Selasa, 6 April 2021
—Ketika masalahnya makin menjadi ....
“... Aku cuma mau kelihatan keren saja. Apalagi, kalau di depanmu ...”
“... Awalnya. Sampai tiba-tiba kau muncul begitu saja ...”
“... Makanya ....”
Hari sudah malam. Yuuko, dengan erangan bernada tinggi, membenamkan wajah ke bantal yang ia peluk. Ia sedang berada di kamar sekarang, sendirian. Tidak menyalakan lampu, tapi membiarkan cahaya apapun yang mungkin ada di luar masuk melalui jendela. Dirinya sekali lagi, harus membenamkan muka karena mengingat hal memalukan yang telah ia katakan pada Sakunosuke hari ini.
“Kenapa aku mengatakan itu, coba ...,” gumamnya lirih, teredam oleh bantal.
Siang tadi, dengan semangat dan kekuatan yang membara melebihi normalnya, Yuuko memenangkan duel persahabatan melawan teman satu klub. Biar dikata cuma pertandingan peragaan demi menarik hati dan minat para murid baru, semua anggota klub kendo mengerahkan kemampuan terbaik mereka. Dan Yuuko adalah salah satu yang melebihi ekspektasi. Di satu waktu sebelum ini, dirinya pun terkejut sendiri.
Setelah itu, ia berbicara dengan Sakunosuke yang datang menonton sesuai ajakanya. Yuuko senang sekali akan hal itu. Akan tetapi, seperti kemarin, untaian kalimat yang tak disangka—juga tak diinginkannya—terlontar lagi. Kalimat yang tepat setelah dikatakan tidak menimbulkan apa-apa, tapi setelah beberapa waktu, membuat wajah Yuuko selaku pembicara jadi seperti tomat panas.
Yuuko teringat kembali kata-kata itu, semakin merasa malu, dan akhirnya menjatuhkan badan sepenuhnya di atas kasur. Niat hati hendak segera melupakan itu lalu tertidur, tapi Yuuko tak bisa melakukannya. Kamar yang temaram dan ketidakhadirannya sang sahabat seakan menguatkan otaknya supaya terus berpikir dan mengingat. Memutar kembali semua yang sudah terjadi hari ini.
“Kenapa ....”
Salah satu alasan kenapa Yuuko malu semalunya pada ucapan itu adalah karena harusnya dirinya sudah rela. Yuuko harusnya sudah merelakan Sakunosuke, orang yang ia suka, menjadi milik orang lain. Satou Sakunosuke dan Fujiwara Amane sudah resmi menjalin hubungan.
Bodoh memang, ia sadar, karena ini terjadi sebab keraguan dan kelambatannya. Tapi sebab lainnya adalah, ada sisi Yuuko yang merasa kalau ini yang wajar. Sakunosuke dan Amane adalah dua orang yang menyelamatkan Yuuko dari hasrat bunuh dirinya. Ia berutang budi pada keduanya. Dan bila keduanya memang menginginkan satu sama lain, Yuuko bakal jadi pengkhianat yang tidak tahu diri.
Setelah semua pemikiran dan perasaan itu, Yuuko merasa jengah pada perkataannya yang tanpa sadar. Lebih lagi, hal ini sudah dua kali terjadi. Sambil terus teringatkan, Yuuko bertanya di kegelapan. Kenapa?
“Tadaima.”
Bersamaan dengan ucapan itu, pintu kamar terbuka. Yuuko menjeling dari balik bantal di pelukan, dan mendapati Minami yang menunjukkan wajah lelah.
“Okaeri,” balas Yuuko, sembari mendudukkan badan kembali. Lantas, ia meneruskan, “Jadi, rijichou bilang apa saja?”
Minami, yang datang membawa muka datar, tiba-tiba berubah ekspresinya jadi setengah menangis. Seperti memelas, ia berkata, “Katanya aku tidak boleh pergi main seminggu ini.” Dengan lesu ia melayangkan komplen karena kamar yang gelap. Selepas menyalakan lampu, Minami berjalan ke arah ranjang, duduk di tepiannya pada ujung yang berlawanan dengan Yuuko.
“Terus, kenapa lama sekali?”
Setelah mendengar tanyaan itu, tak tahu kenapa si gadis berkacamata jadi tampak sumringah. Sambil terus mengamati kawannya yang meringkuk di ujung ranjang, Minami memberikan senyum mesra. Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya, “Aduduh, tidak ada aku jadi kesepian?”
Mendengar itu, Yuuko bangun, kemudian melemparkan bantal tepat ke muka Minami. “Jangan besar kepala!” serunya. Minami teraduh-aduh sembari melepas kacamata dari wajahnya.
“Jahat, ya,” balas Minami, memelas, tapi kelihatan sekali dibuat-buat. Satu tangan menggenggam kacamata, sementara satunya memeluk bantal. Minami berjalan ke lemari kecil di samping ranjang dekat Yuuko, dan menaruh kacamatanya di sana. Bantal tadi, ia kembalikan pada Yuuko dengan lembut sambil berkata, “Nanti tidak kutemani tidur lagi, lo.”
“Siapa juga yang mau,” cetus Yuuko pedas. Namun diawali tawa kecil, Minami membalas, “Kemarin malam. Yukko mengigau malam-malam sampai aku harus turun ke ranjangmu.”
“Eh?”
“Heh? Tidak ingat?”
Keduanya kebingungan sekarang. Seperti yang didugakan Minami, Yuuko tidak ingat sama sekali kemarin malam mengigau atau semacamnya. Malah, ia sama sekali tidak ingat kalau Minami tidur di ranjangnya juga.
Masih dengan kebingungan yang sama, Minami menjelaskan kalau kemarin, di tengah malam, ia terbangun karena mendengar Yuuko terisak dan mengigau. Ia berusaha membangunkan Yuuko, tapi tidak berhasil. Akhirnya, ia memutuskan untuk menemaninya tidur. Tak disangka, Yuuko perlahan jadi tenang setelahnya.
“Pagi-pagi sekali aku bangun buat ke kamar mandi, sih. Pas itu Yukko baru bangun.”
Tapi, meski diberi penjelasan begitu, Yuuko tetap tidak mengingat sesuatu apapun. Mungkin, kepalanya sudah telanjur dipenuhi fokus untuk pertandingan peragaan. Tapi, itu tetap aneh dirasanya. Dulu sekali, Yuuko juga sering mimpi buruk seperti ini. Cukup sering, sampai kemudian dirinya terbiasa dengan Minami sebagai teman sekamar.
“Aku bilang apa saat mengigau?” Yuuko bertanya dengan datar. Tanpa sadar ia menarik dirinya sendiri mendekati dinding, ke dalam bayangan yang tercipta dari tempat tidur bertingkatnya.
Minami yang masih belum tercerahkan menjawab ragu, “Kau bilang ‘ibu’, begitu. Berkali-kali.”
Yuuko menekuk kedua kakinya, memeluk mereka erat-erat. Tepat setelah ucapan Minami, banyak ingatan yang muncul di kepalanya. Ingatan terkait mimpi buruk yang dulu ia alami. Semuanya. Dan memang, ia yakin pernah bermimpi tentang ibunya yang meninggal. Apa mimpi itu lagi? Yuuko bertanya-tanya dalam hati.
“Yukko, kau baik-baik saja?” Minami membungkukkan badan tepat di hadapan Yuuko, dengan kedua tangan menyangga di atas kasur. Ia tampak sangat cemas.
Tak mau dilihat begitu, Yuuko menggelengkan kepala dan menjawab dengan yakin. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Ia menggerakkan bibirnya buat kata itu sekali, tapi mengulangnya berkali-kali dalam hati. Yuuko pada dasarnya lebih ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Besok adalah hari rabu. Hari perdana belajar mengajar dimulai. Yuuko dan Minami yang tidak mau terlambat segera bersiap untuk tidur. “Oyasumi” sudah dikatakan keduanya, selagi menyamankan diri di balik selimut masing-masing. Dan di sini, Yuuko sedikit percaya, bahwa semua akan baik-baik saja. Dirinya masih membawa semangat yang ditunjukkannya di pertandingan tadi.
Sampai kemudian ia sadar, memang ada yang salah dengan dirinya ....
***
“Tidak mau .... Aku tidak mau .... Sudah, sudah, sudah .... Aku ... tidak mau lagi ....”
Di setiap jeda antar kata itu terdapat isakan. Minami dapat merasakan sesuatu membasahi lengan atasnya. Itu adalah air mata. Air mata Yuuko yang terus mengalir seraya bibirnya terus bergetar.