Soal pertanyaan ‘yes or no’-nya kemarin, si Kacamata tidak membiarkanku menjawab sendiri. Dirinya pun menyatakan pendapat dengan lugas, bahwa apabila kondisi kami dibalik, maka ia akan sangat cemburu. Sungguh, aku masih heran—atau tidak tahan melihat sisi blak-blakannya itu.
Namun kemudian, dengan suara berkelakar ia menambahkan, sangking cemburunya ia mungkin bisa membunuhku supaya tak ada wanita lain yang bisa memiliki. Sungguh, hal itu saja aku tidak mau kalau jadi nyata. Tidak perlu ada Katsura Kotonoha1 di dunia nyata.
Sekarang sudah hari Rabu. Awal tahun ajaran baru yang sesungguhnya bagi semua. Kukatakan begitu, sebab hari ada lebih banyak manusia dengan tampilan serupa di kereta. Tentu tidak semuanya dari sekolahku, tapi tetap saja. Kami anak-anak muda yang disiapkan demi mengolah—atau bisa jadi, diolah dunia masa depan.
Melihat wajah-wajah baru yang resmi menjadi adik kelasku, entah mengapa aku jadi berpikir demikian: akan ada banyak hal yang terjadi nanti. Jelas, aku tidak tahu apa dan bagaimana itu. Tapi seperti yang sudah sering terdengar, masa depan siapa yang tahu.
Dikelilingi wajah-wajah baru, yang harus dilakukan cuma seperti biasa. Duduk diam memangku tas, dan menyumpal telinga. Lagu pilihan pagi ini memang bukan klasik, tapi salah satu favorit. Triangler fight on stage ver. yang dinyanyikan oleh May’n dan Nakajima Megumi. Versi asli yang dibawakan Sakamoto Maaya memang fenomenal, tapi dinamika yang ditimbulkan oleh perbedaan suara kedua penyanyi itu tak kalah hebatnya. Seakan aku bisa melihat persaingan Sheryl dan Ranka secara langsung di depan mata.
Aku tidak ingat pernah membuat playlist Macross2 di pemutar musikku, tapi sekarang lagu sudah berganti ke Totsugeki Love Heart. Saat itu, kereta sudah sampai di dekat Stasiun Katakai. Earphone kulepas di sini, sebelum nanti berusaha keluar bersama dalam kerumunan.
Kereta berhenti sepenuhnya. Para penumpang mulai bersiap. Kemudian, pintu terbuka. Aku keluar terakhir, melihat kerumunan tadi tercerai di depan pintu kereta, langsung pergi bak kelopak bunga yang gugur kena sapu angin.
Waktu kakiku menapak di platform, tampak seseorang berdiri tepat di hadapan. Dia seakan mau naik ke kereta, meski itu aneh, sebab orang ini memakai seragam dari sekolahku. Belum lama aku berpikir demikian, kepala orang yang tertunduk itu naik perlahan.
“Shiki?” celetukku ketika sadar.
Jujur, aku tadi tidak menyangka kalau orang ini adalah Shiki. Akan kukatakan, mungkin karena gaya rambutnya berbeda hari ini. Ujung rambut hitam panjangnya itu dikepang, lalu disampirkan di bahu kanan. Tapi tunggu, kenapa tiba-tiba harus kepang? Kacamata kemarin juga begitu.
Yah, memang tidak bisa dipungkiri kalau gaya rambut itu terlihat indah. Aku menyukainya. Baik si Kacamata maupun Shiki kelihatan bagus dengan model itu. Tapi kebetulan semacam ini terasa aneh bagiku. Selain itu ....
“Hei, kau baik-baik saja?” tanyaku, agak cemas setelah melihat wajahnya lebih teliti. Mukanya agak pasi, dan tampak samar-samar bercak merah di kedua pipinya.
“Shiki?” panggilku kedua kali. Karena dari tadi dia tidak menyahut, aku pun refleks mengguncang lengannya sedikit dengan genggaman. Mata kami akhirnya berjumpa. Semangat yang sempat terlihat kemarin tak tampak sisanya hari ini.
“Saku.” Bibir pucat itu akhirnya bergerak, menyebut namaku. Tapi kemudian mereka terkatup lagi, rapat. Pandangannya juga kembali terlewat.
Jeda yang muncul serasa memaksaku bicara. “Kau kenapa?”
Tanpa kusadari, peron ini sudah sepi. Hanya tersisa kami berdua di sini. Kereta pun mulai jalan lagi, entah sejak kapan tadi. Kendati sadar demikian, fokusku masih tertuju pada Shiki. Melihat kondisinya sekarang aku jadi cemas sekali. Bukan tanpa alasan. Sebab ... kelihatannya dia seperti kembali ke dirinya yang dulu lagi. Secara tiba-tiba, seperti kembali ke awal lagi.
Shiki yang pucat pasi, selalu lemas, selalu layu. Aku yakin masih menatap dirinya yang sekarang, tetapi bayangan dirinya yang dulu seperti menelannya perlahan. Shiki yang diam. Aku cemas karena itu.
“Aku ....” Akhirnya dia mulai bicara lagi.
“Ya?” sahutku cepat.
“Aku ... menyukaimu.”
....
Aku tidak terlampau tumpul sampai harus meminta Shiki mengulang pengakuannya. Lagi pula tadi dia mengatakannya dengan jelas. Juga, aku tidak terlalu terkejut dengan hal ini. Pengakuan suka dari seorang gadis, seumur hidupku, ini yang kedua. Dan pada kenyataannya, aku pernah mengira kalau Shiki bakal jatuh hati padaku. Tapi itu dulu, dulu sekali.
Hanya saja, kali ini rasanya berbeda. Shiki mengatakan hal itu sambil membuang muka. Sedari tadi dia terus melihat kakinya. Genggamanku pada lengan kirinya masih belum lepas, dan dapat kurasakan tubuh gadis lebih hangat dari orang biasa. Juga, bercak merah tadi ....
Dia mungkin habis latihan pagi dan belum sempat pendinginan? Mana ada! Lantas buat apa dia pakai seragam dan berdiri menunggu di stasiun pagi-pagi begini? Itu pun kalau Shiki memang menungguku, sih, yang mana itu pun bahasan tidak penting.
“Shiki, apa kau sedang sakit?” Aku langsung lompat ke konklusi yang bisa kutarik, dan menanyakannya ke Shiki. Kukira, karena sakit—demam, kelihatannya—Shiki mengigau saat ini.
Dia seketika mengangkat kepala dan membantah, “Tidak!”
“Tapi badanmu terasa hangat, wajahmu juga rada pucat.” Aku yakin dalam mengatakan itu selepas melihat wajahnya sekali lagi. Seperti Ibu, tanganku spontan hendak menyentuh dahinya, mencoba memastikan apakah gadis ini betulan demam atau hanya perasaanku saja.
Sayang, dia malah menggeleng keras. Bersamaan dengan itu, dia berseru, “Tidak!”
Aku menyapu pandang ke sekitar, meyakinkan diri bahwa tidak ada orang lain di sekitar sini. Setelah gaya rambut yang serupa, aku mulai merasa Shiki juga ikutan jadi agak manja saat ini, persis si Kacamata kemarin. Hanya saja, bukan dalam artian yang baik.
“Shiki, aku khawatir padamu tahu!”
“Kalau Saku sebegitu cemasnya,” ujarannya terpotong di tengah. Lantas Shiki bergerak, memutar badannya dan menyambar tangan kananku. Menahannya erat dengan kedua lengan, lekat dengan badannya yang terasa hangat. “Gandeng aku sampai ke sekolah.”
“Hei!” seruku, tapi sepertinya itu tidak cukup buat dianggap sebagai keengganan. “Bagaimana kalau ada yang melihat kita?!”
“Saku khawatir dengan kondisiku, ‘kan? Kalau begitu biarkan aku menggandengmu sampai ke sekolah supaya aman!”
“Tapi, Shiki ...,” aku berbisik, mendekatkan muka ke kepalanya yang menempel di bahuku. “Kau sudah tahu, ‘kan, kalau aku berpacaran dengan Kacamata. Aku tidak bisa melakukan ini.”
Bersamaan dengan ucapan itu, aku teringat perkataan Kacamata kemarin malam. Bagaimana kalau situasi yang dihadapi Kacamata kemarin dibalik? Tak kusangka kalau akan terjadi betulan di keesokan harinya begini.
Kacamata sudah mengatakannya dengan sangat jelas, kalau ia akan sangat cemburu. Maka dari itu, setidaknya, aku ingin bertindak selayaknya seorang kekasih saat ini. Melakukan apa yang dilakukannya kemarin hari. Hanya saja ....
“Tidak ada.” Suara Shiki kecil sekali. Aku menunggu sebentar, dan kemudian dia mengulanginya. “Fakta seperti itu tidak ada! ... ‘kan ....”
Aku kaget sekaligus heran sekarang. Kaget, karena suara hentakannya tadi itu. Kalau tidak diikuti kata penanda konfirmasi di belakang, aku cuma bisa menganggap Shiki menyangkal perkataanku sepenuhnya. Tapi dia sendiri sudah tahu kalau aku berhubungan dengan si Kacamata.
“Maksudku ...,” Shiki melanjutkan, “fakta itu memang tidak ada yang boleh tahu, ‘kan? Harus disembunyikan dari orang-orang, ‘kan?”
“Hah?” Bingung tak lagi terbendung di sini.