Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit berwarna putih. Aroma sekitar yang menyeruak di hidungku mengingatkan bayangan obat-obatan, bayangan ruang UKS. Akan tetapi, aku langsung sadar kalau tempatku terbangun itu bukanlah salah satu ruang di sekolah itu.
Ibu ada di sampingku. Menatap dengan mata terbelalak, setengah sembap, dan digelayuti garis hitam di bawahnya. Aku langsung mengira kalau Ibu tidak mendapat tidur yang cukup, dan memang benar demikian. Itu tidak mencoba menutup matanya selagi aku masih terlelap. Mungkin saja saat mencondongkan badan di tepi ranjang buat memelukku itu adalah pertama kalinya Ibu membaringkan badan.
Shiki dan si Kacamata datang bersamaan dengan senampan sarapan. Keduanya, seperti Ibu, menunjukkan raut cemas yang serupa. Tiga orang wanita paling penting dalam hidupku, membuat rona yang sama. Sembari menyantap makanan di atas ranjang, akhirnya aku bisa mendengar sedikit penjelasan tentang apa yang telah terjadi.
Kemarin sore, setelah kusuruh lari, Shiki berhasil menemui Taiga-sensei dan meminta beliau melerai perkelahianku dengan Kurogane. Katanya, “Sensei sampai harus memukul kalian karena sama-sama tidak mau melepaskan tangan.” Segera setelahnya, aku jatuh pingsan.
Aku, Kurogane, dan juga kawan-kawannya dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Pada akhirnya, empat orang termasuk diriku menjalani rawat inap. Ibu langsung datang setelah mendapat kabar, dan menunggu di samping ranjangku terus setelah itu. Aku tidak sadarkan diri selama lebih dari dua belas jam sepertinya.
Sobek di pelipis kiri (kena tujuh jahitan), luka bakar kecil tepat di sebelahnya, dislokasi sendi ibu jari kiri, lalu, memar dan lecet di sini-sana. Itu harga yang harus kubayar supaya dapat lepas dari cengkeraman Kurogane dan kawan-kawannya. Kemudian, tulang hidung patah (dua orang), tangan kanan patah, benjol besar di kepala, beberapa gigi terlepas, juga memar dan lecet di sana-sini. Itu harga yang harus Kurogane dan dua temannya bayar karena mencoba melecehkan Shiki.
Rasa sakit menjalari kami semua, dan itu adalah ketentuan yang mesti diterima setelah kami (atau harus dibilang aku, pada akhirnya) memutuskan untuk berseteru secara penuh.
Setelah sehari lebih terbaring di rumah sakit, aku diperbolehkan pulang di hari Minggu pagi. Namun belum juga aku bisa memejamkan mata di ranjang pribadi, telepon masuk. Dari pihak sekolah. Pemberitahuan: Senin besok akan diadakan pertemuan darurat membahas insiden pada hari Jumat lalu. Siswa beserta walinya diharap hadir pada jam sekian di ruang sekian.
Ibu sempat mengeluh, kenapa tidak diberi waktu istirahat lagi dulu. Tapi kupikir, lebih baik begini. Menyelesaikan pertikaian ini secepatnya adalah yang terbaik. Lagi pula, semua pihak yang terlibat sudah bisa berjalan biasa. Alhasil, berangkatlah diriku hari Senin itu, ditemani Ayah dan Ibu.
Tujuh orang murid yang terlibat beserta masing-masing walinya ditempatkan di sebuah ruang rapat. Posisi duduk dipisah. Kurogane, Imai, dan tiga orang lainnya di seberang, sementara aku dan Shiki berada di sisi satunya.
Kecuali Kurogane, wali murid lain sudah datang. Yang mendampingi Shiki adalah rijichou dan fasilitas, seorang wanita paruh baya yang rambutnya mulai beruban tapi punya senyum menenangkan. Beliau masih mencoba mempertahankan ekspresi tenang tersebut, meski dipelototi oleh orang tua anak lain di seberang sana.
Setelah beberapa saat, orang yang mengenalkan diri sebagai Masayoshi datang sebagai wali Kurogane. Diikuti oleh beberapa pria tengah baya, yang terekam di ingatanku sebagai petinggi sekolah yang tidak bisa dipercaya. Ketika mereka masuk ke ruangan dan duduk di balik meja menengahi kedua sisi, aku kehilangan kepercayaan akan pertemuan ini.
Sampai, tiba-tiba Taiga-sensei hadir dan duduk di sebelah Shiki. Kehadiran sensei killer itu tanpa sadar membuatku mengembangkan senyum.
“Kita hadir di sini untuk membicarakan secara baik-baik kasus perkelahian Sakunosuke-kun dengan Kaname-kun dan kawan-kawannya.” Ucapan dari petinggi setengah botak itu membuka prosesi acara. “Saya harap hari ini kita dapat menemukan jalan keluar yang kekeluargaan.”
Kekeluargaan, ya. Hatiku tidak bisa diyakinkan dengan kata tersebut sebab empat orang wali murid di hadapan memberikan tatapan tajam. Yang kelihatan tenang cuma Masayoshi-san (yang menurutku malah agak terkesan aneh).
“Kyoutou sensei, saya kira topik pembahasan kita hari ini agak kurang tepat.” Tiba-tiba Taiga-sensei menyela sambil mengangkat sebelah tangan. “Saya mengajukan pertemuan ini untuk membahas tindak perundungan yang dilakukan oleh Kurogane Kaname dan teman-temannya pada Satou Sakunosuke.”
“Taiga-sensei, hal sepele seperti penyebutan itu tidak perlu—“
“Perundungan? Saya tidak tahu apa-apa soal perundungan!”
Dan hal yang kucemaskan pun terjadi. Setidaknya, ada tiga orang wali murid yang terpelatuk emosinya mendengar kata-kata Taiga-sensei. Seperti yang telah disampaikan, mereka bersikukuh tidak tahu menahu soal perundungan dan semacamnya. Setelah ditanyai lebih lanjut, bapak ibu itu mengaku kalau anak mereka cuma bilang kalau mereka dipukuli olehku.
Orang tua notabenenya akan selalu memihak pada putra-putri mereka. Pasti. Itulah mengapa, para orang tua yang meluangkan waktu mereka untuk hadir di sini itu tetap berpegang pada pendirian mereka.
“Mana mungkin Satou Sakunosuke yang cuma seorang diri memukuli lima orang sekaligus? Lawannya lima orang, lo.” Mulai dari sini, Taiga-sensei kelihatan ikut emosi.
“Bukankah itu malah menunjukkan kalau anak itu sosok yang berbahaya?!” Seorang ibu—wali dari yang tangannya kupatahkan—berseru sambil menunjukku. Dia yang paling tidak terima, ya, sampai menuduh yang bukan-bukan. “Lagi pula, soal perundungan tadi, memang ada buktinya?”
“Kesaksian dari para korban sudah bisa dihitung sebagai bukti, Nyonya.”
“Para korban? Bisa saja mereka berbohong, kan?!”
“Kalau begitu, bisa tolong pertimbangkan bahwa putra Nyonya juga bisa saja berbohong pada Anda?”
“Omong kosong!”
Ayah yang duduk di sisi kiriku menyimak dengan tenang. Sedangkan Ibu, ia menggigit bibir bak tak tahan mendengarkan pertikaian, melingkupi tangan kananku erat-erat di genggaman. Para sensei petinggi cuma diam beribu bahasa, menatap dengan raut muka masam tak ayalnya dengan kami, para murid yang notabene cuma anak-anak di sini.
Cekcok antara Taiga-sensei dan ibu itu masih berlangsung, sampai kemudian Masayoshi-san menyela dengan satu angkatan tangan. “Mari katakan kalau memang ini kasus perundungan dan bukan perkelahian biasa, saya ingin tahu penyebabnya.”
Tepat di akhir kalimat itu, pria berjas lusuh itu sekilas melirikku tajam. “Mungkin ini terdengar tidak bertanggung jawab, tapi sebetulnya saya belum mendapat penjelasan apa-apa soal pertemuan ini. Saya hanya datang menggantikan orang tua saya yang tak dapat hadir.”
Orang tua? Ah, jadi Masayoshi-san ini adalah kakaknya Kurogane, ya. Lantas, kakaknya Kurogane itu secara terang-terangan menoleh padaku. Tatapannya seakan berkata, “Giliranmu bicara, Nak.” Dan itu memancing wali murid lain termasuk Taiga-sensei untuk memusatkan perhatian mereka ke satu titik.
Di sini, aku mengatakan semuanya. Atau, tidak juga. Satu saja yang tidak kusebutkan dalam kesaksianku mengenai tindakan Kurogane adalah nama si Kacamata. Kukira itu tidak perlu.