“Bukannya aku selalu bilang supaya jangan dekat-dekat dengan Fujiwara?” ujar Kaname dalam. Sekilas di akhir kalimatnya itu, nada kesal terasa di telinga Shuuya. “Kau dungu, ya? Tidak paham dengan ucapanku?”
Yang di tanya saat ini masih diam saja. Tangan kirinya mencengkeram kuat tali pegangan tas yang bergantung di bahu, tetapi wajahnya terus menghadap ke bawah. Shuuya menerka, apa yang dirasakan Satou Sakunosuke sekarang. Tapi Shuuya yakin, perasaan apapun yang ada di dalam hatinya, anak aneh itu pasti tidak akan membalas apa-apa.
“Tidak tahu diri.”
Bahkan setelah dihina begitu pun, Sakunosuke tidak akan merespons apa-apa. Karena dia pengecut, karena dia lemah, dan Shuuya mengetahui hal itu. Dia cuma orang yang dikelilingi keberuntungan belaka, dan berpikir—juga berharap—semua bisa selesai sesuai keinginannya melalui kata-kata saja.
Uesugi Raito yang barusan ada di sini juga tidak jauh beda. Shuuya dan Kaname setuju, kalau bendahara OSIS itu cuma terlihat cool dan berwibawa di luarnya saja. Padahal di dalam, dia cuma penakut yang kalau barangnya direbut bakal melakukan apapun yang diperintahkan. Buktinya, Raito dengan penurutnya menjadi umpan dan membawa Sakunosuke ke hadapan mereka sekarang.
“Tidak ada jawaban? Bisu, kah?”
Orang lemah cuma bakal diam tanpa melakukan apa-apa, Shuuya mencemooh dalam hati. Cemooh tadi memang ia tujukan pada Sakunosuke yang diam seribu bahasa sekarang. Akan tetapi di saat yang sama, ucapan pedas itu juga tersampaikan ke dirinya sendiri, sosok yang dulu pernah berada dalam posisi yang sama.
Perundungan bukanlah sesuatu yang baru. Ini terjadi di semua tempat juga zaman, dan Shuuya betul-betul memahami itu. Sebab, ia pun pernah mengalaminya. Jadi bulan-bulanan orang yang berlagak sok kuat. Dimintai uang, kalau tidak akan kena tendang dan ludahan. Orang-orang rendahan yang bahkan sulit untuk mencapai nilai KKM di pelajaran. Shuuya merasa sangat jijik kalau mengingat dirinya pernah dikerjai orang macam itu.
Shuuya memang pernah di situasi yang mirip dengan Sakunosuke sekarang. Akan tetapi, yang membedakan adalah, dirinya memiliki sosok panutan. Sosok yang dengan entengnya masuk ke permasalahannya, dan menghajar para berandal yang menjijikan itu. Sosok yang kemudian membantunya melakukan balas dendam, dan sekarang menjadi temannya. Ialah Kurogane Kaname.
Biarpun ia juga melakukan kekerasan, Kaname tidak sama dengan bully yang menyiksa Shuuya dulu. Di mata Shuuya, Kaname adalah orang yang luar biasa. Ia tidak pernah membiarkan nilainya turun di sekolah. Di saat yang sama, ia juga mempelajari beladiri taekwondo, membuatnya kuat dari dua segi yang seimbang. Dan lagi, ia tidak melakukan hal-hal ini cuma sekadar buat senang-senang belaka.
Shuuya berpikir, setiap orang kuat juga memiliki orang lain yang menjadi panutan atau pedoman. Bagi Shuuya, itu adalah Kaname. Untuk Kaname sendiri, itu adalah sosok bernama Rikiya. Benar, Kaname melakukan semua ini karena orang yang jadi panutannya meminta demikian. Kaname melakukan ini karena ia ingin menjadi berguna bagi sosok tersebut. Dan Shuuya memahami betul hal tersebut. Karena ... ia pun berpikiran sama.
“Kalau Kaname membutuhkannya, aku akan membantu,” janji Shuuya di dalam hati.
Mulai dari mencari informasi, seperti kebiasaan seseorang atau jam rutin kegiatan sensei, sampai menyusun rencana berdasarkan informasi tersebut. Pada kenyataannya, mereka bisa membuat kill zone di belakang gedung olahraga ini dengan aman adalah karena Shuuya menyusunnya sedemikian rupa. Tempat yang tersembunyi, di jam yang sepi, dengan kemungkinan banyak sensei sudah pergi. Bahkan rencana mengumpankan Raito juga berasal dari buah pikirannya. Shuuya merasa senang dapat berguna bagi Kaname.
"Kaname, langsung saja~" Kazuki, yang membantu pengepungan hari ini kelihatan tidak sabar.
"Tidak perlu dibilang!" Setelah mengatakan itu, Kaname mulai bergerak. Ia berputar 360 derajat dengan cepat dan mengangkat kaki kirinya, melayangkan tendangan ke Sakunosuke.
Shuuya ingat, itu tendangan yang sama yang digunakan Kaname buat menghajar para bully di masa lalu. Ia belum pernah lihat tendangan itu dicegah oleh siapapun, karenanya dengan yakin, Shuuya berpikir Sakunosuke akan melayang ke dinding di sisi kirinya.
Akan tetapi, tanpa diduga, dengan gerakan yang hampir sama cepatnya, Sakunosuke memposisikan tas di sisi kanan kepala. Tendangan Kaname mendarat di tas itu. Walau tetap limbung, sang target tidak tampak kesakitan.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!" seru Sakunosuke seketika. "Aku tidak melakukan apapun!"
Jawaban tersebut tidak berefek apapun, hanya saja kelima orang yang tengah menyergap ini sempat terkejut. Mereka tidak menyangka Sakunosuke dapat menangkis tendangan Kaname.
Shuuya di sini segera menyela. "Benarkah? Lalu apa yang kalian bicarakan di UKS hari Rabu kemarin?”
Mendengar hal itu, Sakunosuke membelalakkan mata sejenak. Meski ekspresinya segera kembali normal, Shuuya sudah menangkap informasi tersebut. Sang target merespons dengan baik, dan itu sudah cukup sebagai konfirmasi. Akan tetapi, ia masih mencoba mengelak.
“Aku tidak tahu.”
“Keluarkan saja ponsel dan perlihatkan chat history-mu.” Kaname meminta dengan datar. Sakunosuke mengernyitkan dahi. Lantas, ia membalas agak lirih, “Itu privasi. Aku tidak bisa menunjukkannya.”