KPR (Kapan Pindah Rumah?)

Annisa Diandari Putri
Chapter #26

The Ugly Truth

“Sini duduk samping Ibu, Nduk.”

Cakra berdiri agar Luna dapat mengambil tempat duduknya. Dirinya sendiri pindah tempat ke samping Kanaya.

“Sebelum Ibu jawab, Ibu mau cerita dulu. Hari waktu Ayah meninggal.”

.

Desember, 2009

Ayah yang baru selesai mengirim e-mail, keluar dari ruang kerjanya dan ikut menonton TV bersama ibu di ruang tengah. Dibandingkan memiliki kantor dengan banyak pegawai, ayah lebih memilih bekerja sendiri di rumah, dengan jumlah proyek yang tidak terlalu banyak. Kata ayah, yang penting nilainya, bukan jumlah proyeknya.

“Nonton apa?”

“Ini ... gosipnya Dude Harlino sama Naysila Mirdad.

Heran aku. Udah jelas beda agama, masih ada aja berita mereka mau nikah.”

“Udah jelas-jelas gosip, masih kamu tonton juga.”

“Cinta Fitri-nya masih nanti malem.”

“Aku mau tidur." Ayah menguap. "Nanti sore mau ngajarin Kanaya main bulutangkis. Katanya minggu depan dia ambil nilai olahraga.”

“Nyalain AC-nya. Belom ujan, kamar jadi panas banget."

Suaminya yang terbiasa bergadang untuk menyelesaikan pekerjaannya, biasanya memang akan tidur di saat orang lain sibuk beraktifitas. Sebanyak apapun nasihat yang diberikan ibu atau Luna, tidak ada yang mempan. Tetap saja ayah akan bekerja sepanjang malam dan tidur sepanjang siang. Tidak jauh berbeda dengan kelelawar.

Dua jam setelahnya, ibu menyiapkan makanan di meja makan untuk ayah. Biasanya dia akan terbangun saat perutnya lapar dan kembali tidur sampai sore. Karena belum ada tanda-tanda dari ayah, ibu beranjak ke kamar tidur. Dengan perlahan, ibu menepuk lengan ayah untuk membangunkannya.

“Bangun. Ayo, makan dulu.”

Tidak ada jawaban.

“Ayah, bangun.”

Masih tidak ada pergerakan.

“Hei, ayo bangun. Aku abisin nih makanannya.”

Ayah memang terkadang suka berpura-pura masih tertidur, ketika dibangunkan oleh ibu.

“Aku bikin tumis tauge sama tahu kesukaan kamu.”

Dan akan langsung membuka matanya, jika mendengar makanan favourite-nya disebut.

Tapi tidak kali ini.

“Ayah, bangun dong. Mau tidur sampe kapan?”

Ibu mulai panik karena menyadari dia tidak mendengar suara ngorok ayah.

“Yah ... Ayah...”

Ibu menggoyangkan tubuh ayah lebih kencang.

“Aji, udah ah bercandanya. Cepet bangun.”

Ibu memegang wajah ayah. Dengan tangan yang bergetar, dia memeriksa nafasnya. Tidak ada udara hangat yang berhembus dari hidungnya. Dada dan perutnya juga tidak bergerak.

“Ji ... Aji ... Buka matanya. Jangan bikin aku takut.”

Dengan tergesa-gesa, ibu mencari nadi di tangan dan leher ayah. Tapi dia tidak bisa merasakan denyut halusnya sama sekali. Dia coba berkali-kali. Mungkin denyutnya terlalu pelan sampai dia tidak bisa merasakannya. Namun tetap tidak ada.

Ibu mencoba menepuk wajah ayah, masih berusaha agar ayah tersenyum jahil seperti biasanya. Tertawa geli karena berhasil menipu ibu seperti biasanya. Atau bahkan cukup membuka mata seperti biasanya.

Akan tetapi, tidak. Ayah tidak bergerak.

Menyadari sesuatu buruk sudah terjadi, kakinya menjadi sangat lemah. Badannya merosot dan terduduk di lantai. Sekarang kepalanya terasa kosong. Tangannya lemas. Ujung jari-jarinya terasa dingin. Keringat mulai menuruni leher dan dahinya, padahal AC kamar menyala dengan suhu 24 derajat.

Lihat selengkapnya