Cahaya mentari terpantul di kaca mobil yang melaju menyusuri jalan utama Kota Toyama. Di kursi penumpang sedan hitam itu, dua orang utusan berusaha merilekskan diri setelah melaksanakan tugas besar yang menentukan masa depan mereka.
Salah satunya menyandarkan badan berisi dan kepala berambut cepaknya ke jok mobil dengan mata terpejam. Kedua tangannya yang berbalut jaket kulit terlipat di depan dada. Sementara itu di sebelahnya, pria satu lagi yang memakai setelan jas biru tua tengah sibuk menggulir layar ponsel, melihat berita ekonomi terkini dengan raut riangnya. Ia enggan rambut klimisnya rusak, jadi enggan untuk menaruh kepala di sandaran.
“Rikiya-san.” Si pria cepak mengucap nama teman duduknya. “Sehabis ini mau ikut makan siang? Kami sudah pesan sake di hotel tempat kami menginap.”
Si pria yang dipanggil Rikiya menoleh heran, menatap muka datar dan terkesan keras di sebelahnya. Sesaat kemudian, ia menengok supir dan penumpang lain yang ada di kursi depan dengan satu alis terangkat.
“Nagare-san, kalian serius mau minum sake siang-siang begini?” Rikiya melayangkan kritikan. Sebagai penguat, ia juga mengetuk-ngetuk jam tangannya yang menunjukkan waktu hampir tengah hari.
Si penanya pertama bernama Nagare itu langsung mendesah kuat, memindahkan kedua tangannya dari depan dada ke saku celana. “Habis kerja ya minum sake, lah,” balasnya.
“Aah, begitu.” Rikiya tertawa kecil. “Tapi maaf sekali, aku harus menolak tawaran itu. Ada jadwal yang kudu diikuti.”
“Jadwal?” Nagare memiringkan kepala.
Menanggapi keheranan kawannya, Rikiya mengetuk layar ponsel, membuka kalender dengan banyak tulisan yang terpisah dalam kolom-kolom. Ia sodorkan ponsel itu ke Nagare, membiarkannya membaca daftar kegiatan yang tertera di tanggal 9 April. Hari ini.
“Sarapan di hotel, pertemuan dengan Seiko Pharmacy, Kedai Taiki, belanja oleh-oleh.” Sehabis membaca habis daftar di depan mata, Nagare berkomentar, “Rajin juga kau, ya.”
“Tentu saja.” Dengan bangga, Rikiya membalas. “Kalau tidak, mana bisa aku kerja dobel begini. Sebagai gantinya ....”
Rikiya mengoper ponselnya ke pendamping supir di kursi depan, minta diantar ke alamat yang tertera di layar. Setelah mendapat oke dari Nagare, si pendamping dan si supir mengangguk, mengembalikan ponsel ke pemiliknya sebelum dimasukkan kembali ke saku. Rikiya menyandarkan badan sambil tersenyum lega akhirnya.
Keduanya sekarang saling memalingkan muka. Berlagak memandang ke luar jendela, memperhatikan gedung-gedung tinggi berkilauan berkat jendela kaca, atau rambu-rambu penuh warna, atau hal-hal lain yang bisa dijumpai di jalan yang berlalu. Ini adalah kota yang asing, mau bagaimanapun juga. Pasti akan ada sesuatu yang menarik mata, pikir mereka. Sampai kemudian, mobil harus berhenti di lampu merah.
“Kuakui, berkat dirimu Ryuujinkai jadi punya divisi obat-obatan sendiri sekarang.” Nagare berucap tanpa menolehkan muka. “Tapi jangan lupakan pekerjaan utamamu. Mencarikan peliharan untuk Bos adalah alasan kami menerimamu di sini.”
“Tentu saja, Nagare-san.” Melempar lirikan, Rikiya menanggapi dengan tenang. “Tentu saja.”
“Bicara soal peliharan,” kali ini, Nagare berbicara dengan menampilkan muka, “Bos minta yang baru.”
Rikiya agak terkaget. “Lagi?”
“Kalau bisa, yang seperti Shiki Yuuko, katanya.” Mendengar imbuhan syarat itu, Rikiya mengerutkan dahi. Shiki Yuuko, nama yang tidak asing di telinganya. Hanya saja, sudah cukup lama sejak ia terakhir kali berhubungan dengan pemilik nama itu.
“Kenapa kita tidak minta Shiki Yuuko kembali saja, ya ....”
“Setelah dia dapat perlindungan dari Putri Fujiwara? Mana bisa.”
Tak lama, lampu berubah hijau. Mobil kembali melaju, membuat para penumpang menempel lebih erat dengan sandaran mereka. Nagare kembali melipat tangan di depan dada dan memejamkan mata. Dua lagi lampu merah yang memotong-motong jalan utama Heiwadori ini seperti tubuh serangga berbuku-buku pun terlewati. Pada akhirnya, mobil mengambil kelokan di persimpangan ketiga ke arah kiri, tepat melewati Museum Kesenian Kaca Toyama. Melaju ke dalam jalan yang lebih sempit, hanya dua lajur saja.
Beberapa puluh meter terlewati, mobil berhenti lagi. Rikiya mengucap terima kasih atas tumpangannya, kemudian turun. Sehabis melihat sedan hitam yang melaju pergi, Rikiya melepaskan dasi garis-garisnya. Memasukkan gulungan itu ke salah satu saku, tangannya lantas bergerak menyisir rambut yang mengkilat klimis ke belakang.
Di hadapan Rikiya sekarang tampak sebuah bangunan yang terkesan kecil dan sempit. Menempel begitu erat dengan kanan dan kirinya. Terasa khas untuk sebuah kota besar. Namun yang membedakan bangunan yang selayaknya apartemen kecil nan murahan itu dengan sekitarnya adalah, pajangan dua bendera hitam dan noren1 bertuliskan “TAIKI” di depan pintu.
“Makan makanan spesial sehabis kerja memang tidak ada duanya.”
Jiwa gourmet yang bangkit menggerakkan tubuh si pria. Sembari membatin demikian, ia menyeberang jalan dengan langkah yakin, menuju kedai Taiki itu. Dengan dua tangan ia sibak kain noren, lantas lanjut membuka pintu. Seperti kesan luarnya, bagian dalam juga terlihat sempit, namun itu cukup bagi Rikiya. Apalagi, tampak belum ada pelanggan siang ini.
Jam tangan Rikiya menunjukkan pukul 12.13. Belum terlalu lama dari waktu buka kedai ini. Pelanggan pertama ini menghirup napas dalam-dalam, bak coba menyerap udara kedai yang belum dijamah siapa-siapa selain pemilik dan pegawainya.
Rikiya sudah lama ingin coba makan di sini. Kedai ini menyediakan berbagai olahan mi seperti soba dan ramen, juga masakan China. Namun, yang menjadi incaran si pria berjas adalah menu yang melambungkan nama kedai ini, sampai diakui sebagai makanan khas daerah. Ramen Toyama Black.
Ia lanjut melangkah, ke arah sebuah mesin berpanel dengan tulisan menu dan harganya. Rikiya harus memesan tiket menu di sini sebelum diserahkan ke pegawai kedai. Yang paling mencolok adalah tiga tombol pilihan ukuran ramen yang tersedia. Nami (sedang), dai (besar), dan tokudai (ekstra besar). Di samping tiga tombol itu, ada pilihan lain seperti nasi, telur, dan bermacam lainnya.
Sembari memikirkan pilihan, Rikiya mengambil selembar uang dari dompet, dan memasukkannya ke slot penerima uang. Lampu hijau menyala pada setiap tombol, lantas ia memilih semangkuk ramen dai saja. Satu tiket keluar dari slot di bawah, diikuti kembalian dari slot lainnya.
Selepas menyerahkan tiket pesanan ke pegawai, Rikiya mendengar bunyi pintu terbuka. “Ah, akhirnya pelanggan lain, ya,” batinnya. Bukannya tidak suka ada pelanggan lain masuk, akan tetapi ia hanya sedikit kecewa tidak bisa mendapatkan perasaan reservasi pribadi selama makan di kedai ini.
Bergerak ke ruang sebelah, area makan yang memiliki penerangan cukup memadai. Ada dua baris kursi meja, yang sama-sama mepet ke tembok. Rikiya memilih duduk di sisi kiri, mengambil kursi nomor tiga dari ujung terdalam kedai. Selagi menanti, ia menjelingkan mata ke setiap sudut kedai. Di kedua sisi dindingnya, selain wadah tempat sumpit, kelihatan tempelan papan kertas dengan tanda tangan. Salah satunya bertuliskan “Ms.OOJA”2, nama seorang musisi terkenal.
“Permisi, boleh saya duduk di sebelah Anda?”
Sebuah suara lembut menggaet perhatian Rikiya. Ia tak memiliki masalah kalau harus makan di sebelah orang tidak dikenal, hanya saja tetap di dalam hati ia bertanya, mengapa orang ini tak memilih kursi lain. Namun, saat melihat wajah di penanya, ia pun merasa wajar—diikuti rasa kaget, kemudian waswas.
“Fujiwara-san ....” Nama tersebut terucap, kala Rikiya bertemu pandang dengannya. Seorang gadis jelita, berdiri di sisi kiri darinya. Gadis itu mengenakan blus ungu terang dengan neck tie bernada sama tetapi lebih gelap. Tangan kirinya kelihatan sibuk, memegang sebuah buku kecil yang cuma tampak cover belakangnya, juga menjadi gantungan bagi blazer panjang yang sampai menutupi separuh rok hitam sepaha yang ia kenakan.
“Anda boleh memanggil saya Amane, Rikiya-san. Saya tidak mau panggilan bercampur dengan dua kemenakan Anda.” Si gadis berujar sambil membetulkan kacamatanya. Tanpa memberi jeda, ia bertanya lagi apakah dirinya boleh duduk di sebelah. Rikiya mengangguk.
“Amane-san, kenapa ada di sini?” Rikiya bertanya selagi si gadis bernama Amane itu mendudukkan diri. Ia menaruh blazer dan bukunya di kursi sebelah, sebelum menjawab dengan antusias.
“Tentu saja, demi santap siang, Rikiya-san. Saya sudah sedari kapan ingin menyantap ramen Toyama Black yang tersohor di kedai ini. Berhubung urusan kerja menuntun saya ke kota ini, saya putuskan untuk singgah sekalian.”
Rikiya tidak merasa jawaban tersebut bohong. Namun, kebetulan berupa dua orang yang tidak terlalu akrab dan tidak saling membuat janji, bertemu di sebuah kedai kecil di kota yang asing bukanlah hal yang biasa. Kenyataan tersebut, menyumbang setengah dari kekhawatiran si pria sekarang.
Fujiwara Amane. Putri tunggal dari pasangan konglomerat Yoshihito dan Chihiro. Gadis yang tak cuma jelita penampakannya, tetapi juga pandai dan serba bisa. Begitu Rikiya mengenali sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya ini.
Rikiya mengingat kembali kapan pertama kali mereka bertatap pandang, dan ingatan sebuah pesta di akhir musim panas tahun lalu muncul di benaknya. Sebuah pesta yang cukup berkesan, karena ada sedikit perseteruan hari itu. Semenjak itu, Rikiya menjadikan Amane sebagai targetnya. Sebagai “cinta pertama”-nya. Hal tersebut lah yang menjadi setengah lain sumber kecemasannya.
“Rikiya-san pun demikian, bukan?” Pertanyaan yang dibarengi lirikan di ujung mata itu menyadarkan Rikiya kembali. Ia mengangguk tenang sebagai konfirmasi, mencoba mempertahankan kesan cool.
Meski begitu, di kepala si pria masih ada banyak pertanyaan yang berputar-putar. Apakah ini benar-benar cuma kebetulan? Apakah gadis ini cuma benar-benar mau makan saja di sini? Apa dia punya tujuan lain?
Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk bersiap akan kemungkinan yang paling tidak ia inginkan. Seorang gadis yang sudah kerap menjadi wakil dari ayahnya yang penuh kuasa, tak mungkin dengan kebetulan bertemu dengan dirinya di kedai tersembunyi ini. Mungkin terkesan sok, pikirnya, tetapi pemikiran ini dapat membantu Rikiya bilamana memang Amane datang dengan maksud tertentu.
Sebagai pengalih sementara, Rikiya balik bertanya, apa saja yang Amane pesan. Untuk itu, si gadis tersenyum sampai matanya menyipit, lalu menjawab, “Mari tunggu saja sampai pesanannya sampai.”
Boleh dikatakan keberuntungan, tepat setelah Amane berkata demikian, pelayan datang membawakan pesanan. Yang pertama menerima adalah Rikiya. Semangkuk ramen dengan kuah cokelat gelap, tak seperti biasanya, sampai-sampai warnanya meresap ke dalam mi tebal yang terlihat mengenyangkan. Di satu sisi terdapat potongan daging dengan nada serupa. Kemudian, sejumlah potongan daun bawang sebagai gradasi warna. Semua tersaji dalam mangkuk berwarna putih-biru.
Rikiya lebih suka menikmati hidangan yang jadi target tanpa pendamping lain. Itulah kenapa, ia hanya memesan semangkuk ramen tanpa tambahan lain (kecuali segelas air yang gratis diberikan). Baru setelah tahu rasanya, ia akan kembali untuk mencoba menu lainnya.