“Saku betulan tidak berkelahi, kan?”
Walau ditanyai dengan muka cemas, aku tidak bisa menghilangkan kesan curiga dari pertanyaan Ibu. Spontan aku melirik ke arah lain, menghindari garis pandang Ibu yang lurus ke arahku. Sadar kalau ini adalah gestur yang benar-benar dapat mengundang kecurigaan, aku menatap balik ke Ibu, menjawab pertanyaannya sesantai, tapi seyakin mungkin. “Tidak.”
“Terus kenapa di bajumu ada noda darah begini?” Ibu menyodorkan kaus olahraga yang sebelumnya sudah kulempar ke keranjang cucian. Raut mukanya masih belum berubah. Antara cemas, namun juga sekilas takut di saat yang sama.
“Kan sudah kubilang, ...”
Aku sedang kena sidang sore ini. Kesampingkan apakah aku melakukan sebuah kesalahan besar atau tidak, rasanya seperti itu. Setelah berhasil lari dari kelompok Kurogane yang tidak sengaja melihatku, aku langsung pulang. Dengan segenap tenaga yang tersisa, kulemparkan baju olahraga ke dalam keranjang di ruang cuci, memasukkannya dalam antrian.
Tanpa mengganti baju, aku merebahkan diri di ruang keluarga, di dekat jendela. Belum ada lima menit, Ibu memanggilku. Dengan khawatir, ia mempertanyakan noda darah—yang tidak kusadari menempel di kerah bajuku, persis seperti yang baru saja tadi. Lantas, kujelaskan sebabnya. “Saat main sofbol, aku tidak menangkap bola dengan baik dan lemparannya mengenai muka. Makanya jadi mimisan.” Sekarang, aku sudah menjelaskan hal tersebut untuk kedua kalinya.
Aku tahu dan sadar, sekaligus mencoba mengulang pemikiran bahwa Ibu tidak sepenuhnya marah saat ini. Ia cuma khawatir saja. Karena, siapa juga yang tidak kaget melihat baju dengan bercak darah? Hanya saja, perasaan tadi ... Prasangka yang terasa dari pertanyaan Ibu tadi, sepintas memberatkan udara di ruang keluarga. Kalau jendela tidak kubuka sebelumnya, mungkin bisa sampai menyesakkan juga.
Ibu meletakkan kaus di atas meja lalu mengembus napas—entah lega atau muak. Setidaknya, bersamaan dengan itu, suasana jadi sedikit lebih cair. Udara terasa bak kembali mengalir. “Ya ampun,” gumam Ibu halus.
Habis itu, pelan-pelan ia merangkak mengitari meja, mendekatiku. Dengan kedua tangan ia menahan kedua pipiku, mendekatkan muka, dan kelihatan mengecek dengan teliti. “Tapi hidungmu betulan sudah tidak apa-apa, kan?”
Merasa kalau ini agak berlebihan, aku menyingkirkan kedua tangan Ibu. “Iya, kata Nasu-sensei ini sudah tidak apa-apa.”
“Kalau ada kejadian begini, langsung bilang ke ibu, dong~” Kali ini, ekspresi Ibu menyiratkan kekecewaan. Sekilas saja, sebab kemudian, wajah Ibu yang masih kelihatan muda minim kerutan itu jadi bersungut-sungut. Sebal, kah?
“Darahnya sudah lama berhenti, jadi Ibu tidak usah khawatir.” Aku menyanggah, disertai imbuhan, “Lagian, aku sudah bukan anak kecil lagi.”
Mendengar itu, Ibu tersenyum simpul. Ia menarik sebelah telingaku pelan—yang meski begitu tetap membuatku mengaduh—dan berkata, “Tapi Saku tetap anak Ibu. Wajar saja, kan.”
Tak ada sahutan apapun lagi. Ibu segera bangun, meraih kaus di meja, dan beranjak ke ruang cuci. Sementara itu aku berpikir, apakah berarti di mata Ibu aku masih terlihat seperti anak kecil? Tidak, perkataan tadi kemungkinan besar artinya tidak langsung menjurus ke situ. Lagi pula, aku masih belum bisa menentukan apakah dipandang sebagai anak kecil di usia remaja merupakan hal yang buruk atau bukan.
Saat itulah, sebuah pertanyaan melintas di benakku. “Ibu,” panggilku, sebelum Ibu masuk ke ruang mesin cuci. Ia menoleh langsung, tapi tak sampai membalikkan badan. “Dulu ... aku sering bertengkar dengan Kenji, kan?”
Berbicara soal anak kecil, aku jadi teringat masa-masa belia. Masa di mana aku dan adikku sama-sama tidak memikirkan dunia, dan hanya fokus pada apa yang di depan mata.
“Iya. Padahal Ibu sudah belikan mainan masing-masing, kalian masih sering rebutan.” Di akhir balasannya, Ibu tertawa kecil. Namun sehabis itu, desahan ringan mengikuti. Ia lantas masuk ke ruangan yang tepat berselebahan dengan ruang keluarga, menaruh kausku ke tempat semula.
“Pas kami bertengkar, Ibu juga langsung melerai?” lanjutku bertanya.
“Jelas lah! Kalian kalau bertengkar bisa sampai dorong-dorongan soalnya. Ibu waswas, tahu.” Kali ini, Ibu membalikkan badan sepenuhnya.
“Aku berpikir, apakah pertengkaran memang seburuk itu?” Ibu melangkah keluar, seperti mau kembali ke ruang keluarga, tapi akhirnya cuma berhenti di ambang pintu. Padaku yang masih duduk di dekat meja, Ibu melemparkan tatapan datar. “Maksudku, kalau kejadiannya seperti Kenji mengambil mainanku, apa aku tidak boleh berusaha mengambilnya balik ... begitu?”
“Tentu saja tidak boleh.” Ibu berkata dengan yakin, lantas melipat tangan di depan badan. “Kalau pun memang ada masalah, kita juga tidak perlu berbicara dengan keras atau memaki-maki lawan, apalagi sampai melakukan kekerasan. Itu tidak boleh.”
“Jadi ... kita biarkan saja, begitu?”
“Merelakan adalah salah satu caranya memang. Kalau tidak mau, setidaknya kita harus berusaha membuat lawan paham kalau yang mereka lakukan itu salah. Makanya, kalau ada dari kalian yang asal rebut mainan, Ibu selalu membujuk-bujuk, kan?”
Sejenak, Ibu menjeda kalimatnya. Sebuah senyum terkembang di wajah, dan rasa dari pandangan Ibu padaku seakan berubah. “Kalau balas mengejek, menghina, atau memukul dan semacamnya, nanti kedua belah pihak akan tersakiti dan cuma memikirkan saling membalas. Itu tidak bagus. Seseorang harus memecahkan loop itu. Tentu, dengan cara yang benar, ya!”
Aku mengalihkan pandangan. Secara spontan membandingkan pertengkaranku dengan kasus Kurogane di dalam kepala. Mau bagaimana pun, keduanya berada pada level dan situasi yang berbeda. Kalau pertengkaran dengan adikku, Kenji masih mendengarkan perkataan Ibuku dan juga bersedia minta maaf. Baik pihak yang berseteru dan pihak ketiga sama-sama bekerja sama. Hanya saja, kalau kasusnya Kurogane .... Tidak perlu kuperjelas lagi, sih, ya.
“Memang agak terlambat, sih, tapi Ibu mau tanya. Boleh?” Mendengar itu, aku kembali mengangkat muka. Tak lama kemudian mengangguk sebagai persetujuan. “Saku benci ke Kurogane-kun?”
...
Entah kenapa, aku tidak bisa langsung menjawab. Setelah apa yang dilakukan Kurogane dan komplotannya padaku, seharusnya bukan hal yang sulit untuk mengangguk kuat dan mengucap “ya”. Tapi, itu sama sekali tidak bisa dilakukan. Pada akhirnya, aku kembali menjatuhkan pandangan ke meja.
“Tidak perlu dijawab sekarang, kok. Saku capek, kan? Karena tahu hari ini ada mapel olahraga, Ibu akan memasak oyakodon1 buat makan malam, lo.”
Selepas mendengar menu makan malam ini adalah salah satu menu favoritku, semangat seakan kembali—walau tidak secara keseluruhan—dan aku buat kesekian kali mengangkat kepala. Saat inilah diriku tersadar, kalau aku yang sudah berusia tujuh belas tahun ini, juga masih seorang anak-anak di saat yang sama.
***
“Sekali lagi, maaf ya, Saku.”
Setiap pulang ke rumah, Ayah sering bersantai di ambang pintu belakang buat merokok. Seakan meniru, aku melipat kaki di selasar ruang keluarga sekarang. Seperti senja yang bertukar makin jingga, aku juga berganti pakaian. Memainkan ponsel di tangan, menggulir layar ke apapun yang kelihatan menarik. Hingga kemudian, ponsel itu bergetar dan layarnya menampilkan sebuah notifikasi bernama.
“Tak apa, Shiki. Tidak masalah, kok.”
Terungkap, yang menelepon tiba-tiba waktu di sekolah tadi adalah Shiki. Karena panik dikejar oleh segerombolan orang barbar lagi, aku baru bisa mengecek notifikasinya di rumah. Itu pun, aku tidak langsung mengontak balik buat bertanya pasal gerangan apa. Mungkin, karena tidak dihiraukan, akhirnya Shiki memutuskan untuk menelepon lagi.
“Kuharap aku tidak mengganggu waktumu. Sudah hampir makan malam, kan?” Nada bicara Shiki terdengar sungkan. Walau cuma dari telepon, rasa tidak enak hati dapat tersampaikan dari rentetan kata itu.