Kreator & Kacamata - HAZAKURA

Kosong/Satu
Chapter #11

Chapter 11 - Lakukan Sesuatu!

Strike one!

Seruan sensei di belakang terdengar, seraya aku mencoba mengembalikan keseimbangan. Walau tongkat pemukul ini cuma satu kilogram, kalau dikenakan full swing, badanku yang tidak terbiasa bisa terbawa juga, ya. Aku agak kaget.

“Ayunanmu terlalu tinggi, Saku,” celetuk catcher di belakangku. Dia melemparkan bola berwarna kuning itu ke pitcher yang ada di sisi berlawanan sana. “Atau mungkin kau tidak melihat bolanya? Matamu mulai minus, ‘kah?” Dia tersenyum di akhir kalimat tersebut, membuatku agak kesal.

Yang menjadi catcher ini adalah Azai Tokio, temanku sedari SMP. Suatu keberuntungan aku bisa terus-terusan satu kelas dengannya. Karenanya–bukan bermaksud sombong atau sok tahu–aku cukup memahami kawanku yang satu ini. Sepengetahuanku, dia suka dan jago bermain sepak bola. Tapi siapa sangka, dia juga cukup terbiasa dengan ini, ya. Anak yang sedari awal hobi olahraga memang berbeda.

“Jangan bandingkan dengan veteran macam kalian, dong!” balasku ketus, sambil kembali memasang kuda-kuda.

Berkat helm di kepala, mataku terlindungi dari pendaran matahari yang hampir mencapai puncaknya. Lapangan ini terasa panas, seperti kulit kami yang bermandikan cahaya sedari tadi.

Yang berdiri agak jauh di depanku sana ialah Yanamoto-kun, jagoan bisbol kelas yang punya rupa terlampau muda. Baby face, begitu sebutannya kalau tidak salah. Tapi, meski berpenampilan menggemaskan, lemparannya tak bisa diremehkan. Aku jadi merasa tidak beruntung karena harus berhadapan dengan dia. Lagi pula, dari awal aku juga sudah merasa kurang sreg mengetahui sofbol jadi olahraga perdana kami semester ini.

Aku kurang pandai olahraga. Meski akhir-akhir ini mulai melatih tubuh, aku tetap tidak terbiasa dengan olahraga tim seperti ini. Berbeda dengan lari atau angkat beban, dalam olahraga permainan tim begini, tidak bisa kalau cuma bertanding buat diri sendiri. Semua harus untuk tim. Dan di saat yang sama, kekalahan diri sendiri dapat menjadi kekalahan tim juga.

Dengan enggan aku mencoba sebaik mungkin di sesi latihan dasar. Saat sensei meminta kami untuk langsung coba main, aku maju ke posisi yang sudah ditentukan dengan hati dan tangan bergetar. Buat anak laki-laki, mungkin ini terasa menyedihkan, ya. Tapi memang beginilah situasiku.

Sekarang, aku kelewatan satu pukulan. Kalau strike tiga kali aku akan keluar dan menjadi pemain pertama yang mati di tim. Satu pelari yang sudah ada di base pertama memperhatikanku sekarang, mungkin bertanya-tanya apakah aku bisa memukul bola di dua kesempatan yang tersisa.

“Mau kupelankan lagi lemparannya?” seru Yanamoto-kun dengan wajah tersenyum. Itu bukan senyum meremehkan. Dia cuma orang baik yang memahami kemampuan kawannya dalam cabang olahraga yang ia tekuni. Tapi maaf, aku harus menolak itu.

“Tidak usah!” balasku, mencoba terdengar yakin.

Ini cuma permainan. Ini cuma permainan. Pemikiran itu masih belum lepas dari kepalaku, hanya saja, tetap kesal rasanya kalau harus gagal. Di satu sisi, aku juga mau berkembang. Aku ingin tahu, seberapa banyak tubuh ini sudah berkembang, setelah hal-hal yang kulalui di bawah bimbingan si Kacamata.

Ya. Aku tidak menyukai ini. Hanya saja, aku tetap harus melakukan sesuatu.

“Yanamoto, ingat, jangan pakai trik!” Sensei mengulang peringatan yang sempat ia berikan di awal permainan. Si pitcher mengangguk kuat di sana.

Aku masih payah dalam memukul, tapi tidak mungkin juga untuk tidak memukul. Kalau aku mengincar bunt, itu sama saja tidak menaikkan kemungkinan berhasil. Kalau begitu, tetap full swing. Mengawasi datangnya bola, mengerahkan sekuat tenaga guna memukulnya, dan berharap tidak terpental ke foul ground.

Yanamoto bersiap melempar, aku mengeratkan genggaman pada gagang pemukul. Seperti tidak mau memberi banyak waktu berpikir, ia melemparkan bola itu dengan kuat. Melayang, melintasi jarak belasan meter, menuju ke arahku.

Pemukul kuayunkan sekarang juga. Agak lebih rendah, mengingat komentar Tokio sebelumnya. Seketika, terdengar bunyi benturan khas yang bernada tinggi. Aku terkejut, dan segera setelahnya, bola itu masuk ke dalam pandanganku, melambung, melayang jauh ke depan.

Fair ball!

Aku masih agak terkejut di sini, tapi kemudian, instingku aktif dan memaksaku bergerak. Tongkat pemukul kulepaskan, dan kaki kugerakkan. Ini adalah bagian lain yang menentukan aku akan mati atau tidak.

Pelari pertama sudah meninggalkan base, dan aku menuju ke sana sekarang. Aku tidak mencoba mengejar ke mana bola tadi pergi, karena itu cuma akan mengacaukan fokus. Lari! Lari! Lari!

Berteriak demikian di dalam hati, tiba-tiba saja, aku sudah menginjak di base pertama. Safe. Di ekor mataku samar-samar kelihatan pelari pertama kurang beberapa langkah ke base berikutnya. Kemudian, terdengar bunyi semacam benturan. Penjaga base pertama baru saja menerima lemparan, ya.

“Aku tidak tahu kau bisa lari secepat itu!” cetus di penjaga base setelah melempar bola ke pitcher.

“Kalau soal lari, aku cukup percaya diri sekarang,” balasku.

Di bangku tunggu, terdengar suara lain. Ada yang kaget seperti penjaga base, ada juga yang bersorak melihat pelari lain berhasil maju. Di saat yang seperti ini, aku bisa merasakan tujuan utama dari kegiatan ini, yaitu untuk senang-senang. Walau tetap diawasi sensei dan diambil nilainya, ini tetaplah cuma permainan.

Tak lama kemudian, pemukul baru masuk. Permainan dimulai kembali, dan dia berhasil memukul bola dari Yanamoto-kun dengan sekali coba. Bersamaan dengan itu, aku dan pelari pertama maju ke base berikutnya. Sayang, pelari ketiga ini harus out karena tidak sempat lari ke base pertama sebelum bola datang.

Setelah ada yang keluar, aku jadi agak cemas. Tapi ini wajar. Lagian, ini juga masih permulaan. Setelah pergantian pemukul lain, kegagalan lain, dan tiap usaha mati-matian dari kedua belah tim untuk mencapai tujuan mereka, timku mendapatkan skor duluan. Waktunya change.

Tidak tahu kenapa, aku diberi glove dan dijadikan penjaga base pertama. Posisi yang kalau kupikir punya beban agak banyak karena diharapkan bisa mematikan pelari duluan, tapi setelah dipikir lagi, penjaga base yang lain juga punya tugas yang sama, jadi ya sudah. Lagi pula, yang menentukan posisinya juga sensei.

Tokio menjadi picther. Dia sudah sering lempar melempar bola juga kalau jadi kiper, jadi kupikir masuk akal. Mumpung permainan belum mulai, aku menerawang ke sekitar. Memastikan siapa jadi apa sekali lagi, dan ada di mana posisi mereka saat ini.

Pitcher, oke. Catcher, oke. Third, oke. Short stop, oke. Second ... shit.

Setelah semua semangat yang keluar dan terasa tadi, niatku agak meredup. Karena terlalu fokus pada diri sendiri yang khawatir apakah bisa memukul bola atau tidak, aku lupa kalau Imai jadi setim denganku. Sekarang, dia berdiri di dekat base kedua. Tiba-tiba, aku punya firasat buruk tentang ini. Dan benar saja ....

Play ball. Selepas jeda beberapa detik, Tokio melemparkan bola sekuatnya. Pemukul mengayun, dan mengenai bola yang segera terpental ke arah base kedua. Si pelari langsung serbu ke area jagaku. Dengan kaki yang menempel di plate, aku menjulurkan tangan dan mencondongkan badan ke arah si Imai, bersiap menangkap lemparannya lantas mematikan pelari pertama. Tapi sayang, bola itu tidak terbang ke arah glove.

Yang kuingat berikutnya adalah, Tokio yang teriak-teriak tak jelas di lapangan seperti orang marah, dan hidung yang berdarah. Ini sakit sekali.

***

“Darahnya sudah berhenti?”

“Iya, Sensei. Sudah tidak apa-apa.”

“Kalau begitu, Sensei tinggal makan siang dulu, ya.”

Walau telanjur mengucapkan “tidak apa-apa”, aku masih tidak bisa melepaskan sumpalan tisu di sebelah lubang hidungku. Tak tahu kenapa, tapi rasanya lebih nyaman begini. Kemudian seperti katanya, sensei meninggalkanku sendirian terduduk di salah satu ranjang dekat jendela.

Setelah apa yang terjadi di lapangan, aku segera diangkut ke UKS. Aku sama sekali tidak memperhatikan sekitar karena terfokus pada rasa sakit dan darah yang mengucur dari lubang hidungku. Sampai di ruang UKS, Nasu-sensei yang kelihatannya sedang bersantai langsung terperanjat. Begitupun diriku, yang mendapati tangan berlumuran darah.

Syukur disyukur, cedera ini tidak seburuk yang dikira. Darah memang keluar agak banyak, tapi hidungku tidak patah. Ini cuma mimisan anterior1 biasa, kata sensei. Kendati demikian, aku tetap disuruh istirahat di UKS. Duduk di ranjang, dan memastikan badan tegap sebisa mungkin. Apakah permainan tetap dilanjutkan? Entahlah. Yang pasti, suasana pasti tidak menyenangkan lagi.

Tokio—dari suaranya—kelihatan marah besar tadi. Samar-samar aku mendengar dia berargumen dengan Imai. Dia yang membantu Taiga-sensei mengantarku ke UKS membeberkan tuduhan bahwa Imai sengaja melempar bola ke mukaku. Tapi di situ, Taiga-sensei dengan segera membantah dengan nada kurang senang. Beliau bilang, jangan asal sebut sebelum tau situasi masing-masing. Kalau begitu ... mungkin teman-teman sedang menerima konseling khusus di lapangan, ya.

Hanya saja ... ya ampun, UKS lagi, ‘kah. Bisa-bisanya aku masuk kemari dua kali di hari yang sama. Spontan aku bertanya-tanya, apakah Shiki masih ada di sini? Apakah mungkin dia masih tertidur di salah satu ranjang?

Beberapa saat aku mengira-ngira. Kapan bel penunjuk waktu berbunyi? Apakah di ruangan ini aku sendiri? Lalu apa yang dilakukan Imai dan yang lainnya sekarang ini?

Berniat mencari jawaban untuk pertanyaan kedua, aku bangkit dari ranjang. Hendak mengecek ranjang lain yang tadi tidak sempat kelihatan. Kalau ada Shiki dan dia sudah bangun, setidaknya aku bakal dapat teman bicara, sembari menunggu istirahat makan siang.

Namun, baru berpindah dua langkah, suara ketukan dari arah jendela mengagetkanku. Tirainya tertutup, jadi aku tidak tahu ada apa di baliknya. Yang jelas, itu tadi adalah suara ketukan di kaca jendela.

“Tidak perlu kau buka tirainya.”

Walau agak teredam, aku bisa mendengar imbauan itu dan mengenali suaranya.

“Dirimu sendirian di sana?” Mendengar itu, aku menengok ke sekitar, memindai. Segera setelahnya, aku menjawab, “Iya, sepertinya.”

Lihat selengkapnya