Berlari bersama angin selatan, memotong embusan rona kebiruan
Raga dan hati menyatu, berpacu~
Mendengarkan musik di setiap kesempatan bagiku sudah jadi macam keharusan. Apalagi, kalau dalam situasi aku sedang sendiri. Seperti saat ini, ketika aku memacu langkah menyusuri sungai Hirosegawa di sore hari, sambil mendengarkan Minami Kaze (Angin Selatan) yang dinyanyikan oleh Shimokawa Mikuni1.
Setelah tiga bulan menekuni sedikit olahraga, aku mulai merasakan sensasi unik dan manfaatnya. Seperti lirik reff lagu ini, diriku yang bergerak sedikit lebih cepat dari biasanya serasa memotong partikel-partikel di udara. Semakin aku merasakannya, semakin aku ingin melaju, hingga sesekali timbul perasaan ringan bagai hendak terbang ke angkasa.
Aku lari empat kali seminggu, dan waktu yang sering kupilih adalah sore hari karena tidak ada kegiatan sehabis sekolah. Rekor jarak terjauhku saat ini adalah dari rumah ke area taman kota dekat sungai Tone dua kali, lantas kembali. Kasarannya sekitar lima kilo lah. Masih belum terlalu mengesankan, memang, tapi setidaknya aku sudah bisa berlari tanpa memaksakan diri.
Kulirik layar smartphone yang kugenggam di tangan kanan. Pace lari yang terpampang di aplikasi menunjukkan angka normal. Aku mematikan loop pada pemutar musik, membiarkan Minami Kaze kali ini habis, dan berganti ke lagu berikutnya setelahnya.
Sebentar lagi aku akan sampai di checkpoint pertama, yaitu taman kota. Sebelum masuk ke sana, aku memutari dulu Green Walk yang ada di sisi utara. Mengamati beberapa orang yang juga melakukan olahraga kecil di lapangan hijau itu, juga orang lainnya yang tampak cuma bersantai saja menikmati pohon sakura yang berganti warna. Kemudian, melewati kolong jalan layang, aku menuju selatan ke taman kota.
Taman dengan kolam lebar di tengahnya ini lebih sepi dari Green Walk di sisi utara. Langkahku terhenti, kendati masih kuat buat melaju lagi. Dalam hati, aku merasakan dan mendambakan kedamaian yang entah dari kapan tadi dipancarkan tempat ini.
Damai ... ya. Baru saja, instrumental pembuka lagu Binary Star2 yang mendinginkan terdengar. Aku suka lagu ini, tetapi, ada baiknya aku mengistirahatkan telinga sekarang juga. Telepon beserta earphone-nya kumasukkan ke saku jaket, lantas embusan napas berat kudenguskan.
“Sepertinya Yang Wen-li3 memang benar soal sejarah manusia. Tidak ada kedamaian abadi di dalamnya,” gumamku, mewakili, sekaligus merangkum situasiku saat ini.
Aku cuma mau kehidupan SMA yang damai dan biasa-biasa saja, macam diri sendiri ini. Kehadiran si Kacamata dalam duniaku memang sedikit membuat ombak awalnya. Aku jadi berpapasan dengan lebih banyak orang dan kejadian yang tak kukira-kira akan datang. Sempat hal itu terasa mengganggu dan menguras tenaga, akan tetapi, setelah dilihat lagi, kenangan yang tercipta tidak buruk juga. Damaiku, jadi sedikit lebih berwarna.
Namun ternyata, ada saja yang betulan tak terima dengan hal itu. Hubungan seorang manusia biasa dengan sosok yang dipandang luar biasa, apakah memang tidak pernah bisa mulus? Aku bertanya-tanya.
Sedari pertama bertemu si Kacamata, aku sudah berpikir demikian pula. Dekat dengan gadis luar biasa sepertinya bisa membawa perhatian yang mungkin saja tak diharapkan. Akan tetapi, kenapa datangnya kekhawatiran itu benar-benar terlambat? Aku sudah telanjur dekat dengannya. Setelah melihat lebih banyak sisi gadis itu, aku mempertimbangkan, dan akhirnya membuat janji dengannya. Dengan si gadis yang kalau dilihat lagi, tidak jauh beda juga dengan manusia lainnya.
Diriku maupun ia, tidak terima kalau dipisahkan sekarang. Kendati demikian, muncul terang-terang juga bukan pilihan terbaik yang bisa didapatkan. Walhasil, jadilah ini. Situasi di mana kami harus sembunyi-sembunyi. Situasi di mana aku harus sebisa mungkin menjaga jarak dan perilaku, sebab di sekitarku ada mata yang mengintai. Ada tangan dan kaki yang selalu siap melayangkan tinju dan tendangan menjuntai. Para penentang.