah yang mengeras.
"Tadinya gue sama Luna mau ngurus semuanya hari ini, Mas. Tapi waktu denger kabar Ibu, kita langsung ke sini." Ujar Damar.
“Lo emang bener-bener ya!”
“Gue tau ini salah gue.”
“Kenapa lo maksa banget pindah?!”
Sesaat sebelum Damar membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Cakra, Tara mengajaknya untuk keluar mencari makan. Menurut Tara, hal ini merupakan urusan kakak beradik. Walaupun mereka juga termasuk keluarga, tapi sebaiknya masalahnya diselesaikan oleh mereka bertiga saja.
“Kenapa nggak boleh?” Jawab Luna setelah mendengar pintu tertutup di belakangnya.
“Soalnya lo yang harus jagain Ibu.
Gue nggak bisa ada di Jakarta, jadi sekarang waktunya lo yang jagain Ibu. Temenin Ibu di rumah, pastiin dia nggak kenapa-kenapa.”
Mendengar alasan kakaknya, Luna mengurut keningnya. Dia sudah sangat lelah mendengar kalimat yang sama berulang-ulang selama beberapa bulan ini.
“Yang bilang harus, siapa?
Siapa, Mas?
Ayah?
Ayah yang bilang harus?”
“Gue yang bilang.
Gue kakak lo, Lun. Gue yang gantiin Ayah waktu dia nggak ada.”
“Lo nggak bisa gantiin Ayah, Mas. Nggak ada yang bisa. Sekarang kita tetep nggak punya Ayah. Lo nikah nggak ditemenin Ayah, wali nikah gue bukan Ayah, di foto wisuda Kanaya juga nggak akan ada Ayah.
Lo itu cuma ngambil tanggung jawab Ayah, yang ujung-ujungnya bikin lo jadi kebanyakan pikiran. Padahal nggak pernah ada yang nyuruh lo buat ngelakuin hal sebanyak itu, Mas."
Luna mengatur nafasnya. Emosi yang sudah terkumpul lama di dadanya membuatnya terengah-engah. Di depannya, Cakra menatap Luna dengan tajam. Tapi perempuan itu tidak takut, dia sudah biasa melihat kakaknya seperti ini.
“Dari dulu tuh gue udah sering bilang sama lo, jangan semuanya lo pegang sendirian. Benerin mobil lo bisa minta tolong ke bokapnya Harsa. Urusan pajak sama keuangan toko bisa ngurus berdua sama gue. Dulu gue yang sering bantuin Ayah ngurusin keuangan usahanya, jurusan gue aja akuntansi.
Capek kan ngurusin semuanya?”
“Gue anak laki-laki pertama, secara nggak langsung emang udah tugas gue buat gantiin posisinya Ayah."
"Tapi nggak kaya gini caranya, Mas."
Cakra menyenderkan badannya. "Terus karena bukan Ayah, gue nggak bisa nyuruh lo buat tetep di rumah dan nemenin Ibu?"
“Kenapa harus gue?