Kreator. Hanya satu orang yang memanggilku begitu, karena nama itu, adalah salah satu dari perjanjian awal kami. Saling memberi nama. Dia memberiku nama itu, dan sebagai ganti, aku memberinya nama Kacamata.
Penyerangku ternyata adalah si Kacamata. Kekasihku sendiri. Aku masih diam terbelalak di tanah berumput, sampai kemudian ia mengulurkan sebelah tangannya, membantuku berdiri.
Sekarang, aku bisa merasakan aliran adrenalin berkurang. Selepas mengembus napas tenang, tanganku bergerak untuk menepuk beberapa bagian baju, membersihkannya dari kotoran. Ah, sial, kenapa juga aku pakai warna putih hari ini. Nodanya susah hilang.
Setelah beberapa saat, aku baru tersadar akan sesuatu. Bahwa apa yang barusan kualami, bukanlah hal yang wajar. Setelah anggapanku soal siapa si penyerang ini salah, kenyataan jawaban jadi terasa lebih buruk dari yang kukira. Si Kacamata ini, tadi ...
“MAU MEMBUNUHKU, KAH?!” seruku segera, dengan nada tinggi yang rasanya sudah lama tak kupakai lagi. Kendati demikian, si Kacamata cuma bergeming saja. Senyum khas di wajahnya tidak luntur pula.
Beberapa detik kemudian, ia baru menyanggah, “Membunuhmu? Mana mungkin, Kreator. Sebab itu aku melepaskan kuncian di bawah hitungan lima detik.”
Di bawah lima detik, katanya. Aku tidak yakin berapa detik dicekik tadi, tapi yang pasti, kunciannya kuat sekali. Apalagi dia menarik badanku ke belakang, sampai-sampai tidak ada celah melawan.
“Terus, kau tadi mau menginjak biji-ku juga, kan?!” lanjutku, masih kesal.
“Seperti yang kuajarkan padamu, Kreator, mengincar kelemahan lawan adalah dasar pertarungan. Aku tadi yakin kalau dirimu bisa menghindari serangan tersebut, dan terbukti benar bukan?” Sayangnya, tidak, penjelasan dasar maupun keyakinanmu tidak akan jadi validasi atas percobaan penghancuran masa depanku tadi.
“Lalu, bisakah setidaknya kau jangan mengincar lever?” Untuk kali ini, aku menurunkan intonasi. Lelah rasanya, badan dan hati ini sekarang. “Aku pernah dengar ada yang mati karena kena pukul levernya.”
“Ya. Serangan ke hati memang pasti melumpuhkan lawan. Skenario terburuknya, sampai mati.”
“Lantas kenapa kau mencobanya padaku?”
“Daripada mencoba, aku akan menyebutnya sebagai menunjukkan.” Kacamata menyodorkan kembali telepon genggamku, yang mana segera kuterima dan memasukkannya ke saku. Saat mata kami kembali bertemu, tatapannya jadi selembut ucapannya kemudian.
“Kupikir ... kau membutuhkan gerakan itu nanti.”
Lever merupakan salah satu organ terbesar dalam tubuh manusia, dan apabila ia terkena trauma, kemungkinan besar organ lain di sekitarnya juga terkena dampaknya. Itulah mengapa pukulan ke lever dikatakan sangat berbahaya. Akan tetapi, keampuhannya buat menjatuhkan musuh ke tanah tidak diragukan lagi. Jujur, aku tadi sudah takut akan mati—atau setidaknya sekarat di taman ini.
Aku mengembus napas lega. Pada akhirnya, bisa dikatakan hampir tidak ada yang terluka, mengesampingkan segi psikisku yang terkejutkan dan teringat trauma masa lalu. Karena masih mau meminta kejelasan, aku meminta si Kacamata untuk duduk dulu di salah satu bangku taman. Kami duduk agak berjauhan, supaya kalau ada yang melihat tidak akan timbul kecurigaan.
Pertama, aku bertanya pasal alasannya ada di sini. Dengan santai dia menjawab, “Tentu saja, olahraga. Aku tahu dirimu sering melewati taman kota buat lari, jadi sekalian.”
Wait, what? Jadi kau bilang, kau lari dari rumahmu sampai kemari? Kalau itu benar, berarti si Kacamata berlari menempuh jarak lebih dari delapan kilometer, belum termasuk saat pulang nanti. Olahraga hariannya sudah selevel maraton, ya. Walau aku tahu kemampuan atletisnya sangat mumpuni, tetap saja, itu terdengar nekat buatku.
Baiklah, berikutnya, yang kedua. Aku tanya kenapa dia tiba-tiba menyerangku dari belakang. Dia membalas, “Tadi itu untuk tes. Tes untuk melihat kesiapanmu terhadap serangan kejutan. Kita hampir tidak ada kesempatan melakukannya, kan?”
Tes, ya. Sialan memang. Kepercayaan diriku jadi turun rasanya.
Selain lari, olahraga yang kutekuni tiga bulan belakangan ini adalah bela diri. Sekali setiap minggu, aku berkunjung ke rumah si Kacamata untuk menerima pelatihan di sana. Tentu, secara sembunyi-sembunyi. Selama ini masih dasar-dasar saja memang, tapi kupikir itu akan cukup berguna. Sesekali aku juga latih tanding dengan si Nona Sempurna, dan percayalah, dia juga jago soal ini. Cuma, ya ....
“Hasilnya, ... agak buruk, ya. Miss pertamamu adalah, tidak mengawasi sekitar, makanya aku bisa menyelinap dengan mudah dari belakang. Yah, soal itu memang butuh latihan yang lebih keras sih, tapi tetap izinkan aku menyorotinya.”
Yak, terima kasih sudah mengakui kalau hal itu cukup sulit. Setidaknya aku tahu kalau kemampuan deteksi memang belum levelku. Di satu sisi, aku berharap kau tidak menerapkan pelatihan di luar kemampuan seperti barusan lagi, Kacamata.
“Lalu, seharusnya saat dicekik, kau juga coba menyerang kepalaku tadi, setelah sadar tidak bisa menggapai badan.”
“Maaf saja, ya. Aku panik tahu,” kelitku segera.
“Ya. Itu adalah kesalahanmu yang lainnya, Kreator. Sekali panik, kau jadi tidak fokus dan cuma menggila jadinya. Kekuatanmu tidak keluar sepenuhnya. Selain itu, bukankah aku sudah berkali-kali menegaskan kalau tungkai terkuatmu adalah kaki? Lantas kenapa saat mencoba menyerang kau malah meninju dulu?”
“Maaf, itu refleks.”
“Baiklah. Kalau begitu sedikit pesan, Kreator. Jikalau kau mendapati serangan kejutan seperti tadi, apalagi kalau dihadang lebih dari satu orang, jangan ragu buat mengincar titik lemah, ya. Memang masih banyak poin yang kudu dibenahi, akan tetapi, tadi itu perjuangan yang hebat.”