Banyak siswa yang sudah berhamburan keluar kelas. Tidak ada kegiatan resmi setelah ini, jadi kebanyakan dari mereka pasti hendak pulang sekarang. Sebagian lagi, masih ada yang menetap di sekolah dulu. Mereka kemungkinan besar adalah pengurus OSIS yang membantu persiapan Upacara Penerimaan Murid Baru besok. Kalau tidak, para anggota klub yang menyiapkan diri untuk tampil, demi menarik minat kouhai1 supaya jadi generasi penerus mereka.
Aku tidak termasuk ke dalam golongan yang penuh semangat begitu. Makanya, aku juga mau pulang sekarang. Mengantongi sebelah tangan di saku, aku berjalan kembali ke kelas baru. Menuju ke satu dari dua pintu masuk, kemudian membukanya. Tanpa kusangka, aku berpapasan dengan si Kacamata lagi. Akan tetapi, ia ada di pintu lain di seberang sana, baru saja keluar bersama beberapa siswi lainnya.
Macam tadi pagi, ia memberikan lirikan singkat beserta senyum lebar sesaat sebelum berjalan pergi menyusuri lorong. Huh, seperti biasa, ya. Aku memang bermaksud terbiasa dengan ini, tapi kalau diingat-ingat lagi rasanya menyedihkan juga.
Saat muka kuluruskan kembali, lamunan di kepala hilang lagi. Aku baru mau melangkah masuk ke kelas buat mengambil barang-barang, tapi masalah lain malah kembali menghadang.
“Minggir kau!” seru siswa itu sambil menyenggol pundak kiriku.
Aku diam saja, sembari meliriknya sejenak. Dia rupanya juga melirik balik dengan tatapan jijik yang kalau boleh kukata, terlalu dibuat-buat. Ya ampun, ada apa dengan hari ini.
Tidak ada niatan mencari masalah, makanya aku langsung memutar kepala dan kembali meneruskan hajat. Tas di sisi meja kuambil, kugantungkan di pundak sebelah kanan. Sebelum keluar, aku memastikan tidak ada yang tertinggal di laci meja. Setelahnya, baru aku melangkah ke pintu yang dilewati si Kacamata tadi.
Belum lama melangkah ke lorong, aku melihat siswa yang menyenggolku tadi. Dia bersantai menyandarkan badan dengan kedua siku bertumpu di jendela. Seperti tadi, dia memandangku dengan raut tak suka. Aku memutuskan untuk segera pergi dari sana.
Selagi berjalan, aku mulai yakin akan sesuatu. Rentetan masalah hari ini dapat memuncak begitu cepat adalah karena siswa tadi. Namanya adalah Imai Shuya, salah satu dari teman Kurogane Kaname yang kutahu. Dia masuk ke kelas yang sama denganku, dan aku yakin, dialah yang memberitahu Kurogane soal diriku menjadi pengurus kelas bersama si Kacamata. Makanya Kurogane tiba-tiba saja menyergapku tadi. Tidak salah lagi, aku diawasi mata-mata sekarang ini.
Huh, kenapa juga jadi begini ....
Masih sambil menggerakkan kaki, aku berpikir lagi. Apa yang terjadi hari ini, mungkin tak akan ada kalau saja si Kacamata tidak masuk ke kelas yang sama denganku. Hubungan rahasia kami dapat berjalan lancar tanpa masalah selama tiga bulan sebab kami berada di kelas yang terpisah sebelumnya. Kendati sesekali aku menemuinya di luar sekolah, hal itu baik-baik saja sebab tidak kelihatan teman-teman lainnya.
Lagipula—sekali lagi—kenapa pula dia harus berpindah ke jurusan IPS coba? Ingin rasanya aku merogoh saku, mengeluarkan smartphone, dan menghubungi gadis kaya itu yang sekarang entah ada di mana. Menanyakan satu dua pertanyaan terkait pilihannya meninggalkan jurusan IPA di tahun ketiga.
Tapi ... yah, agaknya itu pun tidak perlu terburu-buru sekarang. Seperti yang pernah kusangkakan dulu, orang-orang kaya punya banyak kesempatan mengambil jalan yang mereka mau. Privilege mereka memang ada untuk digunakan, jadi andai kata dia tidak sreg dengan kedua penjurusan di SMA ini, masih ada yang lainnya nanti.
Aku jadi mau minum sesuatu yang dingin. Tampaknya pernyataan kalau otak merupakan organ yang memerlukan paling banyak energi memang benar, ya. Kesampingkan fakta bahwa yang kupikirkan tadi bahkan bukan pelajaran, tetap rasanya lelah sekali.
Sebelum melangkah pulang betulan, kuputuskan mampir ke salah satu mesin penjual otomatis yang ada di dekat gedung olahraga. Penempatan yang bagus, kalau kataku. Siswa jadi bisa langsung beli minum setelah gerak badan memeras keringat. Sesekali petinggi sekolah memikirkan hal yang tepat, ya.
Saat itulah aku melihatnya. Seorang gadis berambut terkuncir kuda yang memanggul tas dan suatu benda panjang di bahu kirinya. Dia sedang menekan-nekan tombol di mesin penjual otomatis, memilih minuman tampaknya. Namun di tengah-tengah hal tersebut, dia menyadari keberadanku dan menengok.
Aku baru mau menyapa dengan lambaian tangan, tapi dia buru-buru mengembalikan fokus ke mesin penjual, menekan-nekan tombol lain. Saat aku semakin dekat, terdengar bunyi benturan, atau benda jatuh dari mesin itu. Si gadis membungkuk dan menjulurkan tangan ke mesin itu, mengambil dua buah minuman dingin dari dalamnya.
“Ini,” celetuknya sambil menyodorkan satu botol. Minuman cokelat dingin yang sering kuminum. Kuterima dengan senang hati.
“Terima kasih, ya, Shiki,” balasku. “Tahu saja kalau aku mau beli ini.”
“Tentu saja aku tahu. Kalau soal dirimu, aku tahu.”
Bersama-sama kami membuka minuman kami. Ngomong-ngomong, yang diminumnya sekarang adalah sekaleng soda stroberi. Kami menenggak beberapa kali berbarengan, sebelum akhirnya mengembus napas lega.
Gadis ini namanya Shiki Yuuko. Seorang temanku yang berbeda kelas. Dia adalah anggota klub kendo, kelihatan dari shinai2 yang dibawanya sekarang. Aku menebak, dia antara mau, atau baru selesai latihan, karena rambutnya yang panjang itu masih dikucir sekarang. Sayang, ketika kutanyakan hal itu, jawabannya bukan kedua-duanya.
“Tadi cuma briefing untuk peragaan besok ternyata. Aku jadi menyesal membawa shinai sekalian.” Setelah melontarkan penyesalan ringan itu, Shiki meraih kuciran ekor kudanya, melepaskannya dengan satu tangan, dan membiarkan rambut hitam panjang itu jatuh tergerai.