Senin, 5 April 2021
—Ketika masalahnya bermula ....
“Meong~”
Shiki Yuuko, yang tengah berjalan sontak menghentikan langkah. Meski tersumpal earbuds yang mengalunkan musik keras, kedua telinganya dengan begitu tajam menangkap suara khas itu. Itou Minami, si sahabat berkacamata yang berjalan di sebelah pun ikut menghentikan laju kaki. Menengok ke arah yang sama dengan yang Shiki fokuskan saat ini.
“Kawaii1~” kagum kedua gadis dalam hati.
Yang meraih perhatian keduanya adalah seekor kucing di pinggir kiri jalan. Kucing belang tiga, dengan kepala yang terbagi oleh buku cokelat-oranye dan hitam. Bulu putih bersih menutupi dagu sampai perut yang tampak di antara kedua kaki depannya itu, membuat siapapun yang melihat ingin mengelus dan merasakan kehalusannya. Dan mungkin, pikir Yuuko, si kucing juga mengharapkan demikian.
Alasan pikirannya itu disebabkan oleh tingkah si kucing yang jarang ia lihat. Beberapa kali, hewan itu mengangkat kaki depan sebelah kirinya, bak mencoba melambai pada dua manusia yang mendapatinya. Sekali, dua kali, tiga kali. Itu yang membuat kedua gadis ini sempat terpaku olehnya.
“Tapi kalau ditanya, aku lebih suka anjing, sih.”
Yuuko yang merasa komentar itu sangat tidak tepat waktu langsung melempar lirikan tajam. Minami sadar akan perbuatannya, dan segera minta maaf disertai senyuman canggung.
Seakan menuntut balasan karena merusak momen, Yuuko menyerahkan tas dan shinai yang sedari tadi menggantung di bahu kirinya pada Minami. Tak lupa, musik kemudian ia matikan. Saat, muncul sebuah dorongan dalam hatinya, yang mana merupakan hal biasa bila bertemu dengan makhluk pengeong itu.
Si kucing masih melambai-lambai, membuat Yuuko tidak bisa beranggapan selain kucing itu memanggilnya. Ia melangkah, keluar dari jalur, pelan-pelan mendekati kucing itu. Namun saat kurang dua meter, si kucing menurunkan kakinya, lantas meloncat dari pondasi beton. Si gadis pun menghentikan langkah kembali.
Kalau dibilang suka kucing, Yuuko suka-suka saja. Akan tetapi ia sadar, kesukaannya itu tidak terlalu tinggi juga. Ingin rasanya ia coba mengelus kucing itu. Kendati tak memiliki kalung penanda—yang mana kemungkinan besar ia kucing liar—Yuuko menyadari kucing itu punya bulu yang lebat dan tampak halus. Aneh sekali, pikirnya. Hanya saja dorongan itu langsung hilang, selepas si kucing lari.
“Aah, sayang ...,” keluhnya.
“Meong~”
Yuuko yang baru mau putar balik teralihkan lagi, seperti barusan. Si kucing melambaikan kaki depan sebelah kiri sambil mengeong kembali. Kali ini, dari puncak anak tangga rendah yang berada beberapa meter dari jalan. Tangga batu yang menuju ke sebuah torii2 dan hokora3 berwarna merah. Yuuko teringat, kalau tidak salah, sepertinya itu adalah Kuil Inari4. Satu dari sekian banyak yang tersebar di penjuru negeri.
“Meong~ Meong~”
Si kucing memanggil lagi, pikir Yuuko. Ia berjalan mendekat. Melangkah keluar dari jalan aspal, menginjak tanah berumput yang seperti tidak terurus. Kali ini, ia berhasil maju lebih dekat. Matanya bertatapan dengan si kucing. Mata bulat berwarna kuning bak permata.
“Yukko! Nanti kita ketinggalan kereta, lo.”
Ia tak menggubris panggilan kawannya. Ia tak mau menakuti si kucing sekarang. Masih ada kereta berikutnya ... Makanya aku berangkat pagi ... Masih ada waktu .... Dengan alasan seperti itu di kepala, Yuuko melanjutkan pendekatannya.
Sayang, baru ia membungkuk dan memajukan tangan kanan hendak membelai, si kucing balik kanan lagi. Yuuko berkesah dengan desahan rendah buat kedua kali. Namun, si kucing tidak pergi jauh-jauh sekarang. Ia hanya berjalan sedikit lebih dalam, melewati batas torii yang tingginya cuma sekitar satu setengah meter. Si kucing berdiri tepat di tengah antara tiang-tiang itu.
Yuuko menegakkan badan, melihat sejenak ke sekitar. Lebih tepatnya, ke tampilan kuil kecil yang kurang terawat di hadapannya. Angin tetiba berembus, membuat sebagian rambutnya yang sudah panjang menghalangi pandangan. Ketika ia hendak membenarkan rambut, tak tahu kenapa, Yuuko merasakan sebuah ketenangan dari tempat ini. Meski jarang ia lewati, jalan yang ia ambil bersama Minami pagi ini tetap berapa di area perumahan. Tepat di sebelah kirinya ada rumah, dan di sebelah kanan, setelah lapangan kecil, ada rumah juga. Tetapi, semua terasa sangat tenang. Saking tenangnya, gemericik air dari sungai kecil di sisi selatan jalan sampai terdengar di telinganya.
“Meong~”
Perhatiannya kembali pada si kucing. Di antara tiang torii itu, ia mengeong sambil melambai-lambaikan kaki depan sebelah kiri lagi. Ekornya bergerak dari kanan ke kiri dengan gerakan meliuk yang santai, dan matanya menatap lurus.
Saat itulah Yuuko teringat. Kenapa dirinya mengira kucing ini lucu sekali, sampai berusaha mengelusnya. Itu karena kucing ini bak model hidup dari maneki neko5 yang kerap dijumpai di toko-toko. Kesampingkan ekor panjang yang meliuk-liuk itu, si kucing sudah seperti maneki neko yang diberi kehidupan. Kucing belang tiga, melambai-lambaikan sebelah kaki depannya, guna mengundang hal baik masuk. Yuuko ... merasa terundang olehnya.
Yuuko mendekat, buat ketiga kali. Si kucing menurunkan kakinya. Langsung si gadis berlutut di depan torii, menjulurkan tangan kanan ke kepala si kucing. Kali ini, hewan itu tidak lari. Ia menerima sentuhan lembut di antara kedua telinga, dan mulai mendengkur di tempatnya.
Yuuko, yang akhirnya mendapatkan apa yang ia inginkan, tersenyum senang dan lega. Jemari kanannya bergerak pelan, memastikan si kucing mendapat sentuhan yang tidak mengganggu atau menyakitkan. Ketika suara dengkuran khas terdengar, dirinya makin senang dan terkagum.
Belaiannya berpindah ke dagu. Si kucing yang masih tampak menikmati mendongakkan kepala, menampakkan bulu putih di bagian bawah tubuhnya. Makhluk ini benar-benar lucu, pikir Yuuko saat itu juga. Akan tetapi ....
*SRAT!
“Aduh!”
Saking terkejutnya, Yuuko jatuh terduduk di tanah. Tiba-tiba saja, suatu rasa sakit muncul di tangannya. Saat ia melihat ada apa, di punggung tangan berkulit putihnya muncul dua goresan pendek. Si kucing tanpa sebab mencakarnya.
“Yukko?” Suara bingung Minami terdengar di belakang, ia mendekat ke arah Yuuko.
Sementara itu, Yuuko masih terfokus pada punggung tangannya yang berdenyut karena luka. Beberapa saat, ia memandangi dua goresan sejajar itu. Setitik darah muncul di salah satu ujungnya, dan itu membuat Yuuko semakin merasakan sakit.
Namun, tak tahu mengapa atau bagaimana, titik darah tadi perlahan mengecil. Makin kecil, hingga kemudian hilang, bak kembali ke dalam tubuhnya. Dua bekas cakarannya pun, perlahan tapi pasti, mulai menutup kembali, macam ada sesuatu yang menjahit luka itu dengan teliti.