Kreator & Kacamata - HAZAKURA

Kosong/Satu
Chapter #5

Chapter 5 - Melangkah Majulah

“Kaname.”

Panggil seorang pria dengan rambut acak-acakan ketika memasuki ruang keluarga. Nada bicaranya biasa saja, akan tetapi, itu membuat si pemuda empunya nama masam mukanya.

Si pemuda bernama Kaname itu awalnya tidak terlalu peduli, tidak mau. Tetapi, setelah melihat sebuah kotak kecil dikibas-kibaskan si pria, ia tiba-tiba berdiri dari sofa.

“Aku menemukannya di cucian. Punya siapa ini?” tanya si pria datar, merujuk pada kotak di tangannya. “Yang jelas bukan punyaku, sih.”

Kaname mengambil langkah menuju si pria. Tanpa basa-basi tangannya mencoba merebut kotak kecil itu, tetapi dihalangi melulu.

“Kembalikan!” tuntut Kaname, sambil terus coba merebut dan mengejar langkah si pria. Mereka hampir seperti bergulat di situ, berputar-putar di antara meja dan sofa. Kendati demikian, si pria tidak melepaskan muka datarnya, berbanding terbalik dengan si pemuda yang sudah memerah padam rautnya.

Si pria mendorong Kaname untuk menciptakan jarak. Setelah mundur beberapa langkah mendekati jendela besar, ia berkomentar, “Jadi memang punyamu, ya?”

“Kau tidak ada hubungannya!” sungut Kaname sebagai balasan. Kedua tangannya sudah mengepal keras sekarang, memberi tanda kalau bogem berisi emosi bisa melayang kapan saja. Akan tetapi, dia memilih tetap diam dulu saat ini.

“Tentu saja ada! Selain karena aku anggota polisi yang bertugas mengawasi orang supaya tidak melanggar aturan, aku adalah kakakmu.” Setelah melontarkan sanggahan, si pria pun melanjutkan, “Dan kukatakan saja, merokok itu tidak baik buatmu yang masih muda.”

Kata-kata tadi masuk semua ke telinga si pemuda. Namun bukan menenangkannya, melainkan semakin membuat panas hatinya. Selain karena semua tadi itu diucapkan dengan nada tak peduli bak omong kosong, Kaname merasa bahwa orang yang mengaku sebagai kakaknya itu tidak pantas mendiktenya begitu.

“Kau sendiri juga merokok padahal,” cibir Kaname, yang mana dengan cepat dibalas oleh si pria dengan, “Berbeda denganmu, aku sudah dewasa sih, ya.”

“Dewasa ....” Kedua kakak beradik ini saling mengadu pandang sekarang. Cahaya mentari pagi belum terlalu lama menerangi, akan tetapi, ruangan yang mereka tempati sudah terasa panas berapi. Terutama bagi Kaname, yang merasakan semacam ketidakadilan atas kehadiran kakaknya di rumah saat ini.

“Orang dewasa memang seenaknya, ya. Jarang di rumah tapi banyak mengaturnya. Kau, Ayah, dan Ibu tidak jauh beda.” Walau masih dengan nada mencemooh, Kaname mengubah raut wajahnya sedikit lebih tenang. Ia mengalihkan mata ke sudut ruangan, seakan sudah muak melihat perangai pria dewasa di hadapannya.

“Yah, begitulah hidup orang dewasa.” Si pria membalas datar.

Hening tiba-tiba. Tidak ada lagi yang membuka mulutnya. Dalam diam, mereka beradu pandang. Kaname dengan kedua tatapan yang tajam, namun tak mampu menusuk masuk ke mata datar si pria yang tampak kelelahan.

Yang memecahkan udara canggung itu adalah dering telepon. Pendaran cahaya persegi panjang terlihat menembus kain celana pendek si pria. Buru-buru ia menyelukkan sebelah tangan untuk mengambil benda yang terus bergetar itu. Di sisi lain, sebelah tangan satunya memasukkan kotak rokok ke saku lainnya.

“Pokoknya, aku menyita benda ini.”

Sang kakak mengangkat panggilan yang masuk, mendekatkan telepon ke telinga. Ia berbalik, menuju jendela yang juga berlaku sebagai pintu dan membukanya. Setelah keluar ke beranda, pintu ditutupnya kembali, menyamarkan suara pembicaraannya.

Ya, Kurogane di si ... Jangan keras-keras kalau bicara di telepon!

Kaname sudah tidak peduli lagi. Dengan langkah berderap ia beranjak dari ruang keluarga. Mendaki tangga, kemudian masuk ke kamarnya di lantai dua. Di dalam ia segera melepas celana olahraga panjangnya, berganti dengan seragam yang digantung sembarangan di kursi. Di atas kaus ia pakaikan kemeja, lalu dasi, diakhiri dengan jaket almamater hitam.

Tanpa mengecek apa saja yang ada di dalam tas, Kaname memanggulnya dan kembali turun. Kakaknya yang baru menyelesaikan panggilan tidak ia hiraukan, dan langsung lurus saja ke pintu depan.

Sang kakak yang penasaran pun mengikuti. Ketika pemuda itu tengah memakai sepatu, ia bertanya, “Kaname, bukannya kau libur hari ini? Upacara Penerimaan Siswa Baru, ‘kan?”

Kaname tidak menjawab di sana. Melainkan, dia langsung menerjang pintu dan keluar begitu saja. Daun pintu hampir terbanting kalau sang kakak tidak menangkapnya cepat-cepat. Saat itulah keduanya terdiam sejenak di tempat mereka berdiri. Mereka menyadari ada tamu pagi ini.

“Selamat pagi, Kaname, Masayoshi-san!” sapa seorang pria berjas dari luar pagar. Wajahnya putih halus, memancarkan aura muda. Rambutnya klimis disisir ke belakang, memberikan gambaran rapi yang menyenangkan. Juga, senyum tipis di bibir yang menampilkan kepercayaan diri. Sebagai pelengkap, di sampingnya ada seunit mobil sedan hitam yang setara mulusnya.

“Yo~ Pagi, Rikiya-san!” sahut sang kakak, Masayoshi, sembari melambaikan tangan. Kemudian, ia meneruskan, “Ada apa datang pagi-pagi?”

“Ah, kebetulan. Aku ingin memberikan sesuatu ke Kaname ... hampir saja dia beranjak pergi, ya.” Si pria berjas yang dipanggil Rikiya itu berbicara sambil menatap Kaname.

Lihat selengkapnya