Happily Ever After
Cakra dan Luna mungkin pernah menjadi remaja umur 20-an. Jatuh cinta, PDKT, putus, naksir orang baru, selingkuh, diselingkuhi, ketemu yang click, pacaran bertahun-tahun sampai akhirnya memutuskan untuk menikah.
Tapi mereka berdua belum pernah merasakan berumur 60 tahun. Sehingga mereka tidak mengerti, bagaimana ibu dan om Gusti bisa memutuskan menikah setelah dekat selama tiga bulan saja.
Mungkin apa yang dirasakan mereka berdua berbeda, dengan yang dirasakan laki-laki dan perempuan seumuran anak-anaknya. Mungkin karena mereka memang sudah mengenal lama dan merasa cocok. Atau mungkin juga karena mereka sudah pernah menikah, sehingga mengerti apa saja yang harus dipikirkan.
Sebelum menikah, mereka sempat mengunjungi makam ayah, orang yang paling mengenal om Gusti.
Walaupun mereka berdua sempat menjadi bahan gosip ibu-ibu beli sayur, tapi ibu tidak perduli. Bahkan ibu sendiri yang mengkonfirmasi berita tersebut kepada mereka, langsung di depan si tukang sayur. Tentunya dengan bantuan tante Anna, sebelum dia pindah ke rumah anaknya di Menteng (ternyata uang anaknya memang sebanyak itu).
Dalam satu tarikan nafas, tiga bersaudara ini akhirnya memiliki ayah baru ... eh bukan ayah, tapi bapak. Karena menurut ibu, panggilan ayah hanya milik Bayuaji. Mereka tidak menikah secara besar-besaran. Cukup di masjid dan aula dekat kompleks perumahan mereka.
Sementara ibu tersenyum dengan cincin pernikahan barunya, Kanaya dan Harsa membayangkan sebuah rumah di surga karena telah berhasil membuat pasangan itu menikah.
Setelah menikah, ibu dan bapak akan tinggal di rumah ibu bersama Kanaya. Sementara rumah bapak akan menjadi rumah Mirza dan keluarganya, jika suatu saat nanti mereka pulang dari US.
Sementara itu, Luna dan Damar sudah menempati rumah baru mereka yang letaknya persis di belakang rumah ibu. Luna harus mati-matian menolak rencana ibu untuk membuat pintu yang menghubungkan kedua rumah mereka. Apa gunanya tinggal terpisah di rumah yang berbeda, jika masih ada connecting door?
Soal furniture dan kitchen set?
Mereka bisa bernafas sejenak, karena tante Anna meninggalkan perabot lamanya di rumah ini. Dia berkata masih harus banyak berfikir akan ditaruh mana atau digunakan untuk apa semua furniture lamanya, karena rumah anaknya sekarang sudah full furnish.
Jadi untuk sekarang, Luna dan Damar cukup membawa barang-barang lama mereka dari rumah ibu ke rumah baru ini. Sambil mengumpulkan uang untuk membeli furniture milik mereka sendiri dan merenovasi rumahnya seperti rencana Damar. Entah mengapa tante Anna sebaik ini.
.
Hidup Baru
Sabtu pagi, terlihat Luna yang berjalan dengan hati-hati sambil memegang perut, dan menggandeng Ruby dengan tangan satunya. Ternyata benar perkiraan Luna. Rumah baru, kamar baru, membuat Ruby akan memiliki adik baru. Kehamilannya yang baru memasuki trimester pertama, membuat perut Luna belum terlihat membuncit.
Melihat pintu rumah ibu yang terbuka, Luna langsung masuk ke dalam dan menemukan si pemilik rumah sedang sarapan di meja makan.
“Bu, aku titip Ruby ya. Aku mau kontrol.”
“Berangkat sendiri?”
“Iya. Damar tiba-tiba harus ke proyek. Tapi nanti ketemu di sana. Aku naik taxi online kok."
“Sayang, kamu di sini dulu ya sama Eyang sama Opa. Ibu mau ke rumah sakit sebentar sama Adek.” Luna mengelus rambut Ruby yang diikat dua.
“Iya, Ibu.”
“Pinter.”
Bapak yang sudah selesai sarapan, langsung menggandeng tangan Ruby. “Main sama Opa aja yuk? Temenin Opa kasih makan ikan.”
“Mauuu!”
“Pak, Luna titip Ruby ya. Jangan dikasih main air kebanyakan. Lagi kurang sehat badannya.” Luna mencium tangan bapak.
“Kamu beneran berangkat sendiri? Nggak mau Bapak anter? Atau minta tolong Harsa lah. Kasian kamu.”
“Nggak, Pak. Nggak apa-apa. Aku bisa kok.”
“Hati-hati. Kalo Damar nggak bisa jemput, telefon Bapak ya.” Ucapan Bapak dijawab dengan anggukan kepala oleh Luna. Sudah lama dia tidak mendengar pesan seperti itu dari laki-laki lain selain Cakra dan Damar.
Bapak lalu mengajak Ruby ke kolam di tengah rumah. Semua ikan hias bapak yang sebelumnya ada di aquarium rumahnya, sudah dipindahkannya ke kolam ini.