Kreator & Kacamata - HAZAKURA

Kosong/Satu
Chapter #1

Chapter 1 - Tahun Penghajaran Baru

Dia seketika meraih kerah seragamku dengan kedua tangan. Seperti banteng yang menyeruduk, dia mendorong badanku ke arah dinding, dan hasil yang sama sekali tak diharapkan pun terjadi. Dhuak! Keras bunyi benturan itu membuat mataku seketika terkejap.

“Jangan sok-sokan kau, ya!” ujarnya sangar, “Sudah kubilang, kau tidak pantas berada di dekatnya!”

Mendengar itu, aku kembali membuka mata. Nyeri di kepala memang masih belum hilang, tapi ucapan itu mau tak mau membuatku sadar. Sayang sekali, aku tak berani menatapnya. Membayangkan muka garang itu menatap tajam saja aku sudah muak soalnya.

Mendapatkan serangan di hari pertama tahun ajaran baru bukanlah hal yang menyenangkan, tentu saja. Akan tetapi, kalau melihat dari sejarah masalah yang kualami ini, rasa sakitnya bukan yang pertama.

Untuk memahami duduk perkara ini, ada baiknya aku mengajak kalian kembali ke beberapa jam sebelumnya. Ketika aku masih merasa kalau kedamaian yang kujaga selama sekitar tiga bulan tidak akan berubah sampai lulus nantinya. Ketika aku mengira kelopak sakura di taman sekolah melambangkan kedamaian dunia baru di tahun ketiga.

Aku, Satou Sakunosuke, berangkat ke sekolah pagi ini dengan sedikit harap dan cemas. Selagi di kereta, aku menyumpal telinga dengan earphone yang melantunkan “Musim Semi” dari Empat Musim Vivaldi1. Karena, tahulah, musim semi .... Well, pun intended.

Kabel yang menggantung di telinga itu tak kusimpan setelah keluar dari stasiun. Kendati harus masuk ke arus pejalan kaki yang terdiri dari sesama siswa, aku lebih nyaman berdiri sendiri dalam dunia pribadi saat ini. Tidak ada tegur sapa dengan orang-orang yang tak dikenali. Tentu hal itu akan berbeda kalau sudah sampai di kelas nanti, bertemu dengan teman sekelas yang habis ini akan di­-shuffle ruangannya lagi.

Tahun ketiga merupakan level puncak dari dunia SMA. Ini adalah kesempatan terakhir untuk free roam menikmati masa-masa yang dikatakan seperti mawar warnanya. Kecuali, dirimu memang penyuka abu-abu dari lahir sana.

Aku tidak yakin berada di pihak yang mana. Berperilaku seperti Oreki Houtarou2 yang hemat energi sebagai sisi abu-abu mungkin terlihat keren, tapi pada kenyataannya, hal itu tidak cocok buatku. Selalu mencoba terlihat berbunga-bunga pun melelahkan juga. Aku jadi berpikir, stereotip ekstrovert dan introvert itu tidak terlalu berlaku lagi karena semua terasa rancu.

Yang ingin kukatakan adalah, entah bagaimana pun, secara alami, kau akan menikmati hidupmu. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana jadinya nanti, jadi, berjalanlah saja dulu. Bahkan orang biasa sepertiku bisa mendapatkan pengalaman tak terduga. Seperti—bukan bermaksud sombong, ya—mendapatkan pacar yang luar biasa bobot, bibit, dan bebetnya. Atau setidaknya, begitulah yang kebanyakan orang kira mengenai dirinya.

Sekolah sudah dekat, maka kuputuskan untuk melepas penyumpal dari telinga dan menaruh mereka di saku celana. Saat itulah, dari sela dua orang yang berjalan di depan, aku mendapati sosoknya.

Ia berjalan dari arah berlawanan. Menggantungkan tas di bahu kanan, selagi kedua tangan menjaga dan membolak-balik halaman dari buku yang ada di hadapan. Berjalan sambil membaca buku bukanlah hal yang patut ditiru karena berbahaya, tapi kelihatannya itu bukan masalah baginya.

Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, sesekali tampak tertiup angin dari balik badan yang semampai. Kadang aku bertanya-tanya, apa ia melangkahkan kaki tepat di depan kaki lain secara sengaja atau tidak, tapi hal itu jadi membuatnya terlihat seperti model rasanya. Meski masih agak jauh, aku bisa tahu bibirnya yang berwarna seperti somei yoshino3 itu mengembangkan senyum. Tetapi, yang selalu jadi fokus adalah kacamata berbingkai hitam yang melindungi netranya itu.

Sosok yang kuceritakan ini bernama Fujiwara Amane. Ia merupakan salah satu siswi paling populer di sekolah, karena dari sisi akademik dan atletik, ia termasuk dalam top ranking-nya. Tampilan yang rupawan dan tindak-tanduk menawan, ditambah latar belakang keluarga konglomerat, membuat orang-orang di sekitar menjulukinya “Nona Sempurna”. Akan tetapi, sebab suatu perkara, aku sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan “si Kacamata”.

Orang-orang mungkin setuju saja dengan penyebutan Nona Sempurna-nya. Tapi, aku tidak yakin mereka akan setuju dan terima begitu saja dengan fakta lain, yaitu bahwa dia memilihku sebagai kekasihnya. Yah, mau bagaimana, itu kenyataannya.

Lihat selengkapnya