Pertemuan darurat antara orang tua, murid, dan sekolah baru saja usai diadakan. Para pihak terlibat yang menunjukkan wajah kesal dan murung satu persatu keluar dari ruangan rapat, begitu juga dengan Fujiwara Amane dan Imai Shuuya. Namun, tak seperti hadirin yang lain, keduanya menyingkir dulu ke ujung lorong terjauh.
Amane memiliki sesuatu untuk dibicarakan, karenanya ia meminta waktu Shuuya. Akan tetapi, si pemuda seperti tak menyenangi hal ini. Langkah kakinya yang terlihat menurut, cuma karena sang ayah yang tadi entah pergi ke mana menyuruhnya untuk demikian.
“Imai-san, aku mohon dengan sangat supaya jangan mengganggu Kreator lagi.”
Amane—dengan senyum yang agak dipaksa—berusaha bicara setenang mungkin dengan Imai Shuuya. Si pemuda tak berusaha sedikit pun guna menyembunyikan kekesalan yang timbul di wajahnya.
“Kenapa aku harus menuruti permintaanmu, Fujiwara?” Shuuya membalas sambil mengedikkan kepala, memandang rendah lawan bicaranya.
Kekesalan pemuda itu sebetulnya tengah berlipat ganda. Setelah dipaksa hadir dalam pertemuan tak berarti, sekarang dirinya harus menemani gadis yang tak ia pahami ini karena ayahnya berkata demikian. Ia menduga, dan memegang dugaan tersebut dengan yakin, bahwa sang ayah berusaha mengincar sesuatu dengan mendekatkan dirinya dengan Amane.
Shuuya membatin, “Keluarga yang terlalu banyak uangnya memang menyusahkan. Semua urusan jadi uang, uang, dan uang. Semua keluarga kaya sama saja. Kecuali, satu ...”
“Tentu,” sela Amane memotong gumaman dalam hati Shuuya. “Karena kita sesama orang yang dimabuk cinta.”
“Hah?”
Perasaan lain ditambahkan pada kerutan dahi Shuuya. Mata si pemuda menyipit di sana, sementara Amane mengubah rona senyumannya. Yang mana tadi terasa dipaksa, sekarang berubah menjadi senang bak menguasai dunia.
“Benar, kan? Dirimu seharusnya juga paham perasaan ini. Selayaknya diriku yang jatuh hati pada Kreator, dirimu juga tengah terpaku pada pujaan hati.”
“Pujaan hati? Bicara apa kau ini?”
“Bicara apa?” Amane memiringkan kepala. “Tentu saja Kaname-san.”
“Hah?” Shuuya memberikan respon yang sama buat kedua kalinya, menunjukkan ketidakpahaman. Tetapi di saat yang sama, Shuuya merasakan sesuatu menjalari punggungnya. Menelusuk di balik seragam seperti sulur, kemudian masuk ke dalam menembus kulit punggung, mencengkeram jantungnya.
“Imai-san, kau menyukai Kaname-san bukan?”
Amane mengucapkan hal tersebut dengan senyum yang lebih lebar sebelumnya.
Seakan bergerak sendiri, kaki Shuuya mengambil satu langkah mundur. Ia merasakan sesuatu yang aneh dari gadis di hadapannya, sesuatu yang ... menakutkan. Sensasi genggaman pada jantung Shuuya makin menguat sekarang. Ia merasa mau balik kanan dan pergi.
“Fujiwara, kau kelihatan pintar tapi sebenarnya bodoh, ya?” Berujar demikian dengan nada muak, Shuuya sudah setengah putar haluan. Tapi, niat tersebut segera dibatalkan. Mata Shuuya tertuju pada layar ponsel yang entah sejak kapan disodorkan Amane di depannya.
“Apa?!”
Shuuya sesaat terbelalak. Amane yang melihat respon tersebut mengembangkan senyum yang lebih lebar.
“Dirimu saking sayangnya, sampai menyimpan foto telanjang dada dari orang yang disuka.” Amane menarik kembali ponselnya, mendekatkan layar ke wajahnya. “Ini ... musim panas tahun lalu? Saat renang? Atau mungkin selepas latihan taekwondo? Yang pasti, tubuhnya memang cukup menarik buat dilihat, ya ....”
Shuuya secara refleks menjulurkan tangan, hendak merebut ponsel Amane. Namun sang gadis, tanpa melirik atau melihat ke depan, langsung dengan yakin mengambil satu langkah mundur. Diikuti gerakan hadap kanan dan satu langkah mundur lagi demi menghindari terjangan Shuuya.
“Dari mana kau dapat foto itu?” tanya Shuuya kasar.
“Silakan menebak.”
Shuuya yang terdorong emosi sekarang berpikir keras, bagaimana Amane bisa mendapatkan foto yang harusnya cuma dimilikinya seorang itu. Namun, tak berselang lama, ia mencoba merebut ponsel Amane lagi, berakhir dengan kejar-kejaran di satu lokasi tiada henti.
“Imai-san, kau tidak perlu senafsu itu, dong. Aku mau saja menunjukkan koleksi foto yang kudapatkan ini, kok. Bahkan, aku bersedia membagikannya ke semua orang di internet.”
Mendengar itu, Shuuya membeku di tempat. Dia mengancamku? Begitu tanya Shuuya dalam hati.