“MEN1!”
Seruan bernada tinggi itu mengekor pada satu bunyi benturan yang keras. Aku sempat dibuat waswas melihat tangkai bambu kekuningan itu melengkung jauh ketika menghantam pelindung kepala peserta di seberang. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa. Shiki akhirnya mendapat perolehan skornya.
Tiga wasit menurunkan bendera merah mereka. Hitungan skor sekarang sama-sama satu. Hantaman ke pelindung badan berikutnya akan menjadi penentu, siapa yang menenangkan ronde pertandingan peragaan ini. Kendati cuma buat tontonan demi menarik minat para murid baru yang mengerumuni dojo, tetap tekanan itu terasa. Tekanan memacu gas di lap terakhir menghadapi raja balap jalanan, semacam itu.
Kedua peserta menarik diri ke garis putih penanda titik mula. Mereka memasang kuda-kuda yang sama, dengan ujung shinai terhunus satu sama lain. Aku melihat punggung gadis itu sangat berbeda dari biasanya. Di sini, aku melihat Shiki layaknya seorang kesatria.
Tanpa aba-aba, kedua petarung itu kembali menerjang ke depan. Kain merah yang terikat di simpul talian baju pelindung Shiki bak terlecut, menyelaraskan gerakan tiba-tibanya. Dia mengincar men sekali lagi, tetapi berhasil ditangkis oleh sang lawan. Situasi berbalik, dan counterattack pun datang. Seperti tadi, serangan itu tertepis lagi. Dengan cepat kedua petarung terjebak dalam tsubazeriai2 saat ini. Semua terjadi cepat sekali.
Sesekali terdengar suara teriakan dari keduanya. Melepaskanku dari kenyataan bahwa yang bertarung di arena kotak itu adalah si Shiki. Aku yakin ini bukan pertama kali mendapati Shiki dalam latih tanding begini, hanya saja, ada bagian dari dirinya yang terasa berbeda hari ini.
Waktu tidak terasa. Kendati demikian, para anggota klub kendo yang berperan sebagai pengamat tentu mencatat masa jalannya pertandingan ini. Bentrokan tak berjarak para peserta sudah dirasa terlalu lama, dan seorang wasit mengarahkan kedua bendera ke depan, mengaba-aba supaya mereka memecah kuncian terlebih dahulu, baru mulai lagi.
Shiki menyerang pertama lagi. Membuatku bertanya, apakah dirinya memang seagresif ini? Tiap serangan tidak mendarat di tempat seharusnya, sampai akhirnya mereka berputar-putar saja di arena. Tarian para kesatria.
Kaki-kaki telanjang kedua gadis itu seraya bergerak menimbulkan decitan, menambah riuh seruan kiai dan gema tepuk tangan. Dojo ini luar biasa hidupnya. Biasanya aku akan langsung membuka catatan di smartphone, dan mulai mencatat ide dan poin suasana meriah yang tidak tiap hari kurasakan ini. Akan tetapi, penampilan dari orang yang kita kenal memang selalu menarik mata, bagaimanapun juga. Makanya, aku hanya diam di tepian, sambil melipat tangan di dada. Melihat dengan saksama tarian apa lagi yang bakal diperagakan oleh mereka.
THAK!
Bunyi benturan terdengar lagi. Aku tidak melihat siapa mengenai siapa. Tetapi, ketika para wasit mengangkat bendera merah, tiga-tiganya, sudah jelas tadi itu adalah serangan kemenangan dari sisi mana. Tepuk tangan semakin riuh, menggelegar. Seruan seru menyelingi kemudian. Kedua petarung kembali ke garis mula, memberi hormat, kemudian mundur ke sisi masing-masing.
Dia berjalan ke tepian. Menaruh shinai, melepaskan pelindung tangan, lalu helmnya. Menampakkan wajah berpeluh dengan rambut panjang terikat. Selepas menyibak kuncir itu beberapa kali, dia melihatku dengan senyuman bahagia. Rona yang kalau kuingat, agak jarang ditampilkan olehnya. Shiki saat ini tak cuma jadi kesatria, tapi juga seorang juara.
***
“Otsukaresan3.”
Sambil masih berbalut gi4 dan hakama5, Shiki membaringkan tubuhnya di atas bangku, bersebelahan dengan mesin penjual otomatis. Selepas ronde tandingnya usai, Shiki menyelinap keluar dari dojo demi mengambil rehat. Tidak peduli kami sedang ada di samping gedung olahraga, tidak peduli murid-murid baru masih berlalu lalang, dia merebahkan dirinya begitu saja di atas bangku itu.
“Ya. Aku capek sekali.” Penat dapat terasa dari nada bicaranya. Embusan napas berat mengikuti kemudian, sembari dia memejamkan mata.
Dari mesin penjual otomatis, kutarik keluar sebotol minuman berperisa mixed berries. Kalau tidak salah Shiki suka rasa ini, jadi aku sengaja membelinya dan memberikannya pada si gadis yang kelelahan. Hitung-hitung, sebagai balasan cokelat kemarin juga.
“Ah!” serunya terkejut kala kutempelkan botol dingin itu ke pipinya. Well, maaf, aku tidak bisa menahan godaan iseng itu.
Sedikit kesal karena dijahili, muka Shiki jadi cemberut. Namun dia kemudian bangkit, menerima pemberianku, dan meminumnya berteguk-teguk sampai puas. Embusan napas yang keluar dari mulutnya kemudian memberitakan sebuah kelegaan.
“Lagian, kau juga terlalu bersemangat, sih. Aku jadi merasa kau kerasukan Herakles atau Spartakus tadi.” Kulayangkan komentar sebisanya, atau harus kukatakan, sejujurnya. Sebab, memang sempat aku berpikir demikian. Shiki tiba-tiba menjadi kesatria pejuang yang senantiasa merangsek maju, macam pahlawan yang kusebut barusan.
“Aku cuma mau kelihatan keren saja. Apalagi, kalau di depanmu.” Shiki membalas, entah kenapa dengan sedikit nada macam sedih atau kecewa.
Melihat ruang terbuka di bangku, aku pun ikut mendudukkan diri. Setelahnya, ku kembali melanjutkan perbincangan dengan bertanya, “Bukankah target penampilanmu adalah para murid baru?”
“Awalnya,” sahut Shiki, sembari menatapku dengan senyum. “Sampai tiba-tiba kau muncul begitu saja.”
“Jangan mengatakannya seolah aku ini semacam makhluk gaib, dong~”
Mendengar protesku, Shiki tidak bisa menahan tawa. Dia kemudian lanjut menjelaskan, kalau memang aku sering muncul dan hilang begitu saja tanpa disadari orang-orang. Ada yang juga berpendapat sama katanya. Hawa keberadaanku agak tipis, menurut mereka. Setelah mendengar responsku selanjutnya, dia kembali tertawa.
Shiki rasanya benar-benar berubah sekarang. Tentu, seperti yang telah kukatakan sebelumnya, dia berubah menjadi lebih baik, dan aku turut senang karenanya. Hanya saja, ada waktu di mana aku akan melihat ke masa lalu. Menengok tepian atap gedung sekolah itu, di mana aku pertama bertemu dengannya.
Bukan pertemuan yang menyenangkan. Aku memergokinya hendak melompat dari puncak gedung itu, dan secara ajaib bisa menangkapnya di saat-saat terakhir, tepat sebelum dia terjun menghujam aspal. Benar, Shiki adalah penyintas tindak bunuh diri.