Kreator & Kacamata - HAZAKURA

Kosong/Satu
Chapter #6

Chapter 6 - Hari Ini

Hari ini, keluarga Satou menyambut hari baru seperti biasa. Bunyi alarm menjadi check point pertama kami. Serentak bangun, membasuh muka, kemudian melakukan apa yang kudu dilakukan di waktu pagi. Ibu memasak sarapan di dapur. Ayah menyiapkan setelan jasnya buat kerja. Aku ... melakukan sesuatu di kamarku. Sementara adik laki-lakiku, kembali masuk ke kasur dan tidur dulu.

Panggilan dari Ibu adalah check point kedua, di mana kami akan turun ke dapur bersamaan tak lama setelahnya. Ngomong-ngomong, sarapan hari ini adalah sup miso dan salmon. Andai di kulkas masih ada persediaan pisang, maka aku akan menganggap hari ini sebagai hari yang lengkap.

Yang pertama menaruh sumpit adalah Ayah, karena harus segera berangkat ke kantor. Kemudian di urutan kedua ada adikku. Meski bangun paling terakhir, dia selalu keluar rumah awal. Sementara itu, aku dan Ibu menyelesaikan sarapan hampir bersamaan. Aku agak bersantai hari ini.

“Kalau begitu, tolong cuci piringnya, ya,” titah Ibu, sembari dirinya bangkit dari kursi.

“Oke,” balasku santai.

Beginilah kondisi keluargaku. Keluarga yang normal-normal saja. Tiga laki-laki dan satu wanita, rukun-rukun saja meninggali sebuah rumah berlantai dua di dekat Stasiun Maebashi.

Dulu sekali aku pernah dengar Ibu khawatir dengan kondisi kedua anaknya laki-laki semua. Karena alasan tidak ada teman sesama wanita, dan juga cemas kalau-kalau tidak ada yang mau membantu pekerjaan rumah. Tapi akhirnya kecemasan itu sirna. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi aku paling sering kebagian pekerjaan rumah. Ayah kerap pulang sore, dan—entah kenapa—adikku juga. Jadi, mau bagaimana. Namun sebab itu pula, bisa dikatakan aku akrab dengan Ibu jadinya.

Kendati demikian, tetap ada beberapa hal yang aku tidak nyaman kalau harus membicarakannya dengan Ibu. Salah satunya itu ....

“Oh iya, bukannya Saku hari ini libur? Kenapa pakai seragam?”

Pertanyaan Ibu membuatku tersentak sesaat. Tanganku yang mau membereskan peralatan di meja jadi diam, dan meski tidak ada kaca, aku sudah tahu wajah apa yang kubuat sekarang. Aku melirik ke Ibu sungkan, dan rupanya ia sudah menatap dengan senyum jahil terkembang.

“Mau ketemuan dengan Amane-chan, ya?” tanyanya menggoda.

Inilah bahasan canggung yang sulit kubicarakan dengan Ibu. Pasal gadis. Dari segelintir orang yang tahu hubunganku dengan si Kacamata, Ibu adalah salah satunya.

Awalnya aku mau merahasiakan semua masalah ini dari Ibu juga. Soal aku yang dihajar habis-habisan oleh sesama siswa, dan juga soal punca perkara yang bersumber pada seorang gadis. Aku ingin diam, atau mengalihkan topik itu dari Ibu, sebab sudah pasti ia akan khawatir setengah mati pada kehidupan sekolahku. Aku tidak mau itu. Hanya saja, rasanya aku seperti menganggap remeh insting seorang ibu.

Tiga hari setelah tahun baru, Ibu melaksanakan “interogasi”. Ketika kami sedang berdua saja di ruang keluarga, menghangatkan diri di dalam kotatsu bersama, Ibu bertanya. Suara yang begitu lembut, seperti salju yang sesekali turun di atas kota, bertanya padaku.

Saku menyembunyikan sesuatu dari Ibu, kan?” Begitu tanyanya, sembari memandangku dengan wajah tersenyum, namun dibalut ekspresi setengah sedih dan setengah memelas.

Aku tetap mencoba mengelak, tentu saja. Tapi pada akhirnya, aku terpaksa menceritakan semuanya. Soal apa yang terjadi akhir Desember lalu. Soal luka yang mendadak ada di sekujur tubuhku. Tentu, nama Kurogane dan si Kacamata jelas tidak bisa kusembunyikan juga.

Di akhir penjelasanku yang lirih dan tak bersemangat, Ibu bertanya-tanya kenapa aku sampai harus bohong. Bilang kalau aku bertemu dengan sekelompok preman saat pergi ke mini market, dan ditolong oleh si Kacamata. Kalau dipikir lagi, itu tidak sepenuhnya salah, sih. Aku cuma tidak menyertakan nama preman itu, juga latar belakangnya.

Tapi, bukan Saku yang mulai duluan, kan? Saku tidak memukul duluan, kan?” Hanya setelah menanyakan itu, dan aku menggeleng sebagai tanda konfirmasi, Ibu menunjukkan raut muka agak lega.

Habis tahu putranya mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari kawan seangkatan, jelas, tindakan berikutnya sudah bisa ditebak. Keesokan paginya, Ibu menelepon pihak sekolah, dan membuat janji bertemu. Secara diam-diam, setelah jam sekolah yang dingin usai, Ibu datang ke sekolah, dan kami bertemu dengan beberapa sensei.

Lihat selengkapnya