Kreator & Kacamata - HAZAKURA

Kosong/Satu
Chapter #8

Chapter 8 - Obat

Tampaknya Ernest Hemingway1 pernah berkata, “Tak ada kawan yang setia, seperti sebuah buku.” Aku akan percaya hal itu, tapi secara parsial saja. Buku memang tidak akan melayangkan komentar, entah itu buku ilmu, cerita, puisi, atau malah kosongan tanpa isi. Namun itu dulu. Maksudku, zaman sekarang ada 1001 cara untuk menyinggung dan tersinggung. Seakan, segala yang ada di dunia ada buat menyakiti—terutama hati manusia yang rapuh ini.

Aku akan percaya sepenuhnya pada buku kosongan. Mereka putih bersih, dan siap menerima pemikiranku apa adanya. Mereka juga tidak bertanya aku mengantarkan kata dengan pensil kayu atau pena bulu, menilai bukanlah tugas mereka. Mereka hanya menerima, dengan badan mereka, sepenuhnya.

Di dunia ini ada metode yang disebut expressive writing. Sederhananya, kau menuliskan isi hati—pikiran serta emosi, terkait suatu peristiwa traumatis demi mencoba berdamai dengannya. Sepertinya metode itu sudah jadi pendampingan terapi psikologis, semenjak dikenalkan oleh James W. Pennebaker2 di tahun 80-an silam. Sekadar menulis pun bisa jadi obat.

Yah, pembicaraanku meluber ke mana-mana. Yang ingin kukatakan di sini adalah, aku hobi menulis, terutama menulis cerita. Kemudian, bahwa hobi menulis ini kerap jadi obat di kala hatiku terasa kurang sehat. Entah itu saat sakit kepala sebab terlalu banyak halu, atau karena gelombang negative overthinking, zaman sekarang mungkin disebut begitu.

Jari jemariku suka sekali menari kala di otak terlantun musik imaji. Kalau dulu di atas tatakan kertas, berduet dengan pensil dan bolpen yang keras, sekarang jari-jari langsingku menari beramai-ramai di atas papan keyboard yang terasa renyah dan empuk. Ditemani pancaran cahaya dari layar monitornya, lantai dansaku zaman sekarang tidak lagi suram. Laptop bekas ini lah kawan baruku dalam membuat dunia halu.

Malam ini, aku kembali ke genre lama. Setelah menikmati semesta kehidupan sehari-hari yang damai, aku mencoba berenang lagi dalam kolam absurditas dan gambaran tidak menyenangkan. Gore dan body horror. Aku tidak terlalu suka melihatnya, tapi kalau menuliskan, yah, aku sering melakukannya. Di kamarku ini, aku mau membebaskan diri.

“Seorang murid SMA membalas dendam ke pembunuh keluarganya. Klise, sih, tapi mari kita coba saja.”

... Pemuda itu berusaha menyalakan korek api di tangannya. Mencoba sekali, dua kali, tiga kali. Tiap kegagalan sepele yang sengaja diciptakannya, seakan dibuat-buat demi menakuti sang target yang terikat di kursi. Badannya menggigil, entah sebab kedinginan diguyur bensin, atau ketakutan melihat datangnya pembalasan. Mulut yang tersumpal itu tak akan mengatakan apa-apa. Si pemuda tak akan membiarkan sang target menarik kembali sisi manusianya, dengan memohon ampunan maupun provokasi emosi lainnya. Si pemuda malam ini adalah pembalasan. Percikan api neraka yang mencuat ke permukaan. Ketika berpikir demikian, korek pun berhasil dinyalakan. Tanpa basa-basi, bola api kecil itu ia lempar ke arah targetnya. Memantik reaksi kimia dan melahirkan kobaran yang berkali lipat besarnya ....

Sampai di situ, aku berhenti sejenak. Tangan kujauhkan dulu dari papan ketik, kemudian menggaruk dagu sambil menatap layar. Terbersit heran pada apa yang baru kutuliskan. Kenapa aku membuat si protagonis membakar target balas dendamnya, ya ...

Ada yang bilang bahwa karya seorang seniman merupakan gambaran hatinya sendiri. Jadi, apakah pemandangan mengerikan tersebut adalah perwujudan emosi dalam hatiku saat ini? Karena terlalu sibuk menyusun kata, aku tidak sadar apakah itu disengaja atau tidak. Hanya saja, sudah telanjur ditulis, jadi aku tak melakukan apa-apa. Sayang juga kalau dihapus.

Atau ... aku hanya tidak berani—terlalu malu buat mengakuinya?

Bahwa api itu memang ada di dalam diri ini. Diawali oleh bola kecil yang menari-nari kalau diterpa angin, namun tiba-tiba jadi semakin panas dan ganas. Bola menyala itu berubah menjadi seperti ujung kembang api. Meletup-letup di tiap percabangan lidahnya. Dan kalau sudah bicara soal kembang api, perasaan soal akan meledak dan semacamnya tidak bisa terhindarkan.

Bahwa perasaan yang sama itu lah yang memaksaku mengambil sesi pengobatan malam ini, mengesampingkan fakta aku sudah jarang melakukannya. Di mana aku akan menuangkan segala yang ada ke medium lain berupa kata-kata, memilin mereka, hingga jadi untaian kalimat yang kusuka.

Manusia senang memberi nama, dan pada hakikatnya, semua yang ada dan akan ada di dunia ini pasti diberinya nama. Aku sudah tahu sebutan dari api kembang api yang kubicarakan ini. Lagi pula, itu bukanlah emosi yang jarang terasa. Hanya saja, tetap, aku tidak berani menuliskannya begitu saja.

Saat kucoba berkontemplasi sebelum lanjut mengetik kata, smartphone yang berada di sebelah laptop menyala. Ada panggilan masuk, dan bukan sekadar panggilan biasa. Itu panggilan video. Ketika tampak nama penelepon, buru-buru kuterima panggilan itu. Ponsel kuambil, lantas kusandarkan di pojokan layar laptop.

Sesaat setengah badanku sempat terpampang di layar telepon, lantas digantikan oleh tampilan seorang gadis dalam balutan gaun tidur berwarna putih mutiara. Rambutnya yang gelap itu dikepang agak longgar, disampirkan di atas bahu kiri. Sedikit terlihat cahaya kekuningan menerpa sosoknya, memberikan kesan hangat yang kontras dengan layar laptop di hadapanku saat ini.

Selamat malam, Kreator,” sapanya membuka perbincangan, “apakah dirimu senggang masa ini?” Suara lembut nan familier, terdengar jelas meski melalui mesin, menghantarkan perkataan dengan sopan.

“Ya. Ada apa, Kacamata?” balasku bertanya, memastikan ada urusan apa sampai gadis ini melakukan panggilan video. Walau sudah tiga bulah lebih berpacaran, kami hampir tidak pernah melakukan panggilan video. Bahkan telepon biasa pun jarang. Lagi pula, tiap akhir pekan kami juga menghabiskan waktu bersama.

Terdapat satu dua perkara yang ingin kubicarakan denganmu,” jawab si Kacamata. Ia mengatakan itu dengan lugas, tetapi, terpintas sedikit kecanggungan pada akhir kalimatnya. Ikutan tak enak juga rasanya.

Aku tidak menjawab, melainkan menatapnya lekat. Pikiranku sudah telanjur fokus pada topik yang maunya kuhindari, tapi tak bisa lepas. Apakah itu ...

Hari ini ... ada yang menyatakan perasaannya padaku.”

... ya, yang mana lagi kalau bukan itu, ya.

Sambil mendengus panjang, aku menarik badan. Bersandar pada kursi, lantas tanpa sadar menggaruk kepala belakang. Kacamata yang melihat pun menaikkan alisnya, kelihatan agak cemas. Hal itu makin terasa saat ia melanjutkan bicara.

Tentu aku menolaknya, Kreator,” cetusnya buru-buru.

Aku masih belum menjawab. Hal itu membuat si gadis memiringkan kepala, merasa makin tak enak kelihatannya. Senyumnya yang sempat sirna kembali lagi, tapi ditemani kerutan di dahi, yang membuat lengkungan itu bak bertuliskan kekhawatiran.

Apa kau marah, Kreator?

Tidak! Tentu saja tidak. Aku tidak punya alasan untuk marah atas situasi yang dihadapinya. Pihak laki-lakinya yang main menyatakan perasaan, dan Kacamata sudah melakukan hal yang seharusnya. Hanya saja, entah, aku merasa tidak siap dengan ini. Dengan perasaan yang timbul siang tadi, dan juga saat ini setelah diingatkan kembali.

Lebih parahnya lagi, aku baru ingat juga, kalau Kacamata pernah menyinggung hal ini kemarin. Kalau aku terus main sembunyi-sembunyi, bisa saja aku bakal terus melihat kekasihku ditembak berkali-kali oleh orang lain.

Setelah dipikir lagi, situasi ini menyedihkan sekali, ya. Lebih tepatnya, diriku ini. Begini tak mau, begitu juga tak mau.

“Biar kutebak.” Aku mulai menjawab. Memajukan kembali badan, dan meyangga dagu dengan sebelah tangan. Di sela perkataan, kucoba membuat senyuman. Terpaksa memang, tapi lebih baik daripada tidak. “Si bendahara OSIS?”

Lihat selengkapnya