Selagi berlutut dengan tangan terikat di belakang punggung dan mulut tersumpal kain, aku menundukkan kepala. Penyesalan yang tetiba saja menyelimuti diriku, bersama rasa sakit di sekujur badan, bak melipatgandakan keremangan di gudang peralatan penuh debu ini.
Di depanku, seseorang tengah duduk di kursi, di dekat kumpulan meja dan papan-papan berkerangka besi dan beroda. Itu ... Kurogane, kelihatan jelas dari sepuntung rokok di tangannya. Asap yang mengepul tak henti-henti menambah kesan sesak tempat ini. Sementara itu, di belakangku ada satu orang lagi, memegangi ikatan tanganku supaya aku tidak pergi ke mana-mana.
Aneh. Posisi ini membuatku merasa dituntut menyesali setiap pilihan yang kubuat selama ini. Pilihan untuk tidak menuruti permintaan orang-orang berandal ini. Mengabaikan mereka. Berlagak semua yang telah terjadi, dan dulunya mungkin terjadi, bukanlah apa-apa yang kudu dicemaskan. Ironis. Padahal mau bagaimanapun coba dilihat, aku adalah korbannya.
Mungkin Shiki ada benarnya.
Kalau sebetulnya aku berpikir secara kacau. Aku cuma menerima keadaan begitu saja, secara egois berkata ini tidak apa-apa, lalu dibuat putus asa sendiri olehnya. Aku tidak bisa memilih buat mengorbankan sisi mana, dan akhirnya, tidak memajukan situasi sama sekali. Aku cuma diam, menikmati kedamaian semu yang tercipta dari larian menjauhi masalah. Gara-gara itu—gara-gara diriku, semua jadi begini ....
Pada satu waktu yang mulai tidak bisa kubaca, pintu gudang terbuka. Terdengar suara yang berbicara dengan bangga. Itu pasti Imai. Setelah ikutan menghajarku tadi, dia memang sempat pergi, dan sekarang telah kembali. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apa yang dia lakukan di luar sana.
Jawaban datang mengikuti, tak lama kemudian. Hanya saja, itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan hati. Dengan sisa cahaya mentari membelakangi, tampak sosok berambut panjang. Saat ini, hatiku sudah mulai waswas. Perasaan tak enak menumpuk jadi satu di perut, dan seperti ingin muntah. Ketika sosok itu mulai berbicara, rasanya, badanku lemas begitu saja.
Shiki di sana, menampakkan raut muak dan kesal. Di dekat pintu, yang sekarang mulai bergeser, menutup perlahan. Cahaya yang menyelinap dari celah pintu itu bak jadi penanda waktu, untuk memperingatkan Shiki agar segera keluar dari sini. Aku memberontak, dengan sisa tenaga. Menyeru, meski teredam jadi seperti erangan saja. Usaha yang akhirnya jadi sia-sia karena ditahan oleh salah satu antek Kurogane.
Mengikuti Imai, Kurogane ikut berbicara. Dia membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan masa lalu Shiki, dan berniat membongkarnya ke semua orang. Setelah terpikirkan, aku juga datang ke sini karena ancaman yang sama. Oleh hal itu, emosiku mulai tersulut. Namun, ini belum apa-apa.
Dengan sebuah dorongan kuat, aku dijatuhkan ke lantai. Lantas, diduduki dengan sembarangan di bagian kaki. Tubuh yang sudah penuh lebam ini mungkin sudah mencapai batas, karena meski tersungkur di lantai pun, aku tak sampai mengaduh keras. Hanya sebuah emosi yang terpupuk makin panas. Sembari melihat Shiki dengan lebih jelas, aku merasakannya.
“Buka bajumu, atau kami hajar dia lebih dari ini.”
Tepat setelah Kurogane—yang sekarang berjongkok di hadapanku—mengatakan itu, panas di hatiku berubah jadi percikan. Sedetik kemudian, ketika aku melihat raut Shiki yang sudah beda dari sebelumnya, percikan itu beralih jadi kobaran.
Badanku panas, menjalar sampai tungkai-tungkainya. Meski tidak cukup untuk membakar tali yang melilit pergelangan tangan, aku benar-benar merasakannya. Amarah. Kesampingkan penyesalan, perasaan bodoh, atau nyeri di sekujur badan. Aku merasakan marah, yang belum pernah kurasakan. Marah yang mendorongku untuk meronta setelah sempat menyerah.
Entah Kurogane benar-benar tahu masa lalu Shiki atau tidak, tapi dia mengatakannya. Aku sudah melihat luka macam apa yang mencabik-cabik Shiki. Baik raga, maupun jiwanya. Luka yang membuatnya merasa seperti sampah dan pantas dibuang. Setelah perjuangan untuk lepas dari anggapan itu, Kurogane mencoba melakukan hal itu ....
“Coba saja kabur atau berteriak. Aku masih bisa menyulut salah satu matanya.”
Aku mengalihkan pandangan pada Shiki. Mencoba berteriak, “Keluar!” sekencang-kencangnya, meski tahu kata itu tak akan keluar seperti semestinya. Namun, Shiki harusnya paham. Ini terlalu berbahaya baginya, dan ia tak perlu berada di sini memenuhi permintaan mereka.
Saat itulah, sebuah tangan meraih rambutku. Itu tangan Kurogane. Kepalaku diangkat dengan kasar, hingga daguku meninggalkan lantai yang dingin. Tanpa jeda, dia mengarahkan puntung rokoknya mendekati wajahku. Secara refleks aku menutup mata, dan memejam semakin kuat kala merasakan sesuatu yang panas mengenai alis kiri. Erangan yang menyedihkan menggema di ruangan.
“Lihat, kan?”
Abu yang berguguran hampir masuk ke hidungku. Setelah dijatuhkan lagi ke lantai, hal pertama yang kulihat dengan satu mata kala mengangkat kepala adalah Shiki. Ia ... dengan ekspresi tegang, meneteskan air mata di sana. Hampir ia menerjang ke depan, sebelum dihalangi oleh Imai.
Di samping, Kurogane bangkit. Bunyi korek api yang berusaha dihidupkan terdengar beberapa kali, sebelum akhirnya terjeda dan dia mengembus napas, memenuhi ruangan ini dengan asap sekali lagi.
“Aku serius.” Kurogane berkata dengan datar. Kemudian, Imai di depan sana mengimbuhi, “Hei, perempuan, kami ingin hiburan. Kalau kau tidak membuka baju dan menari untuk kami sekarang, kami cuma perlu menelanjangi si Satou itu sebagai gantinya.”
Tanpa sadar, air mata juga menggumpal di ekor mataku. Sundutan tadi memiliki efek yang lebih besar tampaknya, selain nyeri yang berdenyut-denyut. Tapi, persetan. Yang jadi masalah bukan itu. Pokoknya, Shiki tidak boleh ada di sini.
Keluar! Lari! Pergi!
Seakan mau menyobek tenggorokan, aku mencoba berteriak kembali. Berkali-kali, berkali-kali, meski setiap usaha itu hanya menghasilkan kebisingan tanpa arti yang sama. Orang yang menahan tubuhku supaya tetap di lantai menggunakan tangannya untuk membenamkan wajahku, tapi aku terus berusaha. Mengangkat wajah untuk melihat Shiki di sana. Saat itulah ....
Shiki mengarahkan pandangannya. Kedua mata yang samar-samar berbinar itu menatap sembap, hendak menyampaikan sesuatu selain melalui kata-kata. Di balik tatapan bergetar itu, terdapat sesuatu. Yang kuat dan berkilauan. Sebuah ketetapan.
Ketika sadar demikian, aku terdiam sejenak. Ketetapan hati yang ditunjukkan Shiki, sebaliknya, malah membuat diriku gundah sekarang. Sesuatu yang tidak mengenakkan. Shiki, sambil terus berteriak, aku memohon padamu. Jangan bertindak bodoh!
“Berjanjilah! Kalau kalian akan melepaskannya.”
Dengan ucapan itu, sudah kelihatan kalau permohonanku tak dikabulkan. Akhirnya, aku membiarkan wajahku ditempelkan ke lantai, memejamkan mata.
“Tentu saja. Tapi menarilah dulu, baru kami akan melepaskan dia.”
Itu suara Imai, lantas diikuti oleh siulan bernada tinggi dari orang yang menahanku. Kurogane ... aku tidak tahu apa yang dilakukannya, tapi kedengarannya dia melangkah kembali ke kursinya, kemudian duduk.
Rasanya, semua panas tadi hilang entah ke mana. Tubuhku kembali lemas seketika, dan bersamaan dengan itu, nyeri di tiap-tiap luka kembali berdenyut mengikuti irama jantung yang masih memompa.
Pesan si Kacamata sebelumnya kembali bergema di rongga kepalaku. Terdengar memuakkan, tapi aku tidak bisa menyangkal. Perkataannya memang benar, dan aku hanya bisa menyesal sekarang.
Aku pun tidak mau Shiki mengalami ini. Aku ingin sekali melepaskan diri, menerjang maju dan membawa Shiki keluar dari sini. Tapi, bahkan melepaskan ikatan ini saja aku tidak sanggup. Belum lagi, ada tiga orang di sini yang tidak segan menghajarku tanpa ampun, berulang kali, berulang kali. Aku ... tidak bisa melakukan apapun. Aku cuma orang penakut yang—
“Hei, jangan bercanda.”
Dengan keterkejutan, aku membuka mata. Apa yang menyambut mataku kali ini, bukanlah gudang yang gelap dan sesak, melainkan ruangan putih bersih tanpa noda setitik juga. Aku sudah tidak tertelungkup di lantai lagi, melainkan berdiri. Dan di hadapan, tampak pantulan wujudku sendiri. Cermin, kah?
“Jangan lupakan janjimu dengannya, dasar bodoh.”
Tidak! Itu bukan pantulan diriku! Dia berbicara padaku, dengan menunjukkan raut kesal yang aku yakin tidak kubuat di muka sekarang. Dia adalah seseorang! Masih terheran-heran, aku mulai memperhatikan sekitar lagi. Ruangan putih, apa-apaan ini? Di mana ini? Kenapa aku ada di sini? Siapa orang ini?
Di saat yang sama ketika menanyakan pertanyaan itu dalam kepala, jawaban seakan mengalir ke dalam diriku dengan sendirinya. Ruangan ini adalah alam bawah sadarku. Tepat di dalam diriku. Aku kemari karena aku membutuhkannya. Dan, orang di hadapanku ini, adalah diriku sendiri.
“Selamat datang. Sudah lama kita tidak berjumpa, ya,” ujar orang itu santai. Kupandang ia saksama. Dari ujung kepala sampai kaki, benar-benar diriku. Dari muka, seragam sekolahnya, sampai sepatu juga. Bukan pantulan atau apa. Benar-benar diriku. “Kalau kau berpikir ini kelihatan bodoh, memang. Seperti di film-film saja, kan? Tapi kau sendiri yang membayangkannya, jadi jangan salahkan siapapun.”
Ujaran panjangnya tak kubalas sepatah kata pun juga. Lagi pula, aku tidak tahu harus berkata apa kala dihadapkan pada hal ini, fenomena semacam ini. Ini terkesan lebih aneh lagi ketimbang melihat penampakan seorang kawan yang telah pergi.
“Bertemu dengan diri sendiri, atau harus kubilang, diri yang sebenarnya memang kadang membingungkan. Tapi mari kita bahas itu di lain waktu. Aku hanya mau bilang, apa kau serius mau membiarkan Shiki begitu saja?”
Pertanyaan bodoh. Mana ada! Tentu saja aku tidak mau. Tapi, kalau aku cuma mengerang dan meronta saja, itu tidak akan mengubah situasi. Lagi pula, kenapa Shiki tidak memilih lari? Kalau pun aku akan dihajar lagi, itu masih lebih baik daripada—
“Shiki pun seperti dirimu, bodoh. Terlalu baik, dan terkadang tanpa pikir panjang mengorbankan diri sendiri buat orang lain. Kalian sama-sama menuntut pembalasan bagi diri kalian, kesalahan kalian yang telah lalu, padahal tidak perlu. Ya beginilah jadinya.”
Lantas kenapa kalau begitu?
“Yang berbeda adalah, kau masih dikekang sesuatu untuk membuat pilihan. Berbeda dengan Shiki, yang sekarang tidak punya siapa-siapa di belakangnya. Atau si Kacamata yang benar-benar bebas dengan segala kewenangannya. Kau masih tidak bertindak untuk dirimu, atas dirimu.”
Sesaat setelah itu, aku melihat tubuh diriku yang satunya itu digenggam oleh banyak tangan. Dari perut, dada, pergelangan tangan, lengan, hingga leher dan kepala. Banyak tangan mengekangnya, seperti tidak membiarkannya ke mana-mana.
Beberapa saat kemudian, aku baru tersadar. Tidak hanya dia, tapi juga sekujur badanku digenggam oleh tangan-tangan itu. Tangan berbagai ukuran, dengan jari yang beragam, dari yang lentik sampai yang tebal. Tangan-tangan yang terasa hangat, tetapi—
“Sudah waktunya untuk jadi sedikit dewasa.”
...
“Kau mau menyelamatkan Shiki, kan?”
Tentu saja! Tapi, caranya—
“Jangan bertanya lagi, dasar bodoh. Kau sudah tahu dari kapan juga.”
Tapi—
“Jangan takut! Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka. Sebab ia akan berjalan menyertaimu. Ia tidak akan membiarkanmu, dan tidak akan meninggalkanmu.”
Tepat setelah ucapan itu selesai, tangan-tangan yang menggenggam sekujur badanku mulai membatu, timbul retak, dan hancur berjatuhan jadi potongan-potongan kecil disertai debu. Remuknya mereka hampir tak menimbulkan suara kecuali bunyi krak saat retak. Mereka menghilang begitu saja di bawah kakiku.
Sosok diriku yang lain juga terlepas dari kekangan. Dengan senyum tipis, ia menatapku, dan mulai berjalan mendekat. Setelah tiga langkah, muncul sebuah shotgun di genggaman kedua tangannya. Ia berjalan, terus bergerak maju, lantas tiba-tiba menodongkan pucuk senapan itu ke dadaku.
“Tunggu, apa yang kau—“
... kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka. Sebab aku akan berjalan menyertaimu. Aku tidak akan membiarkanmu, dan tidak akan meninggalkanmu ...
Bersamaan dengan suara ledakan, apa yang kulihat berikutnya cuma kegelapan. Seakan, oleh tembakan shotgun tadi, aku langsung mati begitu saja. Cuma, sebetulnya tidak.
***
Di kali berikutnya aku membuka mata, mengingatkanku pada pemandangan atap sekolah yang basah terkena hujan. Di sana, di tepian di balik pagar pembatas, sosok Shiki terlihat hendak mengakhiri hidupnya. Sekarang, ia sudah berbeda. Ia sudah kembali menjadi manusia yang setidaknya tampak sebagaimana mestinya.
Akan tetapi, air mata itu, air mata yang mengaliri pipi dan jatuh ke seragam yang hendak ia buka itu, sama dengan yang ia tunjukkan di hari yang dingin itu. Air mata seseorang yang mengorbankan diri, kendati pengorbanan seperti itu tidak diperlukan. Bukan, malahan, tidak diperbolehkan!
Rasanya seperti deja vu sekarang. Tapi karena itu juga, aku pun sadar. Untuk menyelamatkan Shiki, caranya pasti akan sama. Aku harus mengorbankan tanganku. Sembari mengingat kalau dulu punggung tanganku pernah dicakar oleh gadis kendoka itu, aku mempersiapkan diri.
“Ingat, lakukan dalam satu gerakan, supaya tidak ketahuan.”
Tanganku sama-sama berada di punggung, yang mana harusnya kelihatan oleh siapapun nama orang yang menahanku ini. Tapi, selagi dia fokus pada kebejatan yang terjadi, aku mengepalkan tangan kanan, dan menguncupkan sekecil-kecilnya telapak tangan kiriku. Kemudian, dalam hitungan satu, dua dan tiga, kutarik kedua tangan ke arah yang berlawanan.
Aku dapat merasakannya. Dua pergelangan tanganku yang sama-sama tercekik oleh ikatan yang ditarik. Lebih parah lagi yang sisi kiri, terasa kulitku bak terkelupas oleh hentakan tali. Ibu jariku juga, rasanya sakit sekali di pangkalnya. Tapi tak apa, dengan begini, ikatan terlepas. Dengan kedua tangan yang bebas, aku menopang diri, bangkit, dan menjengkang si penahan.
Yang jadi fokus pertamaku setelah dapat berdiri adalah Kurogane. Dalam suasana sekitar yang tetiba jadi sunyi, hanya terdengar detak jantung, langkah kaki sendiri, dan suara-suara yang terus melantunkan pesan di kepala.
“Incar bagian vital.”
Ah, Ibu, sepertinya sekarang aku bisa menjawab pertanyaanmu kemarin. Apakah aku membenci Kurogane?
Ya. Saat ini, aku benar-benar membencinya. Membenci mereka semua.