Pernah Nggak?
“Rumah gimana, Nay?”
Sudah dua bulan sejak kejadian waktu itu.
Ibu keluar rumah sakit setelah dirawat selama satu minggu. Dia masih harus banyak istirahat dan belum boleh berkegiatan yang terlalu berat.
Sementara Luna, sepertinya benar-benar melupakan keinginannya mencari rumah. Dia dan Damar lebih banyak menghabiskan weekend-nya di rumah bersama Ruby. Tidak terdengar lagi perdebatan Luna dengan ibu. Keadaan rumah memang menjadi lebih tenang. Tapi bukan tenang seperti ini yang Kanaya harapkan.
Sebagai pihak netral, Kanaya merasa tidak nyaman dengan suasana rumah seperti ini. Sayangnya, satu-satunya tempat terdekat untuk melarikan diri adalah rumah Harsa. Untungnya, sekarang Kanaya sudah dapat meredam suara jantungnya yang selalu terasa terlalu bahagia setiap melihat mata Harsa.
“Mbak Luna sama Ibu masih diem-dieman. Paling basa-basi doang kalo dia lagi ngerawat Ibu. Itu juga nggak lama.”
“Dia masih suka curhat sama lo?”
“Udah jarang. Ah, asli deh ... nggak enak banget rumah kaya gini.
Gue jadi ngerasa bersalah gitu sama Mbak Luna. Gue nggak pernah tau kalo selama ini dia mikir kaya gitu.”
Kanaya berbicara tanpa menatap Harsa. Dia duduk di lantai dan berpura-pura sibuk dengan tahu crispy di tangannya.
“Mas Cakra gimana?”
“Jadi lebih sering ke rumah. Kadang dua atau tiga minggu sekali ke Jakarta. Tapi Mbak Luna tetep nggak mau ngomong gitu sama dia. Paling dia ngobrolnya sama Mbak Tara.
Mas Cakra juga sih! Kesel gue sama dia.
Dia tuh nyuruh Mbak Luna buat tetep di rumah, tapi dia sendiri jarang ke rumah. Dari dulu bisanya nyuruh orang, tapi nggak mau ngelakuin hal yang sama. Kalo gue jadi Mbak Luna ya, gue udah kabur beneran kali dari rumah.”
Tanpa sadar, sudah empat tahu yang berpindah ke perutnya.
"Dia banyak tanggung jawab kali, Nay. Mungkin juga dia bingung harus gimana. Kerjaannya sekarang ada di Bandung, anak udah mulai sekolah, terus harus ninggalin Ibu sama dua adek yang bertahun-tahun dia urus.”
“Nggak bisa gitu, dong. Kata Ayah, kalo lo mau diperlakukan baik sama orang lain, lo sendiri juga harus bisa memperlakukan orang lain dengan sikap yang sama. Jangan maunya enak sendiri.
Ah, Mas Cakra mah, tiap Ayah ngomong ditinggal mulu sih.”
“Mungkin dia juga maunya ke Jakarta, tapi situasinya yang nggak mungkin. Bandung – Jakarta naik mobil kan capek juga, Nay.”
“Kenapa lo positif thinking amat sih? Lo kan juga tau Mas Cakra kaya apa.”
“Kata Kakak gue, hidup tuh udah susah. Jangan semua dipikir negatif-nya, nanti lo sendiri yang repot. Cukup Korea aja yang banyak dramanya, hidup lo jangan.”
Kanaya tertawa mendengar kalimat tersebut.
“Rumah yang mau dibeli Mbak Luna, gimana?” Harsa mengambil potongan tahu terakhir di piring tanpa basa-basi.
“Udah dibatalin sama dia. Katanya daripada diundur nggak tau sampe kapan, mending dibatalin sekalian. Padahal rumahnya bagus banget, lho.”
“Sayang, ya.”
“Siapa yang sayang?”
“Rumahnya. Sayang, nggak diambil.”
“Iya ... sayang...”
Ini gue kenapa sih? Kanaya langsung menghabiskan air dingin di gelasnya. Tenggorokannya terasa kering.
"Gue pernah bilang sama Ibu buat ngebiarin Mbak Luna pindah, tapi dia nggak mau. Gue kan juga bisa nemenin dia di rumah. Tapi Ibu kayaknya nggak percaya sama gue.”
“Lo kan sama sibuknya kaya Mas Cakra.”
“Eh, jangan sama-samain gue kaya dia, ya. Enak aja. Dia mah levelnya dewa.”
Harsa mengubah posisi duduknya menghadap Kanaya. Sedangkan yang sedang ditatap Harsa, sekarang bingung harus melihat mata atau bibirnya. Atau rambutnya yang sudah mulai panjang.
“Nay, lo inget nggak, Ibu pernah minta lo buat nemenin dia baca di kamar? Kalo nggak salah, waktu Mbak Luna tugas keluar kota. Tapi lo nggak mau, katanya ngantuk.
Terus ... Ibu pernah minta anterin belanja, tapi lo bilang mau ketemuan sama temen lo yang anak film. Akhirnya gue yang nganterin.
Ibu juga pernah minta ditemenin ngobrol sambil nonton gosip, tapi lo mau pergi sama cowok lo.”
Mendengar semua itu membuat Kanaya mengerutkan keningnya. “Kok lo tau?”
“Tau lah. Kalo Ibu gue lagi di rumah, Ibu lo sama Tante Anna kan suka curhat di sini. Terus Ibu gue, cerita ke gue. Ya gitu lah, ibu-ibu.
Menurut lo, Nay. Kalo Ibu minta tolong ke Mbak Luna, dia bakal jawab apa?”