Luna duduk di luar kamar ibu dengan wajah menunduk. Di sekitarnya tidak ada orang sama sekali, mungkin karena jam besuk sudah berakhir. Entah berapa lama dia duduk di sana sampai Damar dan Tara kembali. Melihat raut istrinya yang muram, Damar berlari menghampirinya lalu bergegas memeluk Luna, sementara Tara duduk di sebelahnya.
“Kamu mau pulang?” Tanya Damar dengan lembut.
“Nggak, aku mau nunggu sampai Ibu bangun.” Suara Luna terdengar parau.
“Kamu mau aku temenin di sini?”
“Nggak usah. Kamu tolong jemput Ruby di rumah Sarah, terus ajak pulang, ya. Nggak enak nitipin dia sampe malem gini. Biar Ruby bisa istirahat di rumah.”
“Yakin?”
“Kan ada Mbak Tara di sini. Nanti aku pulang sama Kanaya aja, naik taxi online.”
“Raka sama Iva gimana, Mbak? Mau gue jemput sekalian, biar bisa istirahat di rumah Ibu?”
“Nggak usah, Mar. Adek-adek aku masih bisa kok jagain mereka. Tadi aku udah telefon. Kamu pulang aja, kasihan Ruby. Biar aku yang temenin Luna.”
“Ya udah, kamu baik-baik ya. Kalo ada apa-apa, cepet kabarin aku. Nanti kalo ada yang bisa jagain Ruby, aku jemput kamu sama Kanaya.”
Damar menerima kunci mobilnya, lalu mencium kepala Luna sebelum pergi.
Tara membiarkan Luna diam beberapa menit, sebelum mengelus punggungnya dan bertanya, “Kamu kenapa, Lun?”
Luna selalu merasa jika Tara dan Damar adalah bagian yang hilang dalam keseimbangan keluarganya. Tidak seperti Luna dan saudara-saudaranya yang meluap-luap, mereka berdua sama-sama tenang dalam menghadapi setiap masalah.
Peran kakak perempuan yang mengayomi dan mau mendengar, yang tidak pernah dia punya sebelumnya, sekarang dia dapatkan dalam diri Tara. Karena itu Luna sangat bersyukur, Cakra memilih Tara untuk menjadi istrinya.
Luna menceritakan semua kepada kakak iparnya, semua hal yang baru saja terjadi di dalam. Semua perdebatan antara dia dan Cakra. Semua unek-unek yang dia pendam selama bertahun-tahun.
“Jadi, kamu seniat ini mau pindah rumah, supaya Ibu bisa ngehargain pendapat kamu?"
Pertanyaan Tara dijawab dengan anggukan.
“Mungkin kamu bakal nganggep aku sok tahu kalo ngomong kaya gini, tapi kayaknya aku bisa ngerti setengah dari perasaan kamu.
Aku punya adik tiga. Seumur hidup disuruh ngalah terus. Sampe aku harus ngerelain kamar aku dan tidur bareng adik aku yang paling kecil. Yang sekarang lagi kuliah di Bandung.”
Sambil bercerita, mata Tara menatap langit-langit rumah sakit.
“Aku tau rasanya nggak bisa milih. Rasanya punya keinginan, punya pendapat tapi dianggap nggak baik, nggak bagus, hanya karena nggak ideal di mata orang lain. Apalagi jadi anak pertama yang katanya, harus jadi panutan adik-adiknya.
Nilai yang bagus, kuliah harus di sini, kerja yang kaya gini. Aku sampe sempet diomelin waktu nggak lolos CPNS, padahal emang akunya yang nggak mau. Jangan begini nanti adik ngikutin, harus begitu biar adik nyontoh. Capek ya, Lun.
Itu salah satu alesannya aku mau ikut Mas Cakra tinggal di rumah Ibu.
Hmmm, bisa dibilang ... aku kabur secara halus dari rumah. Sekarang aku jadi punya kamar sendiri, bisa mutusin mau ngapain aja tanpa ngerasa bersalah, bahkan aku bisa keluar dari kerjaan yang aku nggak suka sama sekali, terus jadi freelance yang emang aku pengen dari dulu.”
“Jadi, mbak Tara...”