Kamis, 8 April 2021
Memerah.
Seperti langit, awan, juga dunia di sekelilingnya yang diterpa mentari senja, wajah Shiki Yuuko memerah kala mengingat yang lalu. Masih ada kemungkinan mukanya diterpa cahaya yang sama, namun Yuuko lebih yakin irasnya berubah mirip tomat sebab disertai sependar panas.
Sekarang Yuuko berdiri di tepian peron stasiun yang sepi. Ia menaruh mata pada menciutnya gerbong kereta kala dibayangi garis horizon barat yang bergoyang kabur. Di dalam kereta itu, Sakunosuke tengah duduk membisu, dan ia menjadi sebab dari “kemerahan” Yuuko sore hari ini.
Siluet kereta pun menghilang ditelan kegelapan. Yuuko memutar kepala, menjatuhkan pandang, lantas menutup mata. Ia menghela, lalu mengembus napas panjang nan berat. Embusannya bersatu dengan angin yang bertiup menggerakkan lapisan awan di angkasa.
Di dalam hati, ia berharap apa yang ada di dalam hati dapat terikat dan terhanyutkan oleh embusan tersebut, namun tidak berhasil. Yuuko masih menyimpannya, membiarkan luapannya memerahkan wajahnya. Ia menengok ke sisi barat lagi, mencoba membayangkan sosok pemuda yang disukainya, yang sudah tak mungkin dicapai dengan perasaan marah di dada.
Kunciran rambut Yuuko bergoyang diterpa angin. Meski tak seberapa, ia dapat merasakan beban ditekankan pada tas dan shinai berbalut kain ungu gelap yang menggantung di bahu kirinya. Seperti angin yang ada dan tidak bergantian selalu, perasaan sang gadis tak karuan sekarang.
Lantas ia menatap langit, menjadikan awan tipis yang terbentang sebagai layar proyeksi ingatannya yang masih segar. Yuuko hendak memutar gulungan memorinya demi memastikan sekali lagi, apakah emosinya saat ini benar-benar tervalidasi.
“Ini cuma salah paham, Sensei.”
Begitulah jawaban ragu-ragu dari Satou Sakunosuke, menanggapi pertanyaan Taiga-sensei. Pertanyaan yang berbunyi, “Apa yang sebenarnya terjadi?” tepat setelah si pemuda diselamatkan oleh seorang pengajar bermuka garang dan seorang lagi pemudi kawan baiknya.
Matahari yang menyinari langit belum sepenuhnya merah. Namun pencahayaan itu yang membuat tampilan Taiga-sensei lebih menyeramkan lagi selagi berdiri berkacak pinggang di hadapan dua anak didiknya. Pada Sakunosuke yang terduduk di selasar dojo, dengan seragam penuh noda—yang kemungkinan besar terdapat memar di baliknya—sensei mengulang pertanyaan.
“Satou, kau barusan dikeroyok oleh murid lain. Katakan, apa yang sebenarnya terjadi?”
Suara pria itu terasa makin dalam, berat, hingga rasanya cairan di dalam botol teh oolong yang diberikan beliau pada Yuuko dan Sakunosuke bergetar. Namun, si pemuda memberi jeda percakapan. Suasana diam. Yuuko yang merasa tak sabar dan kesal melihat sikap diam itu meremas keras botol teh di tangannya.
“Itu tadi cuma salah paham, kok, Sensei.”
Sakunosuke pun mengulang jawaban yang sama, mengecewakan hati Yuuko yang duduk di sebelahnya. Gadis itu memalingkan muka, hendak menyembunyikan kedut dan kerut karena luapan emosi memakai lengan gi-nya yang panjang, berlagak mengusap keringat di dahi. Di dalam hati ia masih tak percaya, bahwa pemuda yang ia sukai ini masih berniat menutupi kenyataan setelah dihajar buat kesekian kali.
Satou Sakunosuke selama ini mendapat perundungan dari sekelompok siswa berandal, dan Yuuko yang sudah lama mengetahui hal tersebut kehilangan kesabaran melihatnya dipukuli, hingga akhirnya menaruh harapan pada seorang pengajar demi menengahi masalah ini. Sore ini pun, secara kebetulan, Sakunosuke dipukuli lagi tanpa alasan jelas di belakang gedung olahraga oleh kelompok siswa itu, yang mana berhasil dihentikan oleh kehadiran Taiga-sensei meski tak sampai menangkap para pelakunya.
“Betulan salah paham?” Kali ketiga, sensei meminta konfirmasi. Sakunosuke dengan yakin menganggukkan kepala. Yuuko yang makin sebal melihat itu seketika menaruh botol secara sembarang, berdiri, dan melontarkan kata-kata penuh emosi di hadapan keduanya.
“Sensei! Saku dirisak oleh Kurogane Kaname dan teman-temannya!”
Kedua laki-laki tersebut sama-sama mengangkat alis, terkejut. Sementara Taiga-sensei memiringkan kepala, Sakunosuke tampak hendak meraih lengan gi Yuuko, tapi tak jadi.
“Kurogane Kaname,” gumam sensei. Masih sambil berdiri tegak, sensei menoleh pada Sakunosuke dan bertanya buat kesekian kali, “Apa benar begitu, Satou?”
“Ini cuma salah paham, Sensei. Bukan masalah besar, kok.”
Pengulangan lain itu hanya mengundang tatapan tajam Yuuko. Sakunosuke sampai membuang muka dipelototi begitu. Darah betul-betul mendaki ke puncak kepala sang gadis, sesuatu yang jarang sekali dilihat dari personanya sendiri. Muka merah padam itu dapat dilihat jelas, meski dibawah sinar mentari sore. Namun, ketidaksenangan Yuuko pada situasi, tak hanya berhenti di sini.
Taiga-sensei sembari menggaruk kepala berujar, “Baiklah kalau kau bilang begitu.”
Yuuko yang tak terima segera mengalihkan tatapan, membalas dengan nada tinggi, “Tapi, Sensei, Saku benar-benar dirisak oleh Kurogane dan teman-temannya!”
Sensei menerima seruan siswinya dengan wajah datar. Ia memindai dulu lingkungan sekitar, memastikan situasi benar-benar sepi, baru kemudian memberikan argumen. “Tapi, yang bersangkutan pun berkata itu cuma salah paham. Kalau memang Satou merasa bisa menyelesaikan kesalahpahamannya sendiri, Sensei tidak harus ikut campur.”
“Hah?” Yuuko tak percaya dengan apa yang barusan diucapkan. Sebelum ia bisa membalas lagi, sensei melanjutkan, “Akan kuanggap begitu. Tapi kalau ada apa-apa, Satou, kau bisa menemuiku kapanpun.”
Tanpa disadari oleh Yuuko yang setengah termakan kalap, Sakunosuke mengembangkan senyuman. Senyum tipis nan tenang, bak terbebaskan dari suatu beban yang memberatkan pundaknya.
Menahan setiap perkataan yang mungkin disampaikan lagi, Taiga-sensei balik kanan dan meninggalkan siswa-siswinya. Ia bergerak ke arah gedung, berniat masuk dan beberes sebelum pulang karena memang harusnya hari ini ia tidak berlama-lama di sekolah.
Tidak terima, Yuuko pun hendak menyusul sensei. Ia loncat ke selasar, berlari ke dalam dojo mengambil sebuah tas. Dengan langkah gesit tanpa peduli lantai kayu yang licin, ia turun kembali dan berlari ke arah Taiga-sensei pergi.
“Aku mau ganti baju dulu!” Meski dibilang demikian, Sakunosuke sudah punya firasat kalimat tadi cuma alibi belaka. Namun, ia tetap menunggu, duduk di selasar dojo sambil minum teh oolong.
Di saat yang sama, Yuuko berhasil mengejar Taiga-sensei sampai lorong. Suasana sudah benar-benar sepi, dan bayangan gelap mulai tercipta di banyak sudut bangunan. Sang gadis berjalan ganas menyesuaikan langkah sensei-nya.
“Kenapa Sensei malah meninggalkan Saku begitu? Dia benar-benar dirisak oleh Kurogane Kaname!” seru Yuuko, tergema di sepanjang koridor.
Tanpa menoleh, Taiga-sensei memberikan jawaban yang membingungkan Yuuko sejenak. “Berisik! Tidak perlu kau teriak pun aku sudah tahu. Mataku tidak buta. Tadi sudah kelihatan Kurogane, Imai, Inoue, dan dua orang lainnya mengeroyok Satou. Apa lagi itu namanya kalau bukan perisakan?!”
Mulut Yuuko agak menganga mendengarnya, heran. Namun, setelah merasakan kontradiksi pada perkataan dan tindakan sensei, Yuuko kembali mengadu keras. “Lantas kenapa Sensei pergi begitu saja?!”
“Dibilang jangan berisik, juga!” Kena tegur kedua kali, baru Yuuko dapat sedikit mengendalikan diri. Sambil memeluk tas berisi seragam ganti, ia menundukkan kepala. “Dengar ini, Shiki. Kalau korbannya sampai tidak mau mengaku, berarti ada hal lain. Sensei punya beberapa tebakan alasannya, cuma, sekadar itu saja tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus bertindak hati-hati menanggapi hal ini.”
Yuuko terdiam. Tetapi matanya yang melirik tajam itu bak mengatakan, “Bagaimana?” diselimuti rasa penasaran. Si pria pun bersegera meneruskan penjelasan.
“Secara terpisah, kita perlu menanyai setiap pihak yang terlibat. Lalu, orang tua juga. Tapi, bicara soal orang tua Kurogane, rasanya kepsek tua bangka itu akan bermulut pedas nantinya. Yang pasti, semua itu butuh persiapan, dan tidak bisa dilakukan sekarang juga meski aku mau. Paling cepat, besok.”
Selagi bicara panjang lebar, suara Taiga-sensei melirih perlahan-lahan. Yuuko agak heran kenapa sensei melakukan itu, tapi sadar sebabnya ketika pintu ruang guru sudah kelihatan.
Di depan pintu tersebut, si pria menghentikan langkah mendadak. Ia menghadapkan badan pada Yuuko, dan sedikit mendekatkan muka ke si gadis yang bersusah payah mendongak karena perbedaan tinggi badan.
“Shiki, Sensei kagum padamu yang berani membantu teman dalam urusan begini. Tapi, ada satu hal yang tidak boleh kaulupakan. Yaitu ....”
Kalimat yang seperti nasehat itu masuk ke hati Yuuko melalui telinga, dan meninggalkan sebuah kesan yang menyesakkan. Apresiasi sensei sampai tidak terasa efeknya.
Sebagai penutup, Taiga-sensei menyuruh kedua muridnya pulang. Dan buat jaga-jaga, beliau memberikan nomor ponselnya. “Hubungi kapanpun kalau perlu,” pesannya. Dengan ini, Yuuko pun undur diri, masih dengan hati tak karuan. Meski begitu, satu hal yang mencerahkan pikirannya adalah kenyataan bahwa Taiga-sensei benar-benar peduli pada anak didiknya.
***