Pagi di Rumah Ibu
“Tante Nay, banguuunnn!”
“Udah siang tauuu!”
“Ah elah bocah, ngapain sih Sabtu gini masih gangguin juga?!?!”
Pagi di rumah ibu seperti kurang lengkap jika tidak ada suara Kanaya yang mengomel karena kurang tidur. Kadang dia menyalahkan jurusan kuliah pilihannya sendiri. Sekarang di bawah matanya terlihat seperti ada dua kantung belanja yang bergantungan.
“Ada aku, lhooo!”
“Aku juga, lhooo!”
“Kalian kapan sampenya???” Tanya Kanaya sambil menguap. Matanya mengerjap-ngerjap melihat anak kecil yang biasanya hanya satu, sekarang membelah diri menjadi tiga.
“Tadi, dooonggg.” Jawab Raka dengan mainan excavator di tangannya.
“Kata Eyang, Tante Nay disuruh makan batagor.”
“Wah, ada batagor! Mantap! Ayo, kita turun!” Mata Kanaya mendadak segar setelah mendengar kata-kata batagor.
Melihat tiga anak kecil yang masih diam di kamarnya, Kanaya mengeluarkan jurus saktinya, “Kalo nggak mau keluar, Tante Nay panggilin ghost tempat tidur nih! Tinggal ah!”
“Kabooorrr!!!”
“Hei, hati-hati turunnya!”
Dari lantai bawah bisa terdengar empat pasang kaki yang menuruni tangga dengan berisik.
“Sampe jam berapa, Mas?” Tanya Kanaya sambil mengambil sepotong batagor Riri dari atas meja.
“Baru aja.
Jorok lo, cuci tangan dulu sana!”
“Gue nggak abis nyangkul, Mas. Baru bangun tidur ini. Kamar gue mah bersih.”
Enam bulan berlalu sejak ibu melambaikan bendera putih ke Luna. Sekarang keadaan rumah jauh lebih tenang. Walaupun Luna dan Damar masih mencari rumah, tapi tidak ada lagi perdebatan dengan ibu. Sayangnya, mereka belum juga menemukan rumah yang cocok antara lokasi, luasan bangunan, harga dan jangka waktu cicilan. Terkadang mereka berkonsultasi dengan Cakra atau ibu mengenai rumah yang baru mereka lihat.
Dan sesekali juga dengan om Gusti. Karena...
“Om Gusti masih suka ke sini, Nay?”
“Abis Ibu keluar rumah sakit sampe sembuh kaya sekarang, dia malah tambah sering ke sini. Ada aja alesannya.” Jawab Kanaya dengan mulut penuh.
Beberapa bulan lalu, saat Cakra sedang di Jakarta untuk urusan kantor, dia mendapati om Gusti yang sedang asyik mengobrol dengan ibu di meja makan, ditemani beberapa potong grilled cheese. Pemandangan yang cukup aneh, karena selama bertahun-tahun Cakra tidak pernah melihat om Gusti main ke rumah ini tanpa ada ayah atau dirinya. Dan akhirnya dia mengetahui juga rencana Luna dan Kanaya.
Tanggapan Cakra waktu itu hanya tertawa, karena dia memang sudah mengenal om Gusti cukup lama, sejak ayah masih ada.
“Mau lo interogasi dulu nggak, Mas?”
“Wah, kalo yang ini nggak usah. Gue udah sering diinterogasi dulu sama dia, waktu PDKT sama sepupunya Mirza.”
“Oh, gitu. Dulu pacarnya ada di mana-mana?” Ucap Tara yang tiba-tiba ada di belakang mereka sambil membawa batagor panas yang baru digoreng.
“PDKT doang, sayang. Aku nggak pacaran."
“Bilangnya sih PDKT, Mbak. Tapi bawain mawar sampe seratus biji. Belinya di Barito tuh, waktu tukang bunga masih pada jualan di sana. Mas Mirza kan pernah cerita waktu aku main ke rumahnya sama Mbak Luna. Mbak Luna aja sampe ngakak dengernya."
“Aku aja, yang mau dilamar, cuma dikasih bunga tiga tangkai, Nay.”
“Sayang, itu kan ... dulu."
Melihat wajah Cakra, Kanaya merasakan akan ada bahaya mendekatinya. Tanpa pikir panjang, dia langsung mendekati anak-anak kecil yang sedang berebutan sendok.
“Kita makan batagor di depan TV aja yok!”
“Ayoookkk, Tanteee!!!”